Penyebab
revolusi politik di Eropa adalah ulah para pemikir yang bercita-cita untuk
mencapai pembentukan tatanan kehidupan. Upaya mereka menggiring penajaman
pandangan tertentu tentang kehidupan, kepercayaan mereka terhadap ideologi
tertentu, dan pembentukan sistem atas dasar ideologi itu merupakan faktor yang
membalik pemahaman mereka tentang sesuatu dan strata nilai-nilai yang mereka
anut, yang dampak berikutnya mengantarkan pada revolusi umum tentang kehidupan,
dan sebagiannya membantu terwujudnya revolusi industri yang besar.
Ini
berbeda dengan kondisi di dunia Islam atau Khilafah 'Utsmani. Negara Khilafah
ketika itu tidak memandang dengan benar untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan
atau hukum-hukumnya, tidak berpikir mendalam tentang ideologi (mabda') Islam,
tidak menggerakkan pemikiran dan penyelenggaraan ijtihad, tidak memecahkan
problem-problemnya menurut hukum-hukum yang bersumber dari akidahnya, dan tidak
menerima ilmu dan industri.
Langkah-langkah
perbaikan tidak dilakukan Negara Khilafah yang pada gilirannya membuat Negara
Khilafah dihantam kebingungan dan kegoncangan sebagaimana yang pernah terjadi
di Eropa. Karena kebingungan ini, aktivitasnya berhenti dalam keadaan membeku
dan akhirnya Negara Khilafah 'Utsmani meninggalkan ilmu dan industri.
Akibatnya,
Negara Khilafah tertinggal oleh negara-negara lain (Eropa) dalam kemajuan
materi dan ilmu. Memang ada sisi positif yang menggembirakan. Sisi positif itu
terletak pada kenyataan bahwa Negara Khilafah 'Utsmani adalah Negara Khilafah
Islam. Islam masih menjadi aqidah negara dan sistemnya. Pemikiran-pemikiran
Islam adalah pemikiran negara. Sisi-sisi pandangan kehidupannya adalah visinya.
Bertolak dari ini, seharusnya negara Khilafah memandang pemikiran-pemikiran
baru yang berkembang di Eropa, membandingkannya dengan kaidah pemikirannya,
mengamati problem-problem baru dari sudut pandang Islam, lalu memberi ketetapan
hukumnya tentang pemikiran-pemikiran dan problem-problem tersebut dengan
melalui ijtihad yang benar menurut pandangan Islam.
Akan
tetapi amat sayang, negara Khilafah tidak melakukannya. Demikian itu karena
pemikiran-pemikiran keislaman yang dimilikinya berubah tidak jelas, negara
Khilafah kehilangan pemahaman-pemahaman yang definitif, dan akidah Islam tidak
menjadi kaidah pemikiran yang di atasnya dibangun semua pemikiran. Akidahnya
hanyalah akidah taklid. Asas yang menjadi pijakan negara (Negara Khilafah
'Utsmani) adalah akidah dan pemikiran-pemikiran yang tidak jelas. Sistem yang
dipakai membeku karena tidak adanya ijtihad.
Hadharah/ kebudayaannya yang merupakan
kumpulan pemahaman tentang kehidupan tidak mengkristal dan tidak berkaitan
dengan aktivitas-aktivitas negara. Sedangkan penyebabnya adalah kemunduran
pemikiran dan tidak adanya kebangkitan. Mereka para penguasa kekhilafahan
Negara Khilafah 'Ustmani dan kebanyakan masyarakat muslim hanya bisa berdiri
tercengang dan bingung di hadapan apa-apa yang mereka saksikan di Eropa, yaitu
tentang revolusi pemikiran dan industri. Mereka belum mampu memutuskan untuk
mengambil atau meninggalkannya. Mereka juga tidak mampu membedakan atau
memilah-milah antara apa yang boleh yang tidak boleh diambil dari filsafat yang
menentukan arah pandangan kehidupan dan hadharah/ kebudayaan yang merupakan
kumpulan pemahaman tentang kehidupan.
Karena
itu, mereka beku dan tidak mampu bergerak. Kebekuan ini menjadi sebab
terhentinya roda sejarah kejayaan mereka, padahal di waktu yang sama roda
negara-negara Eropa sedang berputar. Itu semua tidak lain dikarenakan tidak
adanya pemahaman mereka terhadap Islam secara benar, tidak tahunya mereka
tentang pertentangan antara pemikiran-pemikiran Eropa dan pemikiran-pemikiran
mereka, dan tidak adanya kemampuan memilah-milah antara ilmu, industri, dan
penemuan-penemuan yang dianjurkan Islam untuk mengambilnya dengan filsafat,
hadharah/ kebudayaan, dan pemikiran yang Islam melarangnya untuk diambil.
Memang
benar, umat dibutakan oleh Pemerintahan 'Utsmani. Mereka tidak mampu memahami
Islam dengan pemahaman yang benar. Kebutaan inilah yang menjadikan umat dan
negara hidup menurut hasil kesepakatan, tanpa memperhatikan sistem yang
dimilikinya.
Padahal
dalam waktu yang sama, musuh-musuh negara berpegang teguh pada sistem yang
jelas dan berjalan di atasnya. Dengan demikian, Eropa memiliki ideologi
(mabda') yang menjadi akidah dan filsafatnya yang diterapkan dalam kehidupan.
Sementara umat Islam memiliki ideologi yang benar yang hanya hidup dalam
idealisme sendiri yang hidup di belakang abad-abad yang jauh.
Negara
Khilafah hidup dalam pemerintahan yang buruk dalam penerapan yang buruk.
Padahal Rasulullah Saw. telah bersabda, "Saya
tinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya,
niscaya kalian tidak akan sesat, yaitu Kitabullah dan sunnahku."
Padahal
negaranya adalah Negara Islam, umatnya adalah umat Islam, dan khazanah
intelektual dan ilmu-ilmu fiqihnya berada di tangan umat. Hanya karena negara
Khilafah tidak memahami makna hadits ini yang menuntut kembali pada Islam,
yaitu kembali pada pokok-pokoknya yang berada di atas dasar akidah dan sistem
Islam, maka negara menjadi lemah dan hanyut dalam gelombang revolusi Eropa.
Padahal tidak ada umat yang memiliki warisan pemikiran dan tsaqafah/ khazanah
pemikiran yang nilainya tidak ada bandingnya selain umat Islam.
Memang
benar, karena hal-hal itu, maka negara Khilafah menjadi tidak berguna. Mengapa?
Karena ketika ijtihad dan pertumbuhan pemikiran berhenti, maka
pemahaman-pemahaman keislaman di kalangan kaum muslimin melemah. Mereka
meninggalkan pengetahuan-pengetahuan keislaman dan buku-buku dan khazanah
intelektual dibiarkan membeku terpelihara dalam gudang-gudangnya. Tidak ada
lagi ulama yang siap berpikir kecuali amat sedikit. Semangat dan cinta
pengkajian dan penyelidikan tentang hakikat-hakikat sangat sedikit. Ilmu-ilmu
pengetahuan berubah menjadi sekedar ilmu yang tiada dituntut untuk diamalkan
dalam negara Khilafah dan kancah kehidupan. Negara Khilafah tidak
menggerakkannya. Bahkan, para ulama yang menuntut ilmu dan tsaqafah/ khazanah
keilmuan hanya menjadikannya sebagai pengayaan akal. Mereka berpendapat bahwa
mencari ilmu untuk ilmu atau mencari ilmu untuk memperoleh rezeki. Sangat
sedikit dari mereka yang mencari ilmu untuk kemanfaatan umat dan negara
Khilafah.
Keadaan
itu juga menciptakan ketidaksiapan gerakan intelektual, tsaqafah/ khazanah ilmu
Islam atau perundang-undangan Islam dalam menghadapi problem kehidupan.
Akibatnya, pemahaman keislaman menjadi goncang. Kaum muslimin memahami Islam
dengan porsi pemahaman ritualnya lebih banyak daripada pemahaman pemikiran,
politik, dan perundang-undangan Islam. Karena, pemikirannya yang mendasar dan
cara pelaksanaannya sudah menjadi buta. Mereka menjadi buta dalam memahami
Kitabullah dan Sunnah Rasul. Mereka memahami Islam sebatas sebagai agama
ritual.
Umat jika
membandingkan antara Islam dan agama-agama lain, fokus perbandingannya sebatas
masalah keistimewaan aspek-aspek keruhanian keagamaan semata. Pandangan ini
menggantikan pandangan mereka semula yang memandang Islam sebagai akidah dan
sistem untuk seluruh persoalan kehidupan.
Oleh
karena itu, tidak heran jika umat Islam di bawah kendali Negara Khilafah
'Utsmani mengalami stagnasi, beku, kebingungan, dan goncang ketika mengahadapi
gerakan revolusioner yang terjadi di Eropa. Umat juga masih tetap terbelakang
dan tidak tergugah sedikitpun oleh kemajuan ekonomi yang membanjiri Eropa,
tidak terpengaruh oleh banyaknya penemuan yang terjadi di Eropa, dan tidak
tergelitik dengan gerakan industri yang dipelopori Eropa.
Memang ada
pengaruh sedikit dan sangat parsial. Itupun masih diliputi kebimbangan dan
kekacauan sehingga tidak melahirkan faidah apa-apa. Hal itu tidak memungkinkan
umat Islam memperoleh kemajuan materi, bahkan tidak memungkinkan mereka
menghentikan roda kebekuan. Umat justru semakin terpuruk dalam kemunduran dan
kelemahan. Faktor penyebabnya juga kembali pada kondisi mereka yang tidak mampu
membedakan antara ilmu dan tsaqafah
/khazanah ilmu Islam; antara hadharah
(kebudayaan) dan madaniah (sainstek).
Mereka akhirnya tetap berdiri dalam kebingungan dan tidak bisa mengambil
keputusan apakah mengambil atau meninggalkannya.
Banyak di
antara mereka yang melihat bahwa semua (ilmu, tsaqafah, industri, dan penemuan
Eropa) bertentangan dengan Islam. Karena itu, mereka menyatakan haram
mengambilnya. Bahkan, ketika percetakan (mesin-mesin cetak) menjadi fenomena
baru dan Negara Khilafah bermaksud mencetak Al-Qur'an, para ulama fiqih malah
mengharamkan pencetakan Al-Qur'an. Akibatnya, mereka memberi fatwa yang
mengharamkan setiap yang baru dan mengkafirkan setiap orang yang belajar
ilmu-ilmu eksakta. Setiap pemikir dituduh zindik dan atheis......
Artikel kutipan ini sumbernya : buku Mafahim Islamiyyah
BalasHapus