Alasan Mengapa Perlu Formalisasi Syariah Islam
Mengapa Formalisasi Syariah. Mengapa umat Islam perlu melakukan formalisasi syariah ? Jawaban untuk pertanyaan ini dapat ditinjau dari beberapa alasan berikut :
Pertama, alasan aqidah. Para ulama telah menjelaskan mengapa formalisasi syariah perlu dilakukan. Pada dasarnya, menerapkan syariah adalah suatu kewajiban sebagai konsekuensi keimanan seorang muslim. Tidak boleh ada hukum yang mengatur kehidupan umat Islam yang beriman kecuali hanya syariah Islam semata.i Keterikatan pada syariah adalah konsekuensi iman seorang muslim. Allah SWT berfirman :
“Maka demi Tuhanmu (Muhammad), mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan...” (QS An Nisaa` : 65)
“Barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS Al Maaidah : 44)ii
Kedua, alasan filsafat hukum. Formalisasi syariah menemukan urgensi dan relevansinya tatkala di suatu masyarakat diterapkan sistem hukum Barat yang secara filosofis bertentangan dengan syariah. Jadi formalisasi syariah perlu dilakukan karena ia merupakan upaya untuk menggantikan sistem hukum Barat yang prinsip-prinsip dasarnya tidak sesuai untuk umat Islam.
Filsafat (prinsip dasar) hukum Barat bertentangan dengan Islam. Misalnya : (1) pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-din ‘an al-hayah), (2) relativitas/kenisbian undang-undang dan hukum (nisbiyyah al-qawanin wa at-tasyri’at), (3) pemeliharaan kebebasan individu (hifzh al-hurriyah al-fardiyyah).
Prinsip pemisahan agama dari kehidupan telah menghilangkan unsur agama dalam pembuatan hukum, sehingga hukum akhirnya tunduk kepada keinginan orang banyak (volonte generale), bukan mengikuti ketentuan agama. Prinsip pemisahan agama dari kehidupan itu juga melahirkan prinsip kenisbian hukum, sebab setelah hukum dilepaskan dari agama, hukum akhirnya dipahami secara positivistik sebagai anak kandung yang lahir dari situasi dan kondisi masyarakat yang selalu berubah sesuai waktu dan tempat. Prinsip pemisahan agama dari kehidupan juga melahirkan prinsip pemeliharaan kebebasan individu, sebab setelah agama dipisahkan dari kehidupan, berarti manusia menjadi bebas dari keterikatannya dengan agama. Maka hukum dibuat untuk memelihara kebebasan individu dan negara dianggap tidak boleh melanggar kebebasan individu ini, walaupun kebebasan individu itu berarti melanggar agama. Semua filsafat hukum Barat ini bertentangan dengan Islam karena Islam tidak mengenal pemisahan agama dari kehidupan, yang sebenarnya lahir dalam konteks sosio-historis Eropa setelah lepas dari dominasi gereja pada Abad Pertengahan (abad V-XV M).
Dengan demikian, formalisasi syariah sesungguhnya sangat perlu dilakukan, karena ia merupakan kritik terhadap filsafat hukum Barat yang mencengkeram pola pikir umat Islam saat ini. Sebaliknya, deformalisasi syariah berarti taqlid buta kepada filsafat hukum Barat yang batil dan sekaligus upaya mengajak umat Islam bergabung ke dalam masyarakat kapitalis yang rusak.iii
Ketiga, alasan ideologis-politis. Selama tiga abad terakhir (abad ke-18, 19, dan 20 M) negara-negara kapitalis penjajah telah melancarkan serangan pemikiran (ash-shira’ al-fikri) dan serangan politik (ash-shira’ al-siyasi) yang ganas untuk memaksakan ideologi kapitalisme yang kafir ke Dunia Islam. Mereka memaksakan sistem politik, sosial, dan ekonomi Barat terutama sebagai akibat hancurnya Khilafah di Turki pada tahun 1924. Selain itu, mereka juga melakukan upaya distorsi bangunan pemikiran Islam di bidang politik, ekonomi, dan sosial untuk mengacaukan pemikiran umat di Dunia Islam dengan tujuan akhir agar sistem-sistem Barat tersebut dapat menancap kuat di Dunia Islam.iv
Segala perilaku kejam penjajah itu dalam banyak hal telah mengakibatkan : (1) kacau dan rusaknya pemahaman umat terhadap Islam (yang sebenarnya sudah lemah secara internal itu),v khususnya aspek politik Islam, (2) lahirnya sikap lemah dalam jiwa umat Islam tatkala berhadapan dengan berbagai pemikiran dan pola kehidupan Barat (seperti nasionalisme, sekularisme, liberalisme). Semua ini pada gilirannya telah menggiring umat Islam untuk mengadopsi secara total terhadap sistem hukum Barat tanpa melihat lagi pertentangannya dengan syariah. Muncul juga perasaan pesimis dan putus asa di kalangan umat untuk membangun kembali institusi politik Islam sebagai akibat terpecah-belahnya Dunia Islam.vi
Secara politis, kondisi tersebut mengakibatkan para penguasa Dunia Islam tidak lagi merasa berdosa ketika membatasi penerapan Islam hanya pada aspek ibadah ritual (dan sedikit aspek muamalat), seraya mengabaikan aspek politis dan pengaturan urusan publik menurut perspektif syariah.
Di tengah hegemoni ideologi kapitalisme dan sikap politik penguasa Dunia Islam yang sekularistik ini, maka upaya formalisasi syariah menjadi sangat dibutuhkan, karena ia sesungguhnya adalah perlawanan terhadap kekalahan ideologis dan politis tersebut. Formalisasi syariah merupakan upaya pengembalian Islam kepada jatidirinya yang hakiki, sekaligus upaya untuk melepaskan diri dari dominasi Barat. Sebaliknya, dengan demikian, deformalisasi syariah adalah kepasrahan tanpa syarat terhadap ideologi kapitalisme dan sekaligus legitimasi terhadap sikap politis penguasa Dunia Islam yang sekularistik dan mengekor kepada negara-negara imperialis.
Keempat, alasan khilafiyah fiqhiyah. Kendatipun seorang muslim wajib mengamalkan syariah, namun pada hukum-hukum syariah yang cabang, banyak terjadi perbedaan pendapat (khilafiyah) pada satu masalah yang sama sebagai hasil perbedaan ijtihad para mujtahidin. Padahal khalifah sebagai kepala negara Khilafah wajib mengatur urusan-urusan publik (ri’ayatu syu`un) dengan ketentuan syariah, seperti hukum-hukum zakat, dhara`ib (pajak), kharaj, dan hubungan luar negeri (alaqat kharijiyyah). Maka dari itu, wajiblah khalifah melakukan tabanni (adopsi) hukum syara’ dari sekian hukum syara’ yang ada sedemikian sehingga menjamin kesatuan negara dan pemerintahan (wihdah ad daulah wa wihdah al hukm). Jadi melakukan tabanni bagi khalifah –yang hukum asalnya mubah bagi khalifah— telah menjadi wajib secara syar’i jika kewajiban pengaturan urusan publik tidak dapat terlaksana kecuali dengan melakukan tabanni terhadap salah satu hukum syara’ yang ada. Kaidah syara’ menyatakan bahwa jika suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya (maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib).vii
Dengan demikian, formalisasi syariah dalam kerangka negara Islam (Khilafah) perlu dilakukan karena pada umumnya pengaturan urusan-urusan publik tidak mungkin diselenggarakan dengan hukum syara’ yang berbeda-beda. Karenanya, jika pengaturan urusan publik tidak mungkin terlaksana dengan tertib dan teratur kecuali dengan penetapan satu hukum syara’ dari sekian hukum syara’ yang ada, maka wajib atas khalifah untuk melakukan formalisasi syariah dalam arti mentabanni satu hukum syara’ yang berlaku secara mengikat untuk seluruh rakyat.
[i]
[i] Muhammad Ahmad Mufti & Sami Shalih Al Wakil, At Tasyri’, hal. 60
[ii]
[ii] Lihat juga Al Maaidah : 45 dan 47. Rincian tafsir ayat-ayat tersebut (QS Al Maa`idah ayat 44,45, dan 47) lihat Al Jashshash, Ahkamul Qur`an, Juz IV hal. 92-94. Untuk pemahaman ayat-ayat tersebut dalam aspek pemerintahan/politik, lihat Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawaid Nizham al Hukm fi al Islam, hal. 65, 66, dan 364.
[iii]
[iii] Kerusakan masyarakat kapitalis (khususnya Amerika Serikat) telah terjadi dalam berbagai aspek kehidupan : kesehatan, kehamilan, AIDS, keluarga, seks, perkawinan, minuman keras, pendidikan, hutang, keuangan, politik, pembunuhan, pemerkosaan, rasialisme, persenjataan, lingkungan, atmosfir, energi, nuklir, media massa, dan sebagainya. Selengkapnya dapat dilihat misalnya Andrew L. Shapiro, Amerika Nomor 1 : Kondisi AS yang Kontradiktif dan Ironis (We are Number One : Where America Stands and Falls in the New World Order), terjemahan Jamilah M. Baraja, Cetakan I, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1995). Lihat juga Muhammad bin Saud Al Basyr, Amerika di Ambang Keruntuhan (As Suquthu min Ad Dakhil), terjemahan oleh Mustholah Maufur, Cetakan I, (Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 1995).
[iv]
[iv] Muhammad Ahmad Mufti & Sami Salih Al Wakil, At Tasyri’, hal. 7.
[v]
[v] Uraian kelemahan-kelemahan umat Islam secara komprehensif lihat Syaikh Afif Az Zain, Faktor-Faktor Kelemahan Umat Islam (‘Awamil Dha’fil Muslimin), terjemahan oleh Imaduddin Muhammad Muhyi, Cetakan I, (Surabaya : Bina Ilmu, 1993), hlm. 9-43. Lihat juga Abdul Majid Abdus Salam Al Muhtasib, “Awdha’ Al Muslimin Al Ammah Mundzu Awa`il Al Qarn At Tasi’ ‘Asyar”, Ittijahat At Tafsir fi al ‘Ashri Ar Rahin, cetakan III, (Amman : Maktab An Nahdhah Al Islamiyyah, 1982), hlm. 6-39; Taqiyuddin An Nabhani, “Awamil Dha’f Ad Daulah Al Islamiyah” dst, Ad Daulah Al Islamiyyah, cetakan V, (Beirut : Darul Ummah, 1994), hlm. 169-211
[vi]
[vi] Muhammad Ahmad Mufti & Sami Salih Al Wakil, op.cit., hlm. 7
[vii]
[vii] Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, hlm. 13-14. Menurut An Nabhani, pada dasarnya hukum melakukan adopsi adalah mubah bagi khalifah, tidak wajib, berdasarkan Ijma’ Shahabat. Jadi hukum asalnya boleh khalifah melakukan adopsi dan boleh juga tidak melakukan adopsi. Jika urusan publik dapat diselenggarakan tanpa adopsi hukum oleh khalifah, maka khalifah tidak wajib mengadopsi hukum. Namun hukum mubah ini menjadi wajib jika kewajiban pengaturan urusan publik tidak dapat terlaksana kecuali dengan adanya adopsi hukum oleh khalifah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar