Pihak Otoritas Pelaku Formalisasi Syariah Islam
Otoritas Formalisasi Syariah. Pihak yang berhak melakukan formalisasi syariah dalam sistem pemerintahan Islam adalah khalifah sebagai kepala negara Khilafah Islamiyah, bukan yang lain.i Kaidah syara’ menetapkan bahwa : lil khalifah wahdahu haqqu tabanni al-ahkam asy-syar’iyyah fa huwa alladzi yasunnu ad-dustur wa al-qawanin (Khalifah saja yang berhak melakukan adopsi/legislasi hukum dan Khalifah-lah yang menetapkan UUD dan UU).ii
Dasar kaidah di atas adalah Ijma’ Shahabat (sebagai salah satu sumber hukum Islam), yakni para shahabat Nabi Muhammad SAW telah ber-ijma’ (bersepakat) dan tidak ada seorang pun yang mengingkari bahwa hanya khalifah saja yang berhak melakukan adopsi hukum, bukan yang lain. Adanya Ijma’ Shahabat ini nampak jelas pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, tatkala keduanya mengadopsi hukum-hukum tertentu dari sejumlah pemahaman hukum syara’ pada satu masalah, seperti telah diuraikan sebelumnya.iii Hukum syara’ yang telah diadopsi oleh khalifah itu lalu berlaku secara mengikat bagi para hakim, wali (gubernur) dan seluruh rakyat. Dari Ijma’ Shahabat ini lalu diambil beberapa kaidah syara’ yang masyhur di kalangan ulama fiqih, yaitu : “Amrul Imaam yarfa’ul khilaaf” (Perintah Imam [Khalifah] menghilangkan perbedaan pendapat), “Amrul Imam naafidz” (Perintah Imam [Khalifah] wajib dilaksanakan), dan “Li as- sulthaan an yuhditsa min al-aqdhiyah bi qadari maa yahdutsu min musykilaat” (Penguasa berhak menetapkan keputusan-keputusan hukum baru sesuai problem-problem baru yang terjadi).iv
Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut, maka jika khalifah telah melakukan formalisasi syariah, wajib atas rakyat untuk melaksanakannya, meskipun hukum syara’ yang diadopsi khalifah berbeda dengan yang dianut oleh rakyat. Dalam kondisi demikian, rakyat wajib meninggalkan pengamalan/pelaksanaan hukum syara’ yang dianutnya, untuk selanjutnya mengamalkan hukum syara’ yang diadopsi khalifah.
Namun perlu diketahui bahwa kewajiban rakyat dalam hal ini hanya dari segi pelaksanaan hukum saja. Rakyat tidak wajib mengubah pendapat pribadinya sedemikian sehingga pendapat mereka sama persis dengan pendapat khalifah, misalnya harus mengajarkan atau mendakwahkan pendapat khalifah. Rakyat tetap boleh berijtihad, mengajarkan, atau mendakwahkan pendapat/hukum syara’ yang berbeda dengan hukum syara’ yang diadopsi khalifah. Jadi formalisasi syariah tidak memacetkan ijtihad dan juga tidak menghilangkan keanekaragaman hukum syara’ di kalangan rakyat. Kewajiban rakyat hanya dari segi pelaksanaan saja, bukan yang lain.
Hal itu karena Ijma’ Shahabat membatasi ketaataan rakyat terhadap hukum syara’ yang diadopsi khalifah hanya pada pelaksanaan/pengamalan hukum saja, tidak termasuk yang selain itu seperti mengajarkan dan mendakwahkan hukum. Karena itu, kita dapati ketika Abu Bakar membagi harta Baitul Mal secara sama rata tanpa melihat siapa yang lebih dulu masuk Islam, Umar bin Khaththab mendebat Abu Bakar karena Umar berpendapat lain, yakni pembagian harta seharusnya tidak sama rata tetapi melihat siapa yang lebih dulu masuk Islam dan melihat pertimbangan lainnya. Meskipun demikian, Umar tunduk pada pendapat yang diadopsi Abu Bakar seraya tetap mengadopsi pendapatnya sendiri (meskipun tidak diamalkan).v
Perlu ditambahkan bahwa meskipun yang berhak melakukan formalisasi syariah hanya khalifah saja, namun bukan berarti rakyat tidak mempunyai peran dalam hal ini. Peran rakyat adalah melakukan kontrol atau kritik kepada khalifah dalam penerapan hukum syara’ yang diadopsi khalifah. Dan melalui Majelis Ummat yang menjadi lembaga wakil rakyat dalam hal musyawarah dan pengawasan penguasa, Majelis Ummat dapat mendiskusikan berbagai undang-undang sebelum secara resmi dilegislasi oleh khalifah.vi
[i]
[i] Negara Islam (Khilafah/Imamah) itu sendiri wajib hukumnya secara syar’i. Inilah pendapat ulama-ulama Islam yang dapat dipercaya. Lihat Imam Al Mawardi, Al Ahkamus Sulthaniyah, hlm. 5; Abu Ya'la Al Farraa', Al Ahkamus Sulthaniyah, hlm.19; Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar'iyah, hlm.161; Ibnu Taimiyah, Majmu'ul Fatawa, jilid XXVIII hlm. 62; Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad, hlm. 97; Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hlm.167; Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hlm.264; Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa'iqul Muhriqah, hlm.17; Ibnu Hajar A1 Asqalany, Fathul Bari, juz XIII hlm. 176; Imam An Nawawi, Syarah Muslim; juz XII hlm. 205; Dr. Dliya'uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hlm.99; Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hlm. 26; Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla'una As Siyasiyah, hlm. 124; Dr. Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hlm. 248; Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al 'Uzhma, hlm.75; Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hlm. 61; Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh Ala Al Madzahib Al Arba’ah, juz V hlm. 416; Syaikh Ali Belhaj, I’adatul Khilafah, hlm. 13 dan masih banyak lagi yang lainnya.
[ii]
[ii] Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al Hukm, hlm. 42.
[iii]
[iii] Hukum-hukum yang diadopsi khalifah pada masa Khulafa`ur Rasyidin antara lain, hukum pembagian harta dari Baitul Mal, pembagian zakat bagi para mu`allaf, tanah taklukan di Irak, mengumpulkan thalaq tiga dengan satu ucapan, dan perang kepada orang murtad. Lihat Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukm, hlm. 336-341.
[iv]
[iv] Ibid.; Lihat juga Imam Al Juwaini, Ghiyatsul Umam fi At Tiyatsi Azh Zhulam, Qathr : Mathabi’ Ad Dauhah Al Haditsah, 1400 H, hlm. 216-217; Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah, ditahqiq oleh Syu’aib Al Arna`uth, (Damaskus : Maktabah Darul Bayan, 1401 H/1981 M), hlm. 360. Perhatikanlah bahwa hak legislasi dalam sistem Islam yang berada di tangan Khalifah, berbeda dengan sistem demokrasi yang memberikan hak legislasi/adopsi hukum kepada lembaga legislatif (parlemen). Berbeda pula dengan golongan Syiah yang memberikan hak legislasi kepada para faqih (dalam sistem Wilayatul Faqih) yang berfungsi sebagai pengganti Imam yang sedang ghaib (tidak ada). Lihat Imam Khomeini, Al Hukumah Al Islamiyyah., (t.t.p. : t.p., tanpa tahun), hlm. 49.
[v]
[v] Taqiyuddin An Nabhani, Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II, hlm. 121.
[vi]
[vi] Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al Islam, hlm. 111.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar