Konsep Formalisasi Syariah Islam
5. Konsep dan Agenda Penerapan Syariah Islam
Dari uraian di atas, jelaslah diperlukan sebuah konsep dan agenda penerapan syariah yang paripurna, yang dimaksudkan untuk menjawab berbagai tantangan yang ada. Baik tantangan ideologis yang mendasar, yakni eksistensi sekularisme, maupun tantangan sistemik yang lahir akibat sistem hukum yang sekularistik itu. Termasuk juga tantangan penerapan syariah, baik dalam tataran fikrah (ide) maupun thariqah (metode).
Konsep dan agenda penerapan syariah ini meliputi 3 (tiga) hal pokok :
(1) Konsep perubahan total (taghyir), untuk menjawab tantangan bercokolnya sekularisme di Indonesia,
(2) Konsep formalisasi syariah, untuk menjawab tantangan fikrah dalam penerapan syariah secara garis besar dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
(3) Agenda penerapan syariah, untuk menjawab tantangan thariqah dalam upaya mengubah kondisi Indoensia yang sekularistik saat ini menjadi kondisi Islami yang kondusif untuk formalisasi syariah.
5.1. Konsep Perubahan Total
Kami secara radikal memandang bahwa keberadaan sekularisme di Indonesia adalah problem utama yang harus diselesaikan. Dan solusinya tidak dapat dilakukan dengan melakukan perubahan reformatif yang bersifat parsial (ishlah), misalnya mengubah sistem hukum, atau salah unsur sistem hukum yang sekarang ada di Indonesia.i Yang seharusnya dilakukan adalah melakukan perubahan revolusioner yang bersifat total secara mendasar (taghyir).
Taghyir adalah perubahan yang bersifat total yang diawali dari asas (ide dasar/aqidah).v Asas ini merupakan ide dasar yang melahirkan berbagai ide cabang. Dalam individu seorang muslim, juga dalam masyarakat Islam, yang menjadi asas, adalah Aqidah Islamiyah. Perubahan total ini tertuju pada kerusakan sesuatu yang bersifat mendasar dan fatal, sehingga harus diadakan perubahan pada asasnya, yang berlanjut pada cabang-cabangnya.ii Ishlah adalah perubahan yang bersifat parsial. Asumsinya, asas yang ada masih selamat/benar, atau hanya terkotori oleh sesuatu ide asing. Yang mengalami kerusakan bukan pada asasnya, tetapi cabang-cabangnya. Maka, perubahan parsial ini hanya tertuju pada aspek cabang, bukan aspek asas.iii
Itulah konsep perubahan Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW kepada Muadz bin Jabal yang beliau utus ke Yaman :
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Maka ajaklah mereka bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Kalau mereka memenuhi seruan itu, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka melakukan shalat lima kali sehari-semalam. Kalau mereka memenuhi seruan itu, beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat pada harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari, hadits no. 686 dan no. 721. H.R. Muslim, hadits no. 501).iv
Hadits di atas jelas menunjukkan, bahwa untuk melakukan perubahan pada aspek cabang (pelaksanaan shalat dan zakat), tidaklah bisa dilakukan langsung pada orang non-muslim. Tetapi harus diawali dan didahului dengan mengubah aspek asas, yaitu mengajak orang non-muslim untuk memeluk Aqidah Islamiyah.
Metode perubahan pada individu tersebut juga berlaku untuk perubahan pada negara. Sebab sebuah negara pada dasarnya juga didasarkan pada suatu asas, sebagaimana halnya individu. Negara diatur oleh berbagai peraturan yang berpangkal pada konstitusi (UUD). Konsitusi ini lahir dari sumber-sumber hukum (mashadir al-ahkam), dan pada akhirnya sumber-sumber hukum ini berasal dari sebuah asas (ide dasar/aqidah).
Maka dari itu, jika sebuah negara mengalami kerusakan dan penyimpangan, haruslah dilihat dulu faktanya. Apakah negara itu merupakan negara yang berasaskan Aqidah Islamiyah, ataukah sebuah negara yang asasnya bukan Aqidah Islamiyah. Jika asasnya Aqidah Islamiyah, maka negara itu hanya membutuhkan ishlah, bukan taghyir. Negara Khilafah Utsmaniyah di Turki pada abad ke-18 dan ke-19, misalnya membutuhkan ishlah, bukan taghyir. Sebab negara itu asasnya sudah benar, yakni Aqidah Islamiyah. Hanya saja negara tersebut mengalami kemerosotan dalam pemahaman Islam dan penerapannya dalam realitas kehidupan. Maka dari itu, tidak tepat jika dilakukan upaya taghyir, dengan mengubah sistem kenegaraan secara total, seperti yang dilakukan Musthofa Kamal Ataturk. Upaya ini jelas salah alamat. Ini seperti halnya ada orang muslim yang malas shalat, lalu diperbaiki dengan cara dimurtadkan sekalian. Padahal seharusnya cukup dinasehati dan didakwahi.
Adapun jika negara yang ada tidak didirikan atas asas Islam, seperti negara-negara yang ada di Dunia Islam saat ini, maka yang diperlukan bukanlah ishlah, tetapi taghyir. Jika sebuah negara mengalami kerusakan dalam sistem hukumnya, misalkan, maka mereformasi sistem hukumnya tidaklah cukup. Apalagi sekedar substansi atau sturukturnya. Yang wajib dilakukan adalah melakukan taghyir yang total, sejak dari asasnya yang kemudian menjangkau cabang-cabangnya->ed), seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem hukum, sistem pendidikan, dan seterusnya. Maka dari itu, tidaklah benar jika untuk negara semacam ini dilakukan ishlah, yaitu hanya sekedar memperbaiki sistem hukumnya, atau salah satu unsurnya, tanpa mengubah keseluruhannya sejak dari asas. Ini tak ubahnya seperti mengajak orang kafir untuk shalat. Padahal seharusnya dia harus diajak lebih dulu masuk Islam.
5.2. Konsep Formalisasi Syariah
Konsep formalisasi syariah ini paling tidak meliputi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut :
1. Apa definisi syariah?
2. Apa definisi formalisasi syariah ?
2. Mengapa harus formalisasi syariah ?
3. Siapa otoritas yang berhak melakukan formalisasi syariah ?
4. Apa instrumen formalisasi syariah ?
5. Bidang kehidupan apa saja yang diatur dalam formalisasi syariah ?
Definisi Syariah. Syariah menurut bahasa mempunyai beberapa arti. Di antaranya adalah mawrid al-maa` alladzi yustaqaa minhu bi-laa risyaa` (sumber air yang menjadi tempat pengambilan air tanpa tali timba), ath- thariqah (jalan), dan ‘atabah (tangga/pintu).vi
Secara terminologis syariah mempunyai dua makna, makna umum dan makna khusus. Makna umum syariah adalah sama dengan diinul Islam itu sendiri, yaitu keseluruhan agama Islam secara holistik yang meliputi aqidah dan hukum. Ibrahim Anis (1972) mendefinisikan syariah sebagai maa syara’a-llaahu li ibaadihi min ‘aqaaid wa ahkaam, yakni apa-apa yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, yang berupa aqidah (aqa`id) dan hukum-hukum (ahkam). Jadi syariah mencakup aqidah dan hukum.vii
Sedang makna khusus syariah, adalah hukum syara’ (al-hukm asy- syar’i), tidak mencakup masalah aqidah. Hukum syara’ adalah khithab asy- syari’ al-muta’alliqu bi af’al al-‘ibad (khithab Asy Syari’ [seruan/firman Allah] yang berkaitan dengan perbuatan hamba-hamba-Nya).viii Makna khusus inilah yang dimaksud dalam makalah ini. Dengan demikian istilah syariah dalam makna khusus ini --yang bermakna hukum syara’-- merupakan makna majazi (metaforis), bukan dalam makna hakikinya, yakni menyebutkan istilah syariah yang mencakup keseluruhan (aqidah dan hukum) tapi yang dimaksud adalah sebagian dari keseluruhan itu, yaitu masalah hukum saja. Dalam bahasan ilmu balaghah, penggunaan majazi ini disebut dengan ithlaqul kulli wa iradatul juz’i (totem pro parte).ix
Jadi pengertian syariah yang dimaksud di sini adalah hukum-hukum syara’ (al-ahkam asy-syar’iyyah). Syariah di sini tidak mencakup masalah-masalah keimanan (aqidah). Adapun fiqih, adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ tersebut yang diperoleh dari dalil-dalil syar’i yang rinci.x Syariah menurut Muhammad Husain Abdullah (1995) mempunyai 3 cakupan : pertama, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, yaitu hukum-hukum ibadat; kedua, yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yaitu hukum-hukum makanan, minuman, pakaian, dan akhlaq; ketiga, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, yaitu muamalat dan uqubat (sanksi-sanksi).xi
Formalisasi Syariah. Pengertiannya dalam bahasa Arab sama dengan tabanni (adopsi/legislasi hukum), atau sann ad-dustur wa al-qawanin (penetapan UUD dan UU). Pengertiannya menurut Mufti dan Al Wakil (1992) adalah ja’l al-ahkam asy-syar’iyyah mulzimah (menjadikan hukum-hukum syara’ menjadi bersifat mengikat). Jadi formalisasi syariah adalah penetapan hukum-hukum syara’ menjadi peraturan yang mengikat dan berlaku secara umum bagi masyarakat.xii
Dengan pengertian ini, berarti suatu hukum syara’ itu pada asalnya tidaklah mengikat secara umum bagi masyarakat. Ia berlaku bagi mujtahid yang mengistinbath hukum syara’ itu dan juga bagi para muqallid yang mengikuti mujtahid itu. Namun hukum syara’ itu dapat berlaku mengikat secara umum bila telah diadopsi oleh penguasa umat Islam (khalifah) dan ditetapkannya sebagai undang-undang (qanun). Hukum syara’ itu lalu berlaku secara mengikat bagi para hakim, wali (gubernur) dan seluruh rakyat, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khaththab.xiii Khalifah Abu Bakar telah mengadopsi hukum bahwa ucapan thalaq yang diucapkan tiga kali jatuh thalaq satu, dan bahwa pembagian harta dari Baitul Mal adalah sama rata tanpa melihat siapa yang lebih dulu masuk Islam dan tanpa pertimbangan kebutuhan (al hajah). Sementara itu ketika Umar menjadi khalifah, dia mengadopsi hukum yang berbeda, yaitu bahwa ucapan thalaq yang diucapkan tiga kali jatuh thalaq tiga, dan bahwa pembagian harta dari Baitul Mal adalah tidak sama, tergantung pertimbangan siapa yang lebih dulu masuk Islam dan pertimbangan kebutuhan (a-l hajah). Hukum-hukum tersebut setelah diadopsi oleh khalifah menjadi mengikat dan berlaku secara umum bagi para hakim, wali (gubernur) dan seluruh rakyat.xiv Umar bin Khaththab juga pernah mengadopsi hukum mengenai tanah Irak yang diperoleh sebagai ghanimah perang yang semuanya dijadikan milik Baitul Mal dan tidak dibagikan baik kepada para prajurit yang ikut perang maupun kepada kaum muslimin.xv
Dengan uraian singkat di atas juga diketahui bahwa masalah formalisasi syariah (tabanni al-hukm asy-syar’i) secara historis telah mulai ada sejak masa Khalifah Abu Bakar. Hanya saja sifatnya terbatas, yakni pada hukum-hukum khusus. Dalam perjalanan sejarahnya, pernah pula terjadi formalisasi syariah dalam arti luas, yakni yang diadopsi oleh khalifah bukan lagi hukum-hukum tertentu, tetapi satu madzhab tertentu. Kekuasaan Bani Ayyub mengadopsi madzhab Asy Syafi’i dan Daulah Utsmaniyyah mengadopsi madzhab Abu Hanifah.xvi
[i]
[i] Dalam hal ini, penting dikemukakan pendapat Lawrence M. Friedman dalam bukunya The Legal System; A Social Science Perspective, (New York : Russell Sage Foundation, 1975) bahwa ada tiga unsur sistem hukum, yaitu :
1. Struktur ;
2. Substansi ;
3. Kultur Hukum;
Struktur adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi mencakupi : kepolisian dengan para polisinya; kejaksaan dengan para jaksanya; kantor-kantor pengacara dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan para hakimnya. Substansi adalah keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Kultur hukum adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat. Lihat Ahmad Ali, Reformasi Komitmen dan Akal Sehat dalam Reformasi Hukum dan HAM di Indonesia, makalah Seminar Nasional “Meluruskan Jalan Reformasi”, UGM, Yogyakarta, 25-27 September 2004 (http://ugm.ac.id/seminar/reformasi/i-ahmad-ali.php).
[ii]
[ii] Taqiyuddin An-Nabhani, “At-Tafkir bi At-Taghyir”, At-Tafkir, 1973, hlm. 120-123.
[iii]
[iii] Contoh taghyir : Jika kita hendak memperbaiki perilaku orang kafir (non-muslim) yang tidak shalat, maka perubahan yang dilakukan adalah taghyir. Bukan ishlah. Sebab asas kehidupan orang kafir itu, bukan Aqidah Islamiyah. Maka, haruslah dia diajak secara baik (bukan dipaksa) untuk memeluk Aqidah Islamiyah lebih dahulu, sehingga dia mau mengucapkan syahadat. Inilah perubahan aspek asas. Setelah itu, barulah dia dapat kita ajak untuk melaksanakan shalat lima waktu. Jadi, untuk orang kafir tidaklah tepat kita langsung mengajaknya shalat (melakukan ishlah), tanpa mengubah aspek asasnya lebih dahulu.
[iv]
[iv] Contoh ishlah : jika kita melihat orang Islam yang malas mengerjakan shalat, maka perubahan yang ada adalah ishlah, bukan taghyir. Sebab asas (aqidah) yang dimilikinya masih selamat. Hanya saja dalam hal ini ada penyimpangan pada aspek cabang (pelaksanaan shalat). Untuk muslim yang tidak taat ini, cukup kita ingatkan dia akan aqidah Islam yang diyakininya, memberinya nasihat dan dakwah, agar ketakwaannya subur kembali sehingga dia mau shalat. Jadi, kepada orang muslim ini tidak tepat kita lakukan tahgyir dengan mengubah aqidahnya, sebab aqidahnya sudah benar. Yang diubah atau diperbaiki cukuplah pada aspek cabangnya.
[v]
[v] Imam Baihaqi, Bingkisan Seberkas 77 Cabang Iman (Mukhtashar Syu’abul Iman li Imam Al-Qazwini), hlm. 72-73.
[vi]
[vi] Ibrahim Anis et al., Al Mu’jamul Wasith, (Kairo : Darul Maarif,1972), hlm. 479.
[vii]
[vii] Ibrahim Anis et al., Al Mu’jamul Wasith, (Kairo : Darul Maarif,1972), hlm. 479. Bandingkan dengan definisi syariah menurut Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifat, (Jeddah : Al Haramayn, tanpa tahun), hlm. 167. Lihat juga Kadik Bilal Al Jaza`iri, “Ma’na Asy Syari’ah”, Majalah Al Wa’ie, no. 79, Th. VII, Jumadil Ula 1414 H/Oktober 1993, hlm. 24.
[viii]
[viii] Saifuddin Al Amidi, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Cetakan I, (Beirut : Darul Fikr, 1996), Juz I. hlm. 70-71; Taqiyuddin An Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Cetakan II, (Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir, 1953), Juz III, hlm. 31. Muhammad Husayn Abdullah, Al- Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, Cetakan III, (Beirut : Darul Bayariq, 1995), hlm. 219.
[ix]
[ix] Penggunaan makna majazi dengan menyebut seluruhnya tapi yang dimaksud adalah sebagiannya (totem pro parte), digunakan misalnya dalam QS Al Baqarah : 19, Nuh : 7. Lihat Imam Al Akhdori, Ilmu Balaghoh (Jauhar Maknun), Terjemahan oleh Moch Anwar, Cetakan III, (Bandung : PT. Alma’arif, 1989), hlm. 143. Ali Al Jarim dan Musthafa Usman, Al Balaaghatul Waadhihah, Terjemahan oleh Mujiyo Nurkholis dkk, Cetakan I, (Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1993), hlm. 149. Hifni Bek Dayyab et. al., Kaidah Tata Bahasa Arab (Qawa’id Al Lughah Al Arabiyyah), Terjemahan oleh Chatibul Umam dkk, Cetakan VI, (Jakarta : Darul Ulum Press, 1997), hlm. 493.
[x]
[x] Al Jurjani, At Ta’rifat, hlm. 168. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Irysadul Fuhul ila Tahqiqi Al Haq min Ilm Al Ushul, (Beirut : Darul Fikr, tanpa tahun), hlm. 3; Saifuddin Al Amidi, Al Ihkam fi Ushul Al Ahkam, hlm. 9; Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, Cetakan XII, (Kuwait : Darul Qalam, 1978), hlm. 11. Mahmud Yunus, Mudzakkarat fi Ilmi Ushul Al Fiqh, Cetakan V, (Jakarta : Al Maktabah Al Mahmudiyyah, 1959), hal. 5. Para ulama ushul tidak pernah membedakan syariah dan fiqih. Semuanya tercakup dalam istilah teknis dalam disiplin ushul fiqih : al hukm asy syar’i. Istilah ini digunakan untuk membedakan dengan hukum menurut adat/kebiasaan (al hukm al adi), hukum berdasarkan akal (al hukm al aqli), dan hukum lain yang tidak berdasarkan syara’ (wahyu). Pandangan kontemporer (dari orientalis) membedakan antara syariah dengan fiqih. Syariah dikatakan buatan Tuhan, sedang fiqih buatan fuqaha. Pembedaan ini walau ada benarnya tapi bersifat tendensius, sebab tujuannya adalah untuk membuang fiqih Islam (karena “hanya” buatan manusia, bukan buatan Tuhan), untuk selanjutnya diganti dengan hukum-hukum positif dari Barat (yang kufur). Lihat Busthami Muhammad Said, “Syariat Allah dan Syariat Fuqaha”, Gerakan Pembaharuan Agama Antara Modernisme dan Tajdiduddun (Mafhum Tajdid Al Din), terjemahan Ibnu Marjan & Ibadurrahman, cetakan I, (Bekasi : Wacanalazuardi Amanah, 1995), hlm. 290-297. Lihat juga pandangan Bernard Weiss, The Spirit of Islamic Law, Athens, GA, USA : University of Georgia Press, 1998, hlm. 120 seperti dikutip oleh Abdullahi Ahmed An Na’im, “Syariat dan Hukum Positif di Negara Modern”, Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 12, Tahun 2002, (Jakarta : Lakpesdam NU & The Asia Foundation, 2002), hlm. 46.
[xi]
[xi] Muhammad Husayn Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh, hlm. 56-58.
[xii]
[xii] Muhammad Ahmad Mufti & Sami Salih Al Wakil, At Tasyri’ wa Sann Al Qawanin fi Ad Daulah Al Islamiyah : Dirasah Tahliliyah, Cetakan I, (Beirut : Dar An Nahdhah Al Islamiyyah, 1992), .hal. 8. Taqiyuddin An Nabhani, “Tabanni Al Khalifah Al Ahkaam wa Al Asaalib”, Asy Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II, Cetakan II, (Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir, 1953), Hal. 120.
[xiii]
[xiii] Mahmud Abdul Majid Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukm fi Al Islam, Cetakan I, (Kuwait : Dar Al Buhuts Al Ilmiyyah, 1980), hal. 336-338.
[xiv]
[xiv] Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al Islam, Cetakan VI, (t.t.p : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir, 2001), hal. 82-83. Muhammad Husain Abdullah, Dirasat fi Al Fikr Al Islami, Cetakan I, (Beirut : Dar Al Bayariq), 1990, hal. 62
[xv]
[xv] Syaikh Muhammad Ali As Sayis, Fiqih Ijtihad : Pertumbuhan dan Perkembangannya (Nasy`ah Fiqh Al Ijtihad wa Atwaruha), terjemahan oleh M. Muzammil, Cetakan I, (Solo : Pustaka Mantiq, 1997), hal. 82-92.
[xvi]
[xvi] Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al Islam, hal. 86. Lihat juga Abdul Wahhab Khallaf, Ikhtisar Sejarah Hukum Islam (Khulashah Tarikh Tasyri’ al Islami), terjemahan oleh Zahri Hamid, Cetakan I, (Yogyakarta : Dua Dimensi, 1985), hal. 81-83. Subhi Mahmashani, Filsafat Hukum Islam (Falsafah At Tasyri’ fi Al Islam), Cetakan II, Terjemahan Ahmad Sudjono, (Bandung : PT. Alma’arif, 1981), hal. 69-75. Khusus mengenai kodifikasi hukum Islam pada masa Utsmaniyah, lihat misalnya Syamsul Anwar, “Majallah Al Ahkam Al Adliyyah (Kodifikasi Hukum Perdata Islam Pertama)”, Jurnal Asy Syir’ah, no. 2, Th. XIV, 1989, hal. 29-41, Yogyakarta : Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar