Ilmu Allah Tentang Masa Depan Tidak Diketahui Manusia
HUBUNGAN KAIDAH KAUSALITAS DENGAN ILMU ALLAH, CATATAN DI LAUHUL MAHFÛZH, DAN KEKUATAN GAIB
Pengetahuan (ilmu) Allah bahwa urusan si fulan akan terjadi, bukan berarti seseorang tidak perlu menjalani sebab-akibat atau tidak perlu mengaitkan sebab dengan akibat. Ilmu Allah tidak bisa tersingkap kepada siapa pun yang memungkinkan seseorang mengetahui sesuatu atau mengetahui bahwa dia tidak perlu menjalankan sebab. Catatan di Lauhul Mahfûzh dan qadar (takdir) Allah mustahil diketahui oleh makhluk sehingga mereka tidak mungkin bisa menetapkan terjadinya sesuatu atau tidak. Oleh karena itu, tidak benar jika kita meninggalkan prinsip sebab-akibat hanya karena alasan takdir (qadar) atau hanya karena adanya catatan di Lauhul Mahfûzh. Sikap demikian berarti menghubungkan suatu perkara dengan sesuatu yang tidak diketahui (majhûl). Itulah yang disebut dengan fatalisme (tawâkul). Padahal, kita sudah seharusnya menjalani sebab-akibat tanpa menghubungkannya dengan takdir, bahkan tanpa perlu memikirkannya.
Atas dasar inilah, Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab mengkritik Abu ‘Ubaydah ketika ia mengaitkan masalah takdir dengan usaha manusia. Pada tahun berjangkitnya wabah penyakit thâ’ûn (pes), Khalifah ‘Umar berangkat keluar dari Madinah menuju ke wilayah Syam. Sampai di suatu tempat dekat Tabuk, beliau ditemui oleh para panglima perang yaitu Abu ‘Ubaydah ibn al-Jarrâh, Yazîd ibn Abi Sufyân, dan Syurahbîl ibn Hasanah. Mereka memberi informasi bahwa di negeri Syam tengah berjangkit wabah penyakit. Mereka juga menceritakan sebagian fakta dari wabah penyakit itu dan keganasannya. Khalifah ‘Umar menjadi khawatir mendengarnya.
Pada sore harinya, Khalifah mengumpulkan para shahabat Muhajirin yang pertama-tama masuk Islam. Beliau mengajak bermusyawarah, apakah tetap akan melanjutkan perjalanan menuju Syam, sementara di sana terdapat wabah penyakit, atau kembali ke Madinah. Para shahabat Muhajirin berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, “Khalifah, Anda keluar mencari ridha Allah dan pahala dari-Nya. Oleh karena itu, kami berpendapat, Anda tidak boleh terhalang oleh adanya bencana yang datang kepada diri Anda.”
Yang lain berpendapat, “Karena di sana ada bencana dan wabah, kami berpendapat, Anda tidak perlu melanjutkan perjalanan menuju ke sana.”
Shahabat Anshar juga berbeda pendapat seperti halnya para shahabat Muhajirin. Mereka menyatakan pendapat yang sama seolah-olah pernah mendengar permusyawarahan sebelumnya, kemudian mengulanginya kembali.
Khalifah ‘Umar ra kemudian mengumpulkan para shahabat yang berhijrah pada masa penaklukan kota Makkah yang terdiri dari orang-orang Quraisy. Beliau mengajak mereka bermusyawarah. Ternyata, tidak ada satu pun di antara mereka yang berbeda pendapat. Semuanya sepakat mengatakan, “Kembalilah Anda, wahai ‘Umar, beserta kaum Muslim, ke Madinah. Sebab, wabah tersebut adalah suatu bencana dan akan menghancurkan.”
Khalifah ‘Umar lantas memerintahkan Ibn ‘Abbas agar menyeru kaum Muslim untuk mempersiapkan keberangkatan mereka subuh keesokan harinya. Ketika tiba waktu subuh dan kaum Muslim telah melaksanakan shalat subuh, ‘Umar ra mengarahkan pandangannya kepada kaum Muslim seraya berkata, “Aku akan kembali ke Madinah. Oleh karena itu, hendaknya kalian pun kembali!”
Pada saat itu, Abu ‘Ubaydah mendengarnya, sementara sebelumnya ia tidak menghadiri musyawarah ‘Umar ra dan tidak mengetahui kesimpulannya. Tatkala mengetahui perintah ‘Umar tersebut, ia berkata kepada ‘Umar ra, “’Umar, apakah Anda akan lari dari qadar (takdir) Allah?”
‘Umar merasa kecewa atas penentangan tersebut. Beliau kemudian menatap Abu ‘Ubaydah dengan tajam beberapa saat. Tak lama kemudian beliau berkata, “Andaikata orang lain yang mengatakan begitu, wahai Abu ‘Ubaydah, tentulah pantas. Benar, aku lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”
Beliau lalu menundukkan pandangannya dan menerukan ucapannya, “Bagaimana pendapatmu seandainya ada seseorang yang mendiami suatu lembah yang mempunyai dua jenis tanah; yang satu subur dan yang lainnya tandus. Bukankah orang yang menggarap tanah yang tandus itu atas takdir Allah? Begitu juga orang yang menggarap tanah yang subur, bukankah atas takdir Allah pula?”
Percakapan antara shahabat ‘Umar dengan Abû ‘Ubaydah dan kritik ‘Umar atas penentangannya menunjukkan bahwa kedua shahabat tersebut memahami bahwa takdir adalah ilmu Allah. Hanya saja, ‘Umar memandang bahwa takdir Allah tidak berkaitan dengan obyek pembahasan as-sababiyyah. Berangkat ke wilayah Syam, sementara di sana tengah berkecamuk wabah penyakit thâ’ûn (pes), bisa saja mengantarkan manusia kepada kematian. Kembali ke kota Madinah berarti mengambil sebab yang mengantarkan pada keselamatan dari wabah penyakit thâ’ûn. Oleh karena itu, beliau mengkritik abu ‘Ubaydah yang menentangnya dan berkata, “Andaikata orang lain yang mengatakan begitu, wahai Abû ‘Ubaydah, tentulah pantas.”
‘Umar malah tidak merasa cukup dengan kata-katanya itu. Beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa pergi ke wilayah Syam adalah pergi dengan takdir Allah, sementara kembali ke kota Madinah adalah juga kembali dengan takdir Allah, yaitu dengan ilmu Allah.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa takdir tidak bisa dihubungkan dengan amal. Di samping itu, seseorang tidak dibenarkan meninggalkan sebab-akibat hanya karena alsan takdir. ‘Umar dan para shahabat, meskipun beriman kepada takdir Allah secara mutlak, mereka tidak pernah berserah diri terhadap keadaan yang telah ditakdirkan. Mereka justru mencari sebab (jalan) yang bisa menyelamatkan mereka dari keadaan. Oleh karena itu, tampak sangat jelas bahwa, berserah diri terhadap keadaan secara mutlak, yang biasa dikenal dengan qadriyah ghaibiyyah, bertentangan dengan Islam. Bahkan, kita harus berusaha untuk mengubah keadaan atau menyelamatkan diri dari kondisi seperti itu.
Demikian, seorang Mukmin, ketika ingin merealisasikan suatu tujuan, ia akan membulatkan tekad terhadap urusannya. Selanjutnya, ia akan mempersenjatai diri dengan kekuatan ruhiyah, yaitu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya seraya meyakini bahwa Allah akan menolongnya untuk merealisasikan aktivitasnya. Setelah itu, ia akan mengupayakan berbagai sebab dan akan selalu menghubungkannya dengan akibat. Kemudian, dia akan melangkahkan kakinya untuk mewujudkan cita-cita dan tujuannya, yang tidak bisa dihentikan oleh kondisi apa pun yang mengancamnya. Ia tidak akan berhenti berusaha ketika menghadpi hambatan dan rintangan karena ia sepenuhnya meyakini bahwa apa yang ditakdirkan Allah pasti akan terjadi. Ia pun memahami bahwa kewajibannya hanyalah berusaha.
Walhasil, perkara yang penting bagi seorang mukmin adalah ia harus melaksanakan perintah Allah SWT, yaitu menjalani sebab-akibat. Ia pun harus memperhatikan dan mengatur urusan-urusannya dengan baik. Tatkala pendapatnya telah jelas tentang apa yang harus dilakukan, ditopang dengan tekad yang kuat, maka ia wajib melepaskan pandangannya dari segala sesuatu selain dari urusannya tersebut. Sebab, tidak akan terjadi apappun di alam ini, kecuali apa yang telah ditakdirkan oleh Allah.
Inilah yang telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dalam setiap aktivitasnya, baik pada saat berada di medan Perang Badar maupun Perang Hunayn; pada saat melakukan hijrah ketika orang-orang Qurays telah berencana untuk membunuhnya di malam hari; atau pada saat mendatangi Abu Jahal agar mengembalikan harta kepada pemiliknya, padahal Abû Jahal ketika itu tengah menantikan kesempatan untuk menganiaya beliau. Ini pula yang telah dilakukan oleh para shahabat ketika mereka bergerak untuk melakukan futûhât (penaklukan daerah-daerah baru) atau ketika mereka keluar dan menyebar ke seluruh pelosok dunia untuk mengemban risalah Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar