- Dari Ibnu Abbas r.a. dia berkata: Nabi SAW bersabda: “Tidak ada seorangpun yang menguasai suatu wilayah, kecuali dihadapkan padanya keselamatan, apabila dia menerimanya maka akan diluaskan dan disempurnakan, namun apabila dia menjauhinya, maka akan dibukakan perkara yang dia tidak akan sanggup menanggungnya”. Perawi dari Ibnu Abbas bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apa maksud menjauhi keselamatan?” Ibnu Abbas menjawab: “Mencari-cari kesalahan dan aib”.
(Disebutkan dalam Majma’uz Zawa`id: hadits ini diriwayatkan oleh
ath-Thabrani)
Seorang penguasa sistem
khilafah Islamiyah harus mencari keselamatan
dengan memenuhi kewajiban menerapkan keadilan syariah Islam sehingga tersebar kepercayaan antara khalifah dan
bawahannya serta antara mereka dan rakyat. Dalam kondisi ini seorang khalifah akan merasa tenang dan memberikan
ketenangan kepada keluarganya, bawahannya dan rakyatnya.
Dengan tekad dan usaha khalifah menyebarluaskan rahmat akibat dari tegaknya
keadilan syariah maka akan semakin banyak keberhasilan jihad penaklukan/futuhat
meninggikan kalimat Allah, kestabilan dalam negeri, dan berkah kesejahteraan.
Khalifah
dilarang mencari-mencari aib
dan kesalahan, dalam keadaan ini seorang penguasa akan mencari kesalahan dengan
membentuk mata-mata dan spionase terhadap rakyatnya.
”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)..” [al-Hujurat:12]
Dalam
Sunnah, Nabi Saw. bersabda, “..Janganlah
kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling menyelidik, janganlah
kalian saling berlebih-lebihan, janganlah kalian saling berbuat kerusakan….” [HR.
Ibnu Majah dari Abu Hurairah, lihat hadits-hadits senada dalam Imam Ibnu
Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat 49:12, semisal riwayat Imam Malik dari Abu
Hurairah].
Nabi
Saw. bersabda, artinya, “Sungguh, seorang
amir (pemimpin) akan mendurhakai rakyatnya, bila ia memburu kecurigaan pada
mereka”. [HR. Abu Dawud dari Abu Umamah]
Khilafah
akan punya aparat keamanan tapi sangat berbeda perannya. Islam mengharamkan
memata-matai warga, perkara ini bukan sesuatu yang bisa diubah oleh siapapun,
atau oleh karena situasi keamanan nasional apapun. Cakupan, penggunaan dan
wilayah hukum aparat penegak hukum dalam Islam adalah terikat syariah sebagaimana
dinyatakan dalam banyak Hadits. Aparat keamanan dalam negeri tidak punya
wewenang atau hak untuk memata-matai atau menyelidiki keyakinan pribadi rakyat.
Jika dibolehkan maka akan berakibat mendapatkan bukti melalui cara
sembunyi-sembunyi, memata-matai dan melanggar privasi warga negara. Privasi
rumah dan warga adalah haram dilanggar. Wilayah hukum mereka yaitu menegakkan
hukum dalam negara, hal ini adalah dalam perkara publik. (Lebih lanjut lihat
"The institutions of state in the Khilafah in ruling and
administration," Hizb ut-Tahrir)
- Dari Miqdad bin al-Aswad r.a. dan Abu Umamah r.a.: “Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya seorang penguasa bila mencari-cari kesalahan rakyat, maka akan menghancurkan mereka”.
(Disebutkan dalam Majma’uz Zawa`id: hadits Abu Umamah diriwayatkan
oleh Abu Dawud, kemudian penulis berkata hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan ath-Thabrani, perawi-perawinya adalah tsiqat)
Bukan menjadi hak penguasa
untuk memata-matai rakyatnya. Barangkali ada baiknya, di sini penulis akan menyebutkan suatu kisah yang
berhubungan dengan pembahasan kita ini:
“pada suatu ketika Umar
melewati suatu kebun, kemudian dia mendengar suara-suara yang mencurigakan,
lalu dia mengintainya dan memanjat pagar kebun tersebut. Dia melihat seorang
laki-laki dengan satu gentong khamr. Umar menampakkan diri dan menegur
laki-laki tersebut: “Hai musuh Allah! Tidakkah engkau tahu bahwa Allah telah
menutupi aibmu, namun engkau tetap melakukan kejahatan ini?”
laki-laki menjawab: “Amirul Mukminin! Apabila aku telah mendurhakai Allah
dalam satu hal, maka anda telah mendurhakai-Nya dalam tiga hal:
- Allah berfirman: “Janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain”. (QS. Al-Hujuraat :12), namun anda mengintaiku.
- Allah berfirman: “Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya”. (QS. Al-Baqarah :189), namun anda tidak melakukannya.
- Allah juga berfirman: “Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya”. (QS. An-Nuur :27).
Menghadapi logika yang kuat ini Umar tidak bisa berbuat apa-apa untuk
menghukum laki-laki tersebut, walaupun beliau adalah seorang Amirul mukminin.
Lalu beliau berkata kepadanya: “Apakah kamu akan meninggalkan khamr selamanya,
jika aku mengampunimu?”. Laki-laki itu menjawab: “Benar, ya Amirul mukminin”.
Riwayat lain barangkali bisa
menyempurnakan kisah ini, telah diriwayatkan bahwa Umar bin al-Khattab r.a.
bertanya kepada sahabat-sahabatnya, diantara mereka ada Ali bin Abi Thalib.
Beliau menanyakan pendapat mereka tentang kecurigaan yang dilihatnya? Ali r.a.
berkata: “Amirul Mukminin! Berterus teranglah... dan hadirkan para saksi, jika
tidak maka hukuman cambuk atas punggung anda” (mungkin maksudnya adalah hukuman
orang yang menuduh tanpa bukti/Qadzaf).
Riwayat-riwayat ini –jika
benar- menunjukkan betapa besar perhatian terhadap kebebasan pribadi umat
Islam. Kebebasan ini apabila dilanggar akan menjadi kerusakan yang besar dalam
masyarakat. Apabila penguasa mencari-cari kecurigaan atau berprasangka yang
bukan-bukan dan meragukan kepercayaan rakyat, mengawasi setiap gerak-gerik
mereka, maka hal itu akan merusak mereka dan menimbulkan permusuhan mereka
terhadap dirinya dan orang lain.
Adapun terhadap kafir dzimmiy yang menjadi warga negara di Daulah Khilafah, maka
kedudukan mereka setara dengan kaum muslimin, sehingga seorang muslim dilarang
[diharamkan] memata-matai mereka. [Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah
al-Islamiyyah Juz II, ed.III, 1994, Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hal.
212.] Adapun memata-matai kafir
harbiy [kafir yang harus diperangi], baik kafir harbiy haqiqiy, maupun hukman, hukumnya adalah jaiz (boleh) bagi seorang muslim,
atau sekelompok kaum muslimin, namun wajib bagi negara [Daulah Khilafah], baik
kafir harbiy yang berada di dalam Daulah Khilafah Islamiyyah, maupun yang
berada di negaranya sendiri.
Dalilnya adalah
riwayat yang disebut dalam Sirah Ibnu
Hisyam, bahwa Nabi saw pernah mengutus ‘Abdullah bin Jahsiy bersama 8 orang
dari kalangan Muhajirin. Kemudian Rasulullah saw memberikan sebuah surat kepada ‘Abdullah bin Jahsiy, dan beliau saw
menyuruhnya agar tidak melihat isinya. Ia boleh membuka surat itu setelah
berjalan kira-kira 2 hari lamanya. Selanjutnya mereka bergegas pergi. Setelah
menempuh perjalanan selama dua hari, barulah ‘Abdullah bin Jahsiy membuka
surat, dan membaca isinya. Isinya adalah, “Jika engkau telah melihat suratku ini, berjalanlah terus hingga
sampai kebun korma antara Mekah dan Tha’if, maka intailah orang-orang Quraisy,
dan khabarkanlah kepada kami berita tentang mereka (orang Quraisy).”
Dalam surat itu,
Rasulullah saw memerintah ‘Abdullah bin Jahsiy untuk memata-matai orang
Quraisy, dan mengabarkan berita tentang mereka kepada Rasul. Akan tetapi,
beliau saw memberikan pilihan kepada para shahabat lainnya untuk mengikuti
‘Abdullah bin Jahsiy, atau tidak. Akan tetapi, Rasulullah saw mengharuskan
‘Abdullah bin Jahsiy untuk terus berjalan hingga sampai ke kebun kurma antara
Mekah dan Tha’if, dan memata-matai orang Quraisy. Riwayat ini menyatakan bahwa
Rasulullah saw, telah meminta shahabat untuk melakukan aktivitas spionase,
yakni wajib bagi ‘Abdullah bin Jahsiy, namun shahabat yang lain diberi dua
pilihan, ikut bersama ‘Abdullah bin Jahsiy atau tidak. Dengan demikian,
tuntutan untuk melakukan spionase bagi amir jama’ah, yakni ‘Abdullah bin Jahsiy
[dinisbahkan kepada negara] adalah pasti, sehingga hukumnya wajib, sedangkan
bagi kaum muslimin tuntutan tidak pasti, sehingga hukumnya jaiz (boleh). Hadits
ini menunjukkan kepada kita, bahwa hukum memata-matai kafir harbiy adalah wajib
bagi negara, sedangkan bagi kaum muslimin adalah jaiz.
Ada sebagian orang berpendapat bahwa spionase yang dilakukan oleh
badan-badan intelejen negara adalah boleh. Sebab, spionase yang dilakukan oleh
negara akan membawa kemashlahatan bagi negara. Pendapat semacam ini tidak
disandarkan kepada dalil syara’. Mereka hanya bertumpu kepada mashlahat untuk
membangun pendapatnya; misalnya spionase untuk memonitoring aktivitas rakyat
yang berpotensi melakukan makar terhadap negara, menggali keadaan rakyatnya
lebih dalam lagi, dan lain-lain. Namun perlu diingat, bahwa mashlahat tidak ada
artinya sama sekali untuk membangun hukum syara’.
Seorang muslim
diwajibkan untuk hanya bertahkim (berhukum) dengan apa-apa yang diturunkan oleh
Allah swt, bukan bertahkim dengan mashlahat yang bersifat temporal dan
berubah-ubah. Allah swt berfirman, artinya,
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu…”[al-Maidah”48]
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang yang dzalim.”
[al-Maidah:45]
Ayat ini dengan
tegas menyatakan bahwa dasar untuk membangun hukum syara’ adalah al-Quran dan
Sunnah, bukan mashlahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar