Alat Instrumen Formalisasi Syariah Islam
Instrumen Formalisasi Syariah. Instrumen formalisasi syariah wujudnya berupa undang-undang dasar (dustur/qanun asasi) dan berbagai undang-undang (qanun), baik qanun tasyri’i (peraturan perundang-undangan) maupun qanun ijra`i / qanun idari (peraturan prosedural / administratif).i
Meskipun istilah undang-undang dasar (dustur/qanun asasi) dan undang-undang (qanun) merupakan istilah asing (bukan asli dari khazanah fiqih Islam), namun inti pengertiannya ada fiqih Islam. Undang-undang didefinisikan sebagai “majmu’ah al-qawa’id allati yujbiru biha as-sulthanu an- naasa ‘ala it-tiba’iha fi ‘alaqatihim” (Seperangkat aturan yang ditetapkan oleh pemerintah dan memiliki kekuatan yang mengikat rakyat, dalam hubungan antar mereka)ii, atau sebagai “majmu’ah al-awamir wa an-nawahi al-wajib al-iltizamu biha fi al-bilad” (Seperangkat perintah dan larangan yang wajib untuk diikuti [rakyat] di sebuah negeri).iii
Dalam pengertian yang demikian, penggunaan istilah undang-undang dasar dan undang-undang adalah mubah dan tidak haram menurut syara’, sebab pengertian ini ada dalam khazanah Islam, yaitu “al-ahkam allati tabannaaha al- khalifatu min al-ahkam asy-syar’iyyah” (hukum-hukum syara’ yang diadopsi oleh seorang khalifah). Ini sebagaimana yang terjadi pada masa shahabat ketika Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khaththab menetapkan hukum-hukum syara’ tertentu yang diberlakukan secara mengikat untuk seluruh rakyat.
Hanya saja tentu undang-undang Islam berbeda dengan undang-undang non-Islam dalam hukum positif sekarang, baik dari segi sumber hukum (mashdar al-ahkam) maupun tempat lahirnya (mansya` al-ahkam). Undang-undang yang ada sekarang sumbernya berasal dari adat-istiadat, yurisprudensi, dan lain-lain; dan tempat lahirnya, untuk undang-undang dasar adalah panitia ad hoc penyusun undang-undang dasar, sementara untuk undang-undang adalah parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini karena dalam sistem demokrasi rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan (as-sulthan/authority), dan kedaulatan (as-siyadah/sovereignty) juga berada di tangan rakyat. Adapun undang-undang dasar dan undang-undang Islami, sumbernya adalah Al Quran dan As Sunnah, tidak ada yang lain; sedang tempat lahirnya adalah ijtihad para mujtahid, di mana khalifah akan memilih beberapa hukum tertentu dari hasil ijtihad tersebut lalu melegislasikannya dan memerintahkan rakyat untuk melaksanakannya. Hal ini karena kedaulatan menurut Islam hanya milik syara' semata. Sementara ijtihad untuk mengambil hukum-hukum syara' adalah hak bagi seluruh kaum muslimin yang hukumnya fardhu kifayah. Akan tetapi hanya khalifah saja yang berhak melegislasi hukum-hukum syara'.iv
Undang-undang dasar mengatur bentuk negara, sistem pemerintahan, batas-batas hak dan kewenangan lembaga-lembaga negara, hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyat serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah.
Sedangkan undang-undang merupakan peraturan yang lahir dan tercabang dari ketentuan dalam undang-undang dasar. Undang-undang secara garis besar ada 2 (dua) macam, yaitu qanun tasyri’i (peraturan perundangan) dan qanun ijra`i (peraturan prosedural).
Qanun tasyri’i (peraturan perundangan) adalah undang-undang yang materinya berupa hukum syara’, atau aqidah, atau kaidah kulliyah syar’iyyah, atau sumber-sumber hukum syara’. Qanun tasyri’i ini hanya diambil dari sumber-sumber hukum Islam (Al Qur`an dan As Sunnah), tidak boleh diambil dari selainnya secara mutlak. Misalnya undang-undang yang isinya hukum-hukum prinsip konstitusional (mabadi` dusturiyah) seperti kewajiban mentaati ulil amri, baiat, syura, atau hukum-hukum cabang yang parsial (ahkam far’iyah juz’iyah) seperti : (1) undang-undang pidana (qanun jina`i) yang mengatur hukum potong tangan pencuri, rajam bagi pezina muhshan, (2) undang-undang hukum keluarga (al ahwal asy syakhshiyyah) yang mengatur perkawinan dan cerai, (3) undang-undang perdata (qanun al madani) yang mengatur perdagangan dan jual beli dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti syarat, sebab, dan mani’ (pencegah berlakunya hukum). Qanun tasyri’i juga dapat mencakup kaidah kulliyah seperti kaidah izalatul dharar (kewajiban menghilangkan bahaya/dharar).v
Sedang qanun ijra’i (peraturan prosedural) adalah undang-undang yang materinya berkaitan dengan sekumpulan cara (uslub), sarana (wasilah), dan alat (adawat) untuk melaksanakan hukum syara’ tertentu. Undang-undang ini intinya menjelaskan aspek-aspek teknis –yang tidak diterangkan Al Qur`an dan As Sunnah— untuk melaksanakan hukum syara’ tertentu. Undang-undang ini dapat diambil dari sumber mana pun, dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan hukum syara’. Sifatnya dinamis, dalam arti dapat berubah-ubah sesuai waktu dan tempat dan mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan manusia. Misalnya tentang ketentuan teknis syura (musyawarah). Dalam Al Qur`an diterangkan bahwa syura adalah hak umat terhadap penguasa (QS Asy Syuraa : 38). Namun teknis pelaksanaan hukum syara’ ini tidak diterangkan Al Qur`an dan As Sunnah, misalnya apakah dilaksanakan satu kali atau dua kali dalam satu tahun, atau di mana tempat pelaksanaannya, bagaimana agenda sidangnya, bagaimana sarananya, dan sebagainya. Semua ini diatur dalam qanun ijra`i.
Keberadaan qanun ijra`i didasarkan pada beberapa dalil dari As Sunnah dan juga contoh shahabat, antara lain sabda Nabi,”Antum a’lamu bi umuri dunyaakum” (Kamu lebih mengetahui urusan duniamu). (HR Muslim dan Ibnu Majah). Begitu pula Nabi SAW pernah mengambil pendapat Salman Al Farisi dalam penggalian parit sebagai sarana mempertahankan diri dalam Perang Ahzab. Umar bin Khaththab pernah mengambil peraturan administrasi untuk mengatur pembagian harta Baitul Mal.vi
[i]
[i] Taqiyuddin An Nabhani, “ Ad Dustur wa Al Qanun”, Nizham Al Islam, hlm. 84-85, “Tabanni Khalifah lil Ahkam wa Al Asalib”, Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II, hlm. 116-117; Muhammad Ahmad Mufti & Sami Salih Al Wakil, “Al Qawanin Al Ijra`iyyah wa At Tasyri’iyyah”, At Tasyri’, hlm. 27-39.
[ii]
[ii] Taqiyuddin An Nabhani, “Ad Dustur wa Al Qanun”, Nizham Al Islam, hlm. 84.
[iii]
[iii] Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Fiqh An Nawazil, Jilid I, Riyadh : Maktabah Ar Rasyid, 1408 H, hlm. 185.
[iv]
[iv] Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al Islam, hlm. 86. Meski perbedaan UUD Islami dan non-Islami nampaknya cukup jelas, namun tak jarang dalam praktik masih ada kerancuan sehingga yang diklaim sebagai UUD Islami di sebagian negara, misalnya UUD Iran (1979) dan UUD Sudan (1998), sebenarnya belum mencerminkan UUD yang Islami. Lihat selengkapnya dalam Hizbut Tahrir, Nash Naqdh Masyru’ Ad Dustur Al Irani Al Mathruh lil Munaqasyah fi Lajnah Al Khubara` wa Nash Ad Dustur Al Islami, t.t.p. : t.p., 1979; Hizbut Tahrir, Naqdh Masyru’ Dustur Jumhuriyyah As Sudan Sanah 1998 wa Nash Masyru’ Ad Dustur Al Islami. t.t.p. : t.p., 1998.
[v]
[v] Muhammad Ahmad Mufti dan Sami Salih al Wakil, At Tasyri’, hlm. 29-30.
[vi]
[vi] Ibnu Hisyam, As Sirah An Nabawiyyah, Juz III dan IV, Beirut : Mu`assasah Ulum Al Qur`an, tanpa tahun, hlm. 216.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar