“Uh, senangnya jadi anak rusa!” dengus Vito suatu malam saat menyaksikan acara mengenai kehidupan rusa di televisi.
“Lho, memangnya kenapa To?” tanya Vici, kakak perempuannya heran.
“Lihat tuh, Kak. Anak-anak rusa itu terlihat gembira sekali sepanjang hari terus bermain bersama teman-temannya”, sahut Vito dengan nada sebal.
Tampak di layar televisi sekelompok anak rusa berkejaran dengan riang di sebuah padang rumput, sedangkan induk rusa tengah duduk santai memperhatikan mereka di bawah rimbunnya pepohonan.
“Ha-ha-ha..., kamu mau jadi anak rusa To?” tanya Vici geli.
“Hu-uh, mau banget! Siapa yang tidak mau kalau sepanjang hari Cuma bermain bersama teman-temannya seperti mereka.” Jawab Vito sinis. Matanya menyipit kesal.
“Lho, terus kamu tidak sekolah? Mana ada rusa yang sekolah sampai kelas lima seperti kamu” cetus Vici.
“Ya tidak usah sekolah. Itu mereka tidak sekolah juga senang-senang sama”, sungut Vito. Pipi gendutnya tampak makin menggelembung.
Tak lama kemudian Mama masuk ke ruang televisi.
“Vici, Vito, ayo bobok. Besok sekolah. Jangan lupa sikat gigi dulu”, kata Mama lembut.
“Ya... Mama... tanggung nih! Sebentar lagi deh...” sahut Vito kecewa. Sementara Vici segera beranjak menuruti permintaan Mama.
“”Vito, hari ini cukup nonton televisinya. Lihat tuh, sudah jam berapa. Besok pagi bisa kesiangan kamu”, kata Mama lagi.
“Maaa, tanggung nih... Lima menit lagi deh...”, rajuk Vito.
“Vito!” akhirnya Mama berkata tegas sambil sedikit membelalakkan matanya. Dan dengan bersungut-sungut sebal, Vito pun beranjak keluar.
“Hu-uh, aku iri pada anak rusa. Hidupnya sangat menyenangkan. Tidak ada pe-er, tidak ada Matematika, tidak ada papa mama...” gumam Vito saat terbaring di tempat tidurnya. Matanya belum bisa terpejam.
“Senang sekali sepanjang hari bisa bermain bersama teman-teman dengan bebas. Oh, seandainya aku jadi anak rusa...” bisik Vito penuh harap.
Malam semakin larut. Suara jangkrik dan gemerisik dedaunan di taman yang sesekali tertiup angin malam menemani lamunan Vito. Jam dinding berdentang sebanyak dua belas kali.
Tiba-tiba Vito merasakan keanehan. Lantai kamarnya perlahan-lahan ditumbuhi rerumputan dan pepohonan. Atap dan dinding kamarnya pun berangsur-angsur menghilang. Ada apa ini?
“Lho! Aku berada di padang rumput...” kata Vito bingung. Ditatapnya matahari pagi yang perlahan muncul dari balik pegunungan nun jauh di sana. Sungguh suatu padang rumput yang indah.
Karena takjub, tanpa sadar Vito menggaruk kepalanya. Tapi....
“Lho! Tanganku kok seperti kaki rusa!” pekik Vito kaget.
Dan Vito pun tersadar bahwa seluruh tubuhnya telah menjelma menjadi sosok anak rusa! Kedua tangannya telah menjadi kaki depan rusa, mulutnya menjadi moncong rusa. Dia juga memiliki ekor kecil dan dua buah tanduk yang sangat kecil di kepalanya.
“Wah! Aku menjadi anak rusa! Anak rusa!” sorak Vito senang. Dia melompat-lompat riang dengan keempat kakinya.
Segera dia berlari-lari gembira menjelajahi padang rumput indah itu. Bebas sekai rasanya. Tidak ada satu pun yang mengganggu kegembiraan Vito.
Menjelang siang, Vito merasa lelah. Kemudian dia duduk di bawah rimbunnya pepohonan dengan santai. Dihirupnya napas dalam-dalam menikmati udara segar padang rumput. Tampak olehnya sepasang mata di balik semak-semak yang cukup lebat. Mata itu menatap Vito, sang anak rusa.
“Oh, itu pasti Kak Vici! Kenapa dia bersembunyi di semak-semak itu? Pasti ingin mengejutkanku,” ujar Vito dalam hati.
“Kak Viciii!” panggil Vito senang. Dia segera menghambur menuju semak-semak itu. Dengan riang dia berlari kencang sambil sesekali melompat memamerkan kehebatannya kepada Vici yang disangkanya bersembunyi di sana.
Saat dia makin mendekat ke semak-semak itu, mendadak....
“AAAUUUMMM!” sekejap mata, sepasang mata itu melompat keluar dari balik semak-semak dan mengejar Vito.
“Ya ampun! Itu singa! TOLOONG! TOLOONG!” secepat kilat Vito membalikkan tubuhnya dan berlari sekencang mungkin menghindari singa yang mengejarnya.
“Papaa... Mamaa.. Kak Vicii.. Tolong Vitooo!” jerit Vito ketakutan. Kakinya terasa lemas. Lama-kelamaan singa itu berhasil menyusul Vito yang telah kehabisan tenaga. Dan saat singa itu berhasil menerkamnya, Vito merasakan gigi-gigi taring singa menggigit lehernya.
“WAA! WAA!” sambil menjerit-jerit. Vito meronta sebisanya dan kakinya menendang ke segala arah. Tapi cengkeraman singa itu terlalu kuat bagi seekor anak rusa seperti Vito. Vito hanya bisa meronta-tonta tak berdaya.
“Hei! Bangun! Bangun!” tiba-tiba Papa dan Mama membangunkan dengan menggoyang-goyangkan tubuh gendutnya.
Vito tergagap bangun. Tubuhnya berkeringat. Dan dilihatnya kedua orangtua tersayanganya itu, Vito langsung menghambur memeluk mereka.
“Vito tidak mau menjadi anak rusa. Vito tidak mau diterkam singa. Vito mau jadi anak papa dan mama saja!” isak Vito dalam pelukan Papa dan Mama.
Dengan terbata-bata Vito mengisahkan mimpi tentang anak rusa tadi kepada mereka. Papa dan Mama tersenyum geli sambil mengusap-usap punggung anak bungsunya itu dengan penuh kasih sayang.
Di luar sana, langit masih gelap. Bintang-bintang berkelip dengan tenangnya menemani rerumputan di taman yang berembun.
“Vito tidak mau jadi anak rusaaaa!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar