Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 18 Oktober 2010

Pemahaman Sebab Akibat Kausalitas Muslim

Pemahaman Sebab Akibat Kausalitas Muslim

KAIDAH KAUSALITAS SEBAGAI PEMAHAMAN ASASI BAGI KAUM MUSLIM

Memahami hubungan sebab-akibat (as-sababiyyah) merupakan perkara asasi bagi kaum Muslim. Mereka harus memahami perkara ini dengan jelas. Sebab, risalah mereka dalam kehidupan ini adalah risalah yang bersifat praktis (‘amalî), dan mereka hidup tidak lain untuk menjalankan aktivitas dalam rangka meraih tujuan tertentu.

As-Sababiyyah termasuk pemahaman Islam yang berkaitan dengan perilaku keseharian seorang Muslim. Tidak mudah bagi seorang Muslim untuk melakukan aktivitas sehari-hari tanpa memperhatikan kaidah kausalitas (qâ’idah as-sababiyyah) ini. Umat Islam generasi pertama --baik pada masa shahabat, tâbi’în (generasi pasca shahabat), tâbi’ at-tâbi’în (generasi pasca tâbi’în), maupun para tokoh kebangkitan setelah mereka-- memahami benar prinsip as-sababiyyah ini. Mereka memahami perkara ini secara benar, sempurna, dan jernih. Pemahaman tersebut lantas mereka realisasikan dalam perilaku mereka sehingga mereka mampu melakukan aktivitas yang menyerupai mukjizat --apabila diukur dengan zaman kita saat ini. Sebab, mereka telah berhasil mengemban Islam, menyebarkan dakwah, dan membuka wilayah-wilayah baru di berbagai pelosok dunia dalam waktu yang sangat cepat melampaui perjalanan sejarah umat-umat yang lain. Padahal, sarana transportasi yang paling baik saat itu hanyalah unta.

Namun sayang, ketika mulai muncul berbagai penghalang yang menutupi berbagai pemahaman Islam dan bahkan menghancurkan berbagai pengertiannya dalam benak kaum Muslim, baik saat ini maupun masa sebelum mereka hingga zaman masa kegelapan dan kemundurannya, hilanglah kejelasan pemahaman as-sababiyyah ini dari umat Islam; bercampur-baur dengan kerancuan pemahaman tentang konsep tawakal, takdir, ilmu Allah yang azali, dan kepasrahan terhadap qadriyyah ghaibiyyah (kekuatan gaib). Semua itu mengakibatkan mereka bersikap pasif dalam upaya menegakkan risalah Islam di tengah-tengah kehidupan mereka. Mereka bahkan berdiam diri dari upaya untuk melenyapkan dominasi kekufuran. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, mereka merasakan adanya bahaya yang mengancam jiwa, harta, kesucian, dan kehormatan mereka. Umat Islam pun tertinggal dalam bidang militer, ilmu, pemikiran, ekonomi, maupun politik. Lebih dari itu, umat Islam menjadi santapan negara-negara kafir. Negara-negara kafir telah berhasil membagi-bagi khazanah dan kekayaan umat Islam seraya menundukkan kaum Muslim sehingga mereka tetap menguasai kekayaan tersebut.

Itulah yang terjadi saat ini. Kaum Muslim bahkan mulai menanggalkan keIslamannya dan menjauhkan Islam dari kehidupan melalui para penguasa mereka yang membebek kepada Barat. Mereka bahkan terlalu asyik hingga terlena dengan pemikiran-prmikiran Barat. Mereka pun meniru Barat dalam realitas kehidupan dan penampilannya. Akibatnya, umat Islam semakin merosot, dari keadaan yang buruk menjadi lebih buruk lagi.

Kita bisa memperhatikan orang-orang yang memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi dan menjalani kehidupan dengan suatu ideologi untuk meraih tujuan tertentu, seperti para pengemban dakwah, tidak pernah merasa rela terhadap perkara-perkara yang --pada umumnya-- diridhai oleh kebanyakan orang. Mereka, dalam kehidupan ini, tidak mau menjadi objek (sasaran) yang dikendalikan oleh keadaan. Sebaliknya, mereka berusaha secara konsisten dan terus-menerus untuk selalu menjadi subjek (pelaku) dalam kehidupan ini. Mereka juga berusaha untuk bisa meraih berbagai target (al-ahdâf) dan mewujudkan berbagai tujuan akhir (al-ghayyâh) atas semua aktivitas yang mereka lakukan. Tatkala melakukan aktivitas, mereka tidak melupakan target dan tujuan. Bahkan, keduanya selalu ada dalam benak mereka. Mereka tidak merasa puas. Hati dan jiwa mereka pun tidak merasa tenang, sebelum berhasil mencapai tujuan yang ditentukan. Oleh karena itu, mereka tidak akan melaksanakan suatu aktivitas yang tidak didasarkan pada perencanaan, dan bersifat spontan. Mereka senantiasa melakukan pengkajian dan membuat perencanaan sebelum melakukan suatu aktivitas. Mereka selalu meneliti sebab dan akibat, kemudian mengaitkan keduanya secara benar untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam setiap aktivitas mereka, baik yang berskala besar maupun kecil. []

Kausalitas Hubungan Sebab Akibat Kehidupan Muslim

Kausalitas Hubungan Sebab Akibat Kehidupan Muslim
Kaidah Kausalitas

Memahami Hubungan Sebab-Akibat Dalam Realitas Kehidupan Muslim1

PENGANTAR PENERBIT
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarga, shahabat, dan orang-orang yang setia kepadanya.

Buku ini membahas sebuah topik yang pernah dimuat Majalah Al-Wa’ie terbitan Beirut yang berjudul “As-Sababiyyah (Kaidah Kausalitas)”, tanpa disebutkan nama penulisnya. Harus saya katakan bahwa, saya telah membaca pembahasan yang singkat tersebut lebih dari satu kali. Saya melihat kedalaman pembahasan yang dikemukakan oleh penulisnya --semoga Allah membalasnya dengan kebaikan. Pembahasan tersebut berkisar pada aspek as-sababiyyah (kaidah kausalitas) sebagai landasan bagi manusia dalam menjalankan berbagai aktivitas dan dalam mencapai berbagai tujuan yang diupayakannya. Pembahasan tersebut kemudian dihubungkan dengan realitas seorang Muslim serta dikaitkan dengan keistimewaan dan peranannya di tengah-tengah kehidupan dalam menjalankan berbagai aktivitas dan mencapai berbagai tujuan.

Sejak saat itu, saya bertekad untuk mencetak dan menyebarluaskan tulisan ini agar setiap Muslim dengan mudah dapat memahaminya sehingga terhindar dari kerancuan pemahaman. Sebab, kerancuan pemahaman seseorang terhadap konsep as-sababiyyah (kaidah kausalitas) ini dapat menghalangi dirinya untuk melakukan amal secara ikhlas, mendorongnya untuk menyia-nyiakan upaya dan potensinya yang melimpah, serta melelahkan dirinya dalam upaya mewujudkan kemuliaan dan keagungan umat.

Saya akan mencetak dan menyebarluaskan tulisan yang bernilai ini, seraya berdoa kepada Allah Yang Mahamulia dan Mahaagung, semoga Dia memberikan kebaikan kepada penulisnya dan tidak menghalangi saya untuk menerima pahala dari amal ini.

Hanya Allah-lah Pemilik taufik.

Beirut, 8 Januari 1996
Samîr ‘Azzâm

1 Abdul Karim as-Saamiy; As-Sababiyah, Qa’idatu Injazi al-A’mali wa Tahqiqi al-Ahdafi wa Dauruha fi Hayati al-Muslim; Darul Bayariq, Beirut; 1996.

DAFTAR ISI

Bab I. Kaidah Kausalitas dan Peranannya dalam Kehidupan Muslim ............ 3
Bab II. Kaidah Kausalitas Sebagai Pemahaman Asasi Bagi Kaum Muslim ...... 6
Bab III. Manusia dan Peranannya dalam Merealisasikan Aktivitas .................. 8
Bab IV. Aspek Kemanusiaan dalam Meraih Hasil ........................................... 10
Bab V. Akal dan Kehendak: Dua Hal Yang Tak Bisa Dipisahkan untuk Mewujudkan Tujuan .......................................................................... 17
Bab VI. Hubungan antara Wasîlah, Uslûb, dan Tharîqah dengan Target,
Maksud, dan Tujuan .......................................................................... 20
Bab VII. Rahasia di Balik Keluarnya Manusia dari Lingkaran Kaidah
Kausalitas ........................................................................................... 22
Bab VIII. Hubungan Kaidah Kausalitas dengan Qadhâ ...................................... 24
Bab IX. Hubungan Kaidah Kausalitas dengan Sikap Tawakal ......................... 25
Bab X. Hubungan Kaidah Kausalitas dengan Ilmu Allah, Catatan di Lauhul Mahfûzh, dan Kekuatan Gaisb ........................................................... 27
Bab XI. Kaidah Kausalitas dalam Perspektif Syariat Islam ................................ 30

Kausalitas Hubungan Sebab Akibat Kehidupan Muslim
Kaidah Kausalitas

Pengertian Definisi Makna Sebab - Peran Kausalitas Dalam Kehidupan Muslim

Pengertian Definisi Makna Sebab - Peran Kausalitas Dalam Kehidupan Muslim

KAIDAH KAUSALITAS DAN PERANANNYA DALAM KEHIDUPAN MUSLIM
Kaidah Kausalitas: Tinjauan Etimologi dan Fakta

Di dalam kamus Ash-Shahâh disebutkan bahwa as-sabab mengandung makna sebagai segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang lain. Orang-orang Arab Aqhah (yang masih murni bahasanya) menggunakan istilah as-sabab dengan pengertian tersebut. Dalam bait syairnya, Juhair bertutur demikian:

Siapa yang takut pada sebab kematian, ia akan menemuinya juga
Meski dia menemukan jalan ke langit melalui tangga

Pengertian di atas sama dengan apa yang tercantum di dalam al-Quran, yakni segala sesuatu yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang lain. Allah SWT berfirman:

Atau apakah bagi mereka kerajaan langit dan bumi dan yang ada di antara keduanya? (Jika ada), hendaklah mereka menaiki tangga-tangga (ke langit). (QS Shad [38]: 10)

Imam Zamakhsyari menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan, “Hendaklah mereka menaiki tangga-tangga dan jalan-jalan yang dapat mengantarkan mereka ke Arsy.”

Allah SWT juga berfirman di dalam al-Quran:

Fir’aun berkata, “Hammân, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, sehingga aku dapat melihat Tuhan Mûsâ. Sesungguhnya aku menganggap dia sebagai seorang pendusta.” Demikian, di hadapan Fir’aun, keburukan perbuatannya dipandang baik, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar). Tipudaya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian. (QS al-Mu’min [40]: 36-37)

Imam Zamakhsyari juga menafsirkan kata asbâb as-samâwât dengan kalimat, “jalan-jalan dan pintu-pintu menuju langit.”

Dengan demikian, hal-hal yang menjadi perantara untuk sampai pada sesuatu disebut sebab, seperti zina, misalnya, (menjadi sebab murka Allah, karena zina bisa mengantarkan terhadap murka Allah), dan contoh lainnya.

Begitu juga dalam istilah ahli ushul fikih, kata sabab (sebab) mempunyai arti yang sama. Mereka telah mendefinisikan sebab sebagai sifat nyata yang ditunjukkan oleh dalil sam’î (naqlî) bahwa sifat tersebut merupakan pemberitahuan adanya hukum, bukan pemberitahuan disyariatkannya hukum.

Mereka juga mengatakan bahwa sebab adalah sesuatu yang pasti mendatangkan akibat. Tidak adanya sebab, pasti tidak akan mendatangkan akibat. Keberadaan akad syar’î, misalnya, menjadi sebab kebolehan untuk mengambil manfaat atau sebab adanya peralihan kepemilikan; nishâb menjadi sebab bagi kewajiban membayar zakat; dan sebagainya. Jadi, sebab adalah segala sesuatu yang mengantarkan pada sesuatu yang lain. Makna tersebut telah digunakan oleh orang-orang Arab, al-Quran, para ulama, dan para fuqahâ.

Berdasarkan hal ini, tali, jalan, datangnya ajal, dan hitungan iddah (wanita), semuanya merupakan sebab, karena bisa mengantarkan pada sesuatu yang lain. Apabila kita menggunakan kata sebab dalam suatu ungkapan --misalnya: sebab-sebab pewarisan; sebab-sebab kepemilikan; upaya mengaitkan sebab dengan akibat; atau sebab-sebab turunnya ayat-- maka yang dimaksud adalah segala sesuatu yang bisa mengantarkan pada sesuatu yang lain. Tidak ada pengertian lain selain pengertian tersebut.

Dengan demikian, perantara yang dapat mengantarkan sesuatu pada sesuatu yang lain disebut sebab, sedangkan sesuatu yang lain tersebut disebut akibat.

As-Sababiyyah (Kaidah Kausalitas) adalah upaya untuk mengaitkan sebab dengan akibatnya. As-Sababiyyah merupakan landasan dalam menjalankan berbagai aktivitas (qâ’idah ‘amaliyyah) dan meraih berbagai tujuan. Dengan memenuhi tuntutan kaidah ini, suatu aktivitas dapat terlaksana, bagaimanapun keadaannya; baik mudah ataupun sulit. Dengan memenuhi tuntutan kaidah ini pula, tujuan suatu aktivitas akan dapat diraih, bagaimanapun keadannya; baik dekat ataupun jauh.

Dalam konteks as-sababiyyah (kaidah kausalitas) ini, ada beberapa contoh yang dapat dikemukakan. Upaya seorang petani untuk menebarkan benih di musim tanam, menaburkan pupuk, dan membajak tanah; upaya seorang panglima pasukan untuk meneliti berbagai informasi tentang musuh melalui badan intelijen atau untuk menambah jumlah pasukan dan perbekalan; upaya orang sakit untuk mengambil obat yang sesuai dengan penyakitnya dan mengikuti petunjuk dokter; upaya seorang pedagang untuk membuka toko serta mengiklankan barang dagangannya melalui pamflet atau sarana lainnya; upaya seorang musafir untuk menaiki kendaraan yang sesuai dengan tujuannya; upaya seorang pelajar untuk mempelajari, memahami, dan menguasai mata pelajaran yang telah ditetapkan; upaya seorang aktivis partai politik untuk melakukan interaksi dengan --sekaligus melakukan perekrutan terhadap-- orang yang bisa memberikan perlindungan (ahlun nusrah), cendikiawan, atau politikus; upaya seorang aktivis partai politik untuk menyebarkan selebaran (al-mansyûrât) atau untuk terjun dalam aktivitas di daerahnya; serta upaya aktivis partai politik untuk mencermati berbagai fenomena politik yang ada di dunia sekaligus memahami dan memecahkan masalahnya dalam rangka mengatur urusan umat atau berusaha mengatur urusan tersebut; semua itu termasuk upaya untuk menjalani berbagai sebab atau upaya untuk mengaitkan sebab dengan akibatnya.

Sementara itu, ketika kita berupaya melakukan aktivitas untuk mengembalikan kejayaan Islam melalui tharîqah (metode) khutbah Jumat; berupaya menyingkirkan para penguasa zalim melalui pendirian organisasi sosial-kemasyarakatan (jam’iyât khairiyât); berupaya mewujudkan kebangkitan umat dengan cara meniru dan mengikuti peradaban Barat serta memeluk pemikiran dan ideologinya; atau mengharapkan kembalinya kejayaan Islam tanpa mendirikan partai politik, semua itu termasuk sikap berserah diri secara total pada keadaan (fatalistis). Fatalisme bertentangan dengan prinsip atau kaidah kausalitas (as-sababiyyah) karena tidak berupaya untuk mengaitkan sebab dengan akibat.

As-Sababiyyah adalah upaya untuk mengaitkan sebab-sebab fisik dengan akibat-akibatnya yang juga bersifat fisik dalam rangka mencapai target dan tujuan tertentu. Upaya tersebut dilakukan dengan cara mengetahui seluruh sebab yang mampu mengantarkan pada tercapainya tujuan serta mengaitkannya dengan seluruh akibatnya secara benar. Hanya dengan cara semacam ini, kita dapat mengatakan bahwa, kita telah menjalani sebab-sebab atau mengambil kaidah kausalitas (qâi’dah as-sababiyyah) sebagai landasan untuk melakukan berbagai aktivitas dan mencapai berbagai tujuan. Alasannya, terwujudnya aktivitas dan tujuan tersebut pada akhirnya, secara pasti, bergantung pada sejumlah tolok-ukur fisik (maqâyis mâdiyyah) yang kita miliki; tentu saja selama tidak ada pengaruh gaib yang bersumber dari lingkaran qadhâ.

Dengan paparan di atas berarti, fatalisme atau sikap pasrah secara total (at-tawâkuliyyah) menunjukkan tidak adanya upaya untuk mengaitkan sebab dengan akibat. Sebaliknya, fatalisme menunjukkan pada adanya sikap merasa puas dengan hanya menjalani sebagian sebab dan lebih banyak menyandarkan diri pada perkara gaib yang tidak mungkin diketahui. Padahal, pada saat yang sama, masih banyak sebab-sebab lain yang dapat diupayakan atau masih perlu adanya upaya mengaitkan sebab dengan akibat secara benar.

Dengan demikian, fatalisme akan tampak dalam dua perkara. Pertama, tidak adanya upaya untuk menjalani seluruh sebab yang bisa mengantarkan pada tujuan. Kedua, adanya upaya meremehkan keterkaitan antara sebab dengan akibat atau adanya sikap menyandarkan diri pada perkara gaib. []

Jumat, 08 Oktober 2010

Download Buku-Buku Islam Iman Taqwa


KLIK GAMBAR SAMPUL BUKU UNTUK DOWNLOAD





















http://www.mediafire.com/download/kqgrm3tb6q5lkej/Buku+Uang-Uang+Haram+Dalam+Demokrasi+%5BDOC%5D.doc


Download Buku Imperialisme Barat Abad 21 dan Kembalinya Khilafah

Download Buku Imperialisme Barat Abad 21 dan Kembalinya Khilafah


  

Sejak 11 September 2001, Barat telah mengintensifkan konfrontasinya dengan Islam. Perjuangan ini bukanlah benturan peradaban sebagaimana yang dipahami oleh sebagian pihak; tetapi ini adalah perang peradaban dan Dunia Muslim adalah medan pertempuran terdepan. Kekuatan-kekuatan Barat membiayai perang brutal ini dengan semua kemampuan dan kekayaannya untuk memastikan keselamatan dominasi politik, budaya dan militer mereka di Dunia Muslim. …

Iklim politik yang dijalankan Barat adalah intimidasi dan tirani. Nilai-nilai yang digandeng Barat didasari atas penipuan dan ketidakadilan, Barat telah menyatakan bahwa berperang melawan Umat Islam dan Islam di bawah selubung perdamaian adalah tindakan mulia. Penguasa kafir Barat di antara Kaum Muslimin dan banyak bagian dunia adalah imperium imperialistik yang merupakan musuh Islam. …

Saya telah menulis banyak artikel tentang beberapa subjek yang menarik dan menstimulasi pemikiran bagi Muslim dan non-Muslim. Artikel-artikel itu menantang sifat dasar pandangan-pandangan konvensional yang dipercaya oleh Barat dan antek-anteknya di dunia Muslim.

Apa yang dibutuhkan dunia hari ini adalah satu ideologi dan satu negara yang tidak disibukkan dengan mengamankan sumberdaya dan melindungi pasarnya ketika berhadapan dengan rakyat yang sangat tertekan oleh bencana. Tapi yang mampu berhadapan dengan para korban bencana semacam itu dengan belas kasih dan penghargaan bagi nyawa manusia.

Mereka adalah para pemerintah yang sama yang tidak pernah lelah mengkutbahkan persamaan, hak-hak manusia kepada seluruh dunia, dan menetapkan komisi hak-hak manusia, tapi ketika diberi kesempatan untuk menjunjung ideal-ideal itu di sebagian negeri-negeri termiskin dunia mereka tiba-tiba terjangkit amnesia. Materialisme dan pencarian tiada akhir akan sumberdaya telah membuat para pemerintah Barat kehilangan kesempatan untuk memenangkan hati dan pikiran kaum Muslimin yang menjauh dari perang terhadap terorisme Amerika.

Bagian 1 adalah bantahan terhadap beberapa tuduhan umum yang dimanfaatkan oleh para penulis Barat melawan Islam. Bagian 2 mengekspos kolaborasi antara Barat dan para penguasa Muslim antek mengenai kolonisasi tanah-tanah Muslim. Bagian 3 menerangkan ketidakmampuan Kapitalisme Barat untuk memecahkan masalahnya di dalam negeri mereka. Terakhir, Bagian 4 membahas kegagalan Barat untuk mencegah Muslim dari menuntut untuk hidup di bawah Khilafah.


21st Century Western Imperialism and the Return of the Caliphate
Abid Mustafa January 8, 2010
22 Muharram 1431
Syariah dan Khilafah

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam