Target Maksud Tujuan Wasilah Uslub Thariqah
HUBUNGAN ANTARA WASÎLAH, USLÛB, DAN THARÎQAH DENGAN TARGET, MAKSUD, DAN TUJUAN
Pembahasan as-sababiyyah atau pengaitan sebab dengan akibat hakikatnya adalah pembahasan tentang wasîlah (sarana), uslûb (cara), dan tharîqah (metode) yang bersifat fisik, serta hubungan ketiganya dengan maksud dan tujuan yang bersifat fisik pula. Dalam realitas kehidupan ini, manusia senantiasa menggunakan wasîlah, uslûb, dan tharîqah yang bersifat fisik untuk meraih target tertentu, yang selanjutnya bisa sampai pada target jangka panjang yaitu ghâyah (tujuan).
Wasîlah sendiri adalah sarana yang bersifat fisik yang biasa digunakan untuk menjalankan suatu aktivitas. Uslûb adalah cara yang bersifat temporer yang digunakan untuk melaksanakan suatu aktivitas. Uslûb ditentukan oleh jenis aktivitas. Uslûb berbeda-beda bergantung pada perbedaan aktivitas. Artinya, uslûb merupakan bentuk penggunaan wasîlah. Oleh karena itu, ketika kita memikirkan uslûb, kita wajib memikirkan juga jenis aktivitasnya. Tharîqah adalah cara yang bersifat tetap (fixed) untuk melaksanakan suatu aktivitas. Tharîqah tidak berbeda-beda dan tidak berubah-ubah. Akan tetapi, tharîqah dijalankan dengan menggunakan wasîlah dan uslûb yang bisa berbeda-beda dan berubah-ubah.
Sementara itu, maksud (maqâshid) dan target (ahdâf) mempunyai arti yang sama. Karena adanya maksud dan tujuanlah manusia melaksanakan aktivitas keseharian dalam jangka pendek. Ghâyah sendiri adalah tujuan jangka panjang. Usaha untuk mewujudkan target jangka pendek akan menjadi sempurna dengan adanya ghâyah. Dengan demikian, manusia dalam kehidupannya senantiasa menggunakan wasîlah, uslûb dan tharîqah untuk mencapai target jangka pendek, selanjutnya baru meraih tujuan jangka panjang.
Dengan meneliti serta mencermati wasîlah, uslûb dan tharîqah, sekaligus mengkaji hubungan ketiganya dengan target, maksud, dan tujuan, kita akan mendapatkan dua bentuk hubungan. Pertama, hubungan as-sababiyyah mujarradah yaitu apabila wasîlah, uslûb, atau thariqah bisa mengantarkan pada tujuan secara pasti. Artinya, tujuan itu tidak bisa terwujud kecuali dengan wasîlah, uslûb, atau tharîqah tersebut. Kita menyebut hubungan semacam ini dengan hubungan sababiyyah. Kedua, apabila target kadangkala bisa diwujudkan, kadangkala juga tidak, atau bisa diwujudkan dengan menggunakan sarana lain. Artinya, hubungan tersebut bersifat khusus dan berkait dengan hal-hal yang bersifat khusus. Hubungan semacam ini dinamakan hâlah (kondisional). Pisau, misalnya, adalah sebab untuk memotong, sedangkan api adalah sebab untuk membakar. Tatkala manusia menggunakan pisau untuk memotong atau ketika dia menggunakan api untuk membakar, berarti dia menggunakan alat yang bisa mengantarkannya pada pembakaran. Artinya, dia telah menjalani sebab untuk sampai pada akibatnya. Kita akan menjumpai kenyataan bahwa seorang pedagang, ketika membuka toko dengan maksud untuk meraih keuntungan, kadang-kadang meraih keuntungan dan kadang-kadang mengalami kerugian. Artinya, aktivitas berdagang tidak bisa mendatangkan akibat secara pasti, yaitu keuntungan. Keuntungan bisa muncul karena aktivitas dagang, bisa juga karena aktivitas lainnya. Hubungan antara aktivitas berdagang dengan keuntungan tidak bisa disebut as-sababiyyah mujarradah. Akan tetapi, keduanya mungkin menjadi hubungan sababiyyah andaikata tidak ada unsur qadhâ’.
Hubungan sababiyyah yang terjadi di antara benda-benda dalam kehidupan tidak mungkin menyimpang, kecuali muncul mukjizat dari langit. Hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali atas para nabi dan rasul; seperti api yang tidak bisa membakar atau pisau yang tidak bisa memotong. Hubungan as-sababiyyah yang terjadi dalam dinamika kehidupan kadang-kadang bisa menyimpang dalam kondisi-kondisi tertentu karena pengaruh lingkungan qadhâ’.
Manusia, dalam kehidupan ini, ketika melakukan suatu aktivitas untuk mencapai tujuan, akan menghadapi dua kondisi itu, yaitu as-sababiyyah mujarradah dan as-sababiyyah muqayyadah. As-Sababiyyah muqayyadah adalah as-sababiyyah yang dibatasi oleh pengaruh qadhâ’ yang disebut dengan hâlah, yaitu kondisi khusus yang melingkupinya.
Walhasil, usaha manusia dalam menjalankan aktivitasnya di dalam dua keadaan tersebut menunjukkan bahwa dia telah menjalani qâ’idah sababiyyah. Dia tidak boleh memasukkan unsur qadhâ’ sebelum atau pada saat dia menjalankan aktivitas. Sebab, hasil suatu aktivitas (buah amal) tidak akan tampak, kecuali setelah dijalankannya aktivitas tersebut. Dalam hal ini, tidak ada andil akidah pada saat seseorang menjalankan suatu aktivitas, karena suatu pekerjaan dituntut oleh syariat, bukan oleh akidah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar