Khilafah
'Utsmani dipecah-belah menjadi beberapa negara yang di antaranya Turki, Mesir,
Irak, Suriah, Libanon, Palestina, Timur Yordan, Hijaz, Najd, dan Yaman.
Para
aktivis politik yang menjadi antek-antek kafir penjajah mengadakan berbagai
muktamar dan kongres di setiap negara di mana mereka tinggal. Mereka semua
menuntut kemederkaan dari Turki (Khilafah 'Utsmani).
Tuntutan
kemerdekaan di masing-masing negeri yang digariskan dalam muktamar ditetapkan
menjadi negara yang berdiri sendiri dan terpisah dari negeri-negeri Islam
lainnya.
Maka, atas
dasar ini berdirilah Negara Turki, Irak, Mesir, Suriah, dan seterusnya.
Kemudian di Turki didirikan gerakan nasionalis kebangsaan Yahudi yang beberapa
waktu kemudian berubah menjadi perjuangan kemerdekaan atas nama negara bangsa.
Proyek ini diagendakan menjadi ujung jembatan bagi kepentingan kafir dan untuk
menciptakan ganjalan yang menyibukkan kaum muslimin yang akhirnya menjadikan
mereka lupa terhadap kafir penjajah, yaitu negara-negara Barat, seperti
Inggris, Amerika, dan Perancis.
Di samping
itu, untuk menjadikan Israel sebagai salah satu penghalang yang akan
memecah-belah negara-negara kaum muslimin sehingga mereka tidak mampu
mengembalikan Negara Islam. Dengan demikian, posisi geografis dan iklim umum
memusat menjadi satu titik perubahan tanpa ada pembebasan kaum muslimin.
Mushthafa
Kamal menegakkan pemerintahan dengan sistem kapitalis dalam perekonomian,
sistem demokrasi dalam pemerintahan, dan undang-undang Barat dalam aturan
birokrasi dan pengadilan. Dia juga menetapkan kebudayaan dan
pemahaman-pemahamannya tentang kehidupan [sesuai dengan Barat]. Dia berusaha
memusatkan arah pandangan kehidupannya hingga jalan hidupnya menjadi pedoman
hidup kaum muslimin. Mereka dituntut hidup di atas jalan itu.
Kerja
Mushthafa Kamal memperoleh kesuksesan hingga pada batas yang jauh.
Dia
bersama sekutu Barat menjadikan Mesir kesultanan kemudian menerapkan sistem
kerajaan parlementer di dalamnya.
Di Irak
dia juga menerapkan sistem kerajaan parlemen.
Di Libanon
dan Suriah diberlakukan sistem republik.
Di Timur
Yordan ditegakkan sistem keemiratan dan di Palestina ditetapkan sistem
pemerintah dominion yang berakhir dengan tegaknya sistem demokrasi parlemen
yang mengikat antara Yahudi di bawah nama negara sendiri, dan menggabungkan
sisa wilayahnya pada Timur Yordan dan menjadikannya kerajaan parlemen.
Di Hijaz
dan Yaman ditegakkan kerajaan lalim.
Di Turki
didirikan republik kepemimpinan.
Di
Afganistan ditegakkan kerajaan dinasti (pewarisan).
Dia juga
mendorong Iran memegang teguh sistem kekaisaran dan membiarkan India menjadi
daerah jajahan, kemudian membaginya menjadi dua negara.
Dengan
strategi ini, kafir penjajah menjadikan sistemnya diterapkan oleh Mushthafa
Kamal dalam negara kaum muslimin, dan dengan penerapannya akan melemahkan
pikiran dan jiwa umat untuk mengembalikan pemerintahan Islam.
Upaya
Mushthafa Kamal tidak berhenti sampai di sini saja, bahkan jiwa penduduk negara
dikondisikan dalam suasana memiliki dan keharusan mempertahakan sistem yang
ditegakkannya. Karena, penduduk tiap negeri dari negeri-negeri bekas Khilafah
Islam mengategorikan negeri mereka sebagai negara yang berdiri sendiri.
Akibatnya,
mereka (umat Islam) memahami keharusan memerdekakan negerinya dari
negeri-negeri Islam lainnya. Maka tidak heran jika orang Irak di Turki dianggap
sebagai orang asing. Orang Suriah di Mesir juga dihitung sebagai orang asing.
Seperti
demikianlah cara-cara para penguasa tiap negeri dalam menjaga pemahaman sistem
kapitalis demokrasi. Penjagaan mereka terhadap sistem ini lebih banyak daripada
penjagaan penduduknya. Mereka menjadi orang-orang bayaran dengan tugas
memelihara sistem dan undang-undang yang dibentuk penjajah dan diberlakukan
pada mereka.
Setiap
upaya mengubah sistem yang berlaku oleh mereka dikategorikan sebagai gerakan
yang inkonstitusional. Gerakan ini akan dikenai sanksi oleh undang-undang
penjajah yang diberlakukan pada mereka.
Mushthafa
Kamal (dengan kafir penjajah) menerapkan undang-undang Barat di negara kaum
muslimin secara langsung setelah berusaha menerapkannya dengan melalui
antek-anteknya. Semenjak paruh pertama abad 19 penjajah sudah berusaha
memasukkan undang-undang Barat ke Negara Khilafah Islam.
Di Mesir
diciptakan penjajahan yang mendorong masuknya undang-undang sipil Perancis
untuk menggantikan kedudukan hukum-hukum syara' dan upaya ini berhasil. Mesir
semenjak tahun 1883 M mulai menerapkan undang-undang Perancis, juga
menerjemahkan undang-undang Perancis lama dan menerapkannya sebagai
undang-undang resmi negara. Maka, undang-undang Perancis menjadi undang-undang
resmi negara yang menggantikan kedudukan undang-undang syara'. Undang-undang
ini diterapkan di pengadilan-pengadilan Mesir.
Di
Khilafah 'Utsmani semenjak tahun 1856 dimulai gerakan untuk menjadikan
undang-undang Barat sebagai undang-undang Turki. Pada mulanya gerakan ini tidak
berjalan dengan mudah sebagaimana di Mesir karena masih adanya Khilafah Islam.
Akan
tetapi, kaum kafir terus-menerus mendesak, mengkader, dan mendudukkan
antek-antek mereka pada kedudukan mereka yang akhirnya antek-antek itu menerima
masuknya undang-undang perpajakan, undang-undang hak, dan undang-undang
perdagangan.
Tekniknya
dengan menjadikan fatwa-fatwa mereka yang dinyatakan sebagai fatwa yang tidak
bertentangan dengan Islam. Kemudian kaum kafir memasukkan ide pembuatan
undang-undang, menyusun majalah dari hukum-hukum syara' sebagai undang-undang,
membagi mahkamah menjadi dua bagian yang dikategorikan sebagai syara' yang
dijalankan dengan hukum-hukum syara' atas dua bentuk undang-undang, dan sistem
yang menerapkan hukum menurut undang-undang Barat yang oleh para ulama
difatwakan sebagai undang-undang yang tidak bertentangan dengan Islam, juga
sesuai dengan undang-undang syara' yang dipolakan mengekor pada undang-undang
Barat. Ini persoalan intervensi kafir penjajah kaitannya dengan undang-undang….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar