Kewajiban Melakukan Amal Usaha Tawakal
KAIDAH KAUSALITAS DALAM PERSPEKTIF SYARIAT ISLAM
Dalam perspektif syariat Islam, upaya menjalani as-sababiyyah merupakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah sebagaimana kewajiban-kewajiban lain seperti shalat, jihad, zakat, dan lain-lain. Dalilnya adalah sebagai berikut:
Pertama, sabda Rasulullah Saw., sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, yang artinya, “Ikatlah (untamu) dan bertawakallah kepada Allah.”
Pengambilan dalil dari hadits tersebut didasarkan pada adanya sighat amr (bentuk perintah) pada kata i’qilhâ (ikatlah untamu), yang mengandung tuntutan yang pasti (thalab jazm) untuk mengerjakan sesuatu. Sebab, hukum tawakal adalah wajib berdasarkan banyak dalil, di antaranya adalah firman Allah SWT:
Hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang Mukmin bertawakal. (QS Ibrahim [14]: 11)
Apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS Ali Imran [3]: 159)
Bertawakallah kamu kepada Allah, Zat Yang Mahahidup dan tidak akan pernah mati, serta bertasbihlah dengan memuji-Nya. (QS al-Furqan [25]: 58)
Selain nash-nash di atas, masih terdapat lagi dalil-dalil yang lainnya. Dalil-dalil tersebut dan ayat-ayat yang berkaitan dengan tawakal, semuanya merupakan dalil yang tegas (qath’iyyud dhilâlah) tentang kewajiban untuk bertawakal kepada Allah. Dalil-dalil tersebut menunjukkan perintah yang sangat jelas kepada kaum Muslim untuk bertawakal kepada Allah. Dalil-dalil tersebut juga disertai dengan adanya indikasi (qarînah) yang menunjukkan bahwa seruan yang dikandungnya bersifat pasti. Indikasi tersebut berupa pujian dari Allah yang ditujukan kepada orang-orang yang bertawakal, yaitu bahwa Allah mencintai mereka.
Dengan didasarkan pada adanya ketentuan bahwa hukum tawakal adalah wajib, sebagaimana pengertian yang dikandung dalam hadits, ”Ikatlah (untamu) dan bertawakallah kepada Allah” maka menjalani prinsip as-sababiyyah juga merupakan suatu kewajiban. Kesimpulan tersebut didasarkan pada adanya wawu ‘athof yang mengandung makna muthlaq al-jami (penyatuan mutlak), yaitu menyatunya ma’thûf dan ma’thûf ‘alayh dalam satu hukum. Berdasarkan hal ini, perintah yang ada pada kata ikatlah (i’qilhâ) adalah tuntutan yang bersifat pasti (mengandung makna wajib). Artinya, menjalani prinsip as-sababiyyah hukumnya juga wajib.
Kedua, perbuatan Rasulullah Saw. dalam melakukan aktivitas dan usahanya untuk mencapai tujuan dan maksud tertentu. Rasulullah Saw. tidak pernah menargetkan kemenangan di medan peperangan tanpa adanya persiapan militer; tidak menuntut perubahan masyarakat tanpa melakukan interaksi dengan mereka melalui pertarungan pemikiran; serta tidak membuka atau menaklukkan kota Makkah tanpa mempersiapkan pasukan dan peperangan atau tanpa aktivitas jihad.
Apabila kita mengkaji secara cermat kehidupan Rasulullah Saw. sehari-hari, kita akan menemukan satu kesimpulan bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan aktivitas apa pun tanpa mengaitkan sebab dengan akibatnya; tanpa memperhatikan lagi apakah aktivitas tersebut termasuk wajib, sunnah, atau mubah. Begitu juga yang dilakukan oleh para shahabat, tâbi’în, tâbi’ at-tâbi’în, dan generasi setelah mereka. Mereka tidak pernah melakukan suatu aktivitas apa pun tanpa melalui tharîqah as-sababiyyah.
Syâri’ (Pembuat hukum, yakni Allah SWT) tidak pernah menjelaskan metode yang lain untuk melakukan suatu aktivitas dalam kehidupan ini, selain prinsip as-sababiyyah. Dengan demikian, apa yang pernah dilakukan oleh umat Islam di Mesir pada masa-masa kemundurannya, yaitu dengan membaca dan mempelajari kitab Shahih Bukhari, sementara pada saat yang sama Napoleon Bonaparte dan bala-tentaranya tengah memasuki Perguruan Tinggi al-Azhar, adalah perbuatan yang bertentangan dengan sunnah dan ijma shahabat. Tindakan semacam ini akan mendatangkan dosa besar karena sama saja dengan sikap berserah diri kepada Allah tanpa menjalani sebab-sebab untuk mengusir musuh Islam.
Ketiga, dilihat dari kewajiban menaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana disadari, taat kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan kewajiban yang harus dibuktikan dengan usaha dan kecermatan untuk mewujudkan apa saja yang harus dilaksanakan. Menaati Allah dan Rasul-Nya dalam mewujudkan perkara wajib, sunnah, dan mubah adalah suatu keharusan. Allah dan Rasul-Nya, ketika menuntut pelaksanaan suatu aktivitas, hanyalah mnuntut terwujudnya aktivitas tersebut. Oleh karena itu, tuntutan Allah dan Rasul-Nya agar kita berusaha untuk mewujudkannya termasuk perkara yang wajib ditaati. Masalah diberi pahala atau tidak --karena telah berusaha untuk melakukan suatu aktivitas-- merupakan urusan Allah di Hari Kiamat kelak; tidak ada hubungannya dengan qâ’idah as-sababiyyah ketika melaksanakan suatu aktivitas.
Dengan demikian, ketika Allah dan Rasul-Nya menuntut suatu aktivitas, berarti Allah dan Rasul-Nya menuntut kita untuk berusaha melaksanakan aktivitas itu dengan memperhatikan hal-hal yang bisa mengantarkan pada terwujudnya aktivitas tersebut. Pemenuhan tuntutan Allah dan Rasul-Nya untuk melaksanakan suatu aktivitas akan tampak jelas pada saat kita memerhatikan hal-hal yang bisa mengantarkan pada aktivitas tadi. Tidak adanya perhatian terhadap hal-hal tersebut sama saja dengan tidak adanya upaya untuk memenuhi tuntutan Allah dan Rasul-Nya dalam pelaksanaan suatu aktivitas. Bahkan, hal itu bertentangan dengan tuntutan tersebut.
Oleh karena itu, upaya untuk memperhatikn hal-hal yang bisa mengantarkan pada suatu aktivitas merupakan suatu kewajiban dan termasuk bagian dari ketaatan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebab, perintah untuk melaksanakan suatu aktivitas berarti perintah untuk memperhatikan hal-hal yang bisa mengantarkan pada terwujudnya aktivitas tersebut. Dengan kata lain, perintah untuk melaksanakan suatu aktivitas berarti perintah untuk menjalani sebab-sebab dan merealisasikan qâ’idah as-sababiyyah. Upaya memperhatikan sebab-sebab yang bisa mengantarkan pada terwujudnya suatu aktivitas adalah bagian dari kewajiban; baik berimplikasi pada perolehan pahala, yaitu ketika menjalankan kewajiban maupun sunnnah; atau tidak berimplikasi sedikitpun, yaitu ketika menjalankan yang mubah.
Walhasil, upaya merealisasikan prinsip as-sababiyyah adalah wajib, tanpa memperhatikan lagi hukum aktivitas tersebut. Sebab, as-sababiyyah adalah suatu perkara, sementara hukum tentang suatu aktivitas --dilihat dari sisi pahala dan siksa-- termasuk perkara lain. Dengan demikian, hukum as-sababiyyah berasal dari hukum tentang kewajiban untuk menaati Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan hukum suatu aktivitas datang langsung dari dalil-dalilnya, yaitu salah satu dari hukum yang tiga: wajib, mandûb (sunnah), atau mubah. Perbedaan antara perkara yang wajib di satu sisi dengan perkara yang mubah atau mandûb di sisi lain terletak pada hukum mewujudkannya. Melangsungkan perkara yang wajib merupakan tuntutan, sehingga tidak menyempurnakan kewajiban tersebut --sementara ada kemampuan untuk melaksanakannya-- berimplikasi pada dosa. Sebaliknya, dalam kaitannya dengan perkara yang mubah dan mandûb (sunnah), jika tidak disempurnakan, meskipun ada kemampuan, tidaklah berdosa. Oleh karena itu, tuntutan Allah dan Rasul-Nya untuk melaksanakan suatu aktivitas bermakna tuntutan untuk merealisasikan aktivitas tersebut, yaitu tuntutan untuk merealisasikan aspek as-sababiyyah.
Apabila seorang Muslim hendak merealisasikan suatu kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah, maka dia wajib pula berusaha untuk mengetahui seluruh sebab yang dapat mengantarkan pada terwujudnya kewajiban tersebut, dan wajib pula untuk mengaitkan sebab-sebab tersebut dengan akibatnya secara benar. Jika dia tidak melakukannya, berarti dia tidak dipandang telah menjalani prinsip as-sababiyyah, atau ia dipandang telah terjerumus ke dalam sikap fatalistis. Dengan itu, berarti ia telah berdosa karena kecerobohannya. Begitu juga ketika seorang Muslim hendak merealisasikan perkara yang sunnah atau mubah. Ia wajib berusaha merealisasikan keduanya dengan menjalani prinsip as-sababiyyah, yaitu mengaitkan sebab dengan akibatnya. Jika tidak, berarti ia pun dipandang berdosa.
Dalam konteks di atas, memang ada kaidah syariat yang berbunyi demikian:
Selama suatu kewajiban tidak akan sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu pun menjadi wajib.
Akan tetapi, kaidah di atas kemudian bercabang sehingga melahirkan dua pernyataan lain sebagai berikut:
Selama suatu perkara sunnah tidak sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu pun menjadi sunnah.
Selama suatu perkara mubah tidak sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu pun menjadi mubah.
Turunan dari kaidah syariat yang pertama (yaitu dua pernyataan terkahir) tidak bisa diterima. Sebab, masalahnya tidak terkait dengan perbuatan yang dapat menyempurnakan suatu aktivitas yang disyariatkan, tetapi terkait dengan pembahasan hukum tentang wasîlah, uslûb, dan tharîqah yang dapat menyempurnakan pelaksanaan suatu perbuatan. Ketiga hal itulah yang menjadi sebab bagi terlaksananya suatu aktivitas dan tercapainya suatu hasil (buah amal). Kemenangan, kesembuhan dari sakit, atau lulus ujian, misalnya, adalah hasil dari aktivitas tertentu yang diperoleh dengan cara menjalani qâ’idah as-sababiyyah. Yang dibahas di sini adalah tentang hukum uslûb, wasîlah, dan tharîqah dalam rangka memperoleh kemenangan, kesembuhan dari penyakit, atau kelulusan dalam ujian. Artinya, persoalannya terkait dengan hukum mengaitkan sebab dengan akibatnya.
Dua “kaidah” yang berkaitan dengan perkara mandub (sunnah) dan mubah di atas tidaklah benar. Kesalahannya dapat dibuktikan dengan contoh berikut. Sedekah tidak bisa direalisasikan dengan sempurna kecuali dengan adanya harta. Dalam hal ini, kita tidak bisa mengatakan bahwa hukum adanya harta adalah sunnah juga; apalagi harta bisa saja merupakan harta curian atau harta riba. Begitu juga dengan industri dan pertanian. Hukum keduanya adalah mubah. Keduanya tidak bisa direalisasikan secara sempurna kecuali dengan adanya pabrik atau benih yang akan ditanam. Dalam konteks ini, kita pun tidak bisa mengatakan bahwa pabrik atau benih yang akan ditanam itu hukumnya mubah hanya karena alasan bahwa industri dan pertanian itu mubah. Kita tidak bisa mengatakan demikian karena hukum pabrik bergantung pada produk yang dihasilkan, sedangkan benih yang ditanam mungkin malah benih tanaman ganja, sehingga bertanam ganja tentu saja haram.
Dalam kaitannya dengan qâ’idah as-sababiyyah, kita bisa mengatakan bahwa melangsungkan berbagai aktivitas yang bersifat fisik, secara keseluruhan mampu dilaksanakan oleh manusia, dengan syarat aktivitas dan usaha untuk menjalankannya harus selaras dengan hukum alam yang telah ditentukan Allah. Apabila kita menjalankan usaha menuju suatu amal, telah sejalan dengan hukum alam, kita pasti mampu mewujudkan amal yang sedang kita usahakan. Namun, apabila tidak sejalan dan bertentangan dengan hukum alam, kita pasti tidak akan bisa mewujudkannya. Sebagai bukti, dahulu terbang di angkasa dianggap sebagai perkara yang tidak mungkin dicapai. Akan tetapi, setelah sebab-sebabnya telah dikaitkan dengan akibatnya dengan benar, maka kita bisa menyaksikan langsung bahwa tujuan tadi kini telah terwujud. Bahkan naik dan melancong ke benua-benua(:ed) lain merupakan hal yang bisa diwujudkan, sejalan dengan berputarnya waktu. Atas dasar ini, manusia yang memiliki ideologi dan pemikiran tidak boleh putus asa dalam mewujudkan suatu aktivitas, bagaimanapun sulitnya. Seorang muslim tidak boleh pasrah, hanyut pada keadaan, situasi dan kondisi. Sebab, putus asa dan bersikap fatalis merupakan tanda lemahnya iman, dan buah dari ketidakmampuan dalam memahami sebab-sebab dan mengkaitkannya dengan akibat secara benar. Kegagalan seorang mukmin seharusnya menjadi pendorong untuk melanjutkan kembali usahanya, bukan melemahkannya. Karena bisa saja setelah gagal, ia baru mengetahui sebab-sebab yang dilupakannya yang mengantarkannya pada kegagalan. Dengan demikian ia mesti melanjutkan kembali usahanya setelah melewati usaha yang lain, sampai memperoleh keberhasilan.
Adapun ungkapan yang mengatakan, “kewajiban manusia hanyalah berusaha, tidak wajib baginya mencapai keberhasilan” adalah ungkapan yang keliru. Yang benar adalah “manusia wajib berusaha untuk mencapai keberhasilan”.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampak keharusan adanya kehendak dan kemauan yang kuat bagaikan baja. Yaitu kemampuan seorang muslim yang tidak pernah luluh, tidak dihinggapi kebosanan dan kejenuhan selamanya, walau bagaimanapun beratnya hambatan dan kesulitan yang dihadapi. Semua aktivitas yang bersifat fisik memungkinkan untuk dilakukan, selama kita mengambil sebab-sebabnya, dan sejalan dengan hukum-hukum alam yang telah ditentukan Allah SWT. Karena itu sebab kegagalan kita dalam menjalankan aktivitas apa saja, karena tidak mengetahui seluruh sebab-sebabnya, dan tidak mengkaitkan sebab tersebut dengan akibatnya.
Apabila kita menelaah aktivitas melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui upaya menegakkan Khilafah Islamiyyah, hal itu termasuk tujuan yang sangat mungkin diwujudkan. Asalkan kita mau menjalani sebab-sebabnya. Kenyataannya, melanjutkan kehidupan Islam merupakan tujuan yang sejalan dengan hukum alam, dan tidak bertentangan. Hal ini telah dibuktikan pada masa sebelumnya oleh nabi kita Muhammad Saw. Rasulullah Saw. telah menegakkan Daulah dengan kemauan yang keras, secara berkesinambungan, disertai dengan tekad yang bulat dan tak pernah luntur. Itu dilakukan oleh beliau setelah menjalani sebab-sebabnya. Penentangan dan pertarungan pemikiran dengan bangsa Quraisy yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.; Pengamatan dan perhatian beliau terhadap orang-orang yang akan dimintai perlindungan; Terjadinya bai’at aqobah kesatu dan kedua; Diutusnya Mush’ab bin Umair, dan hijrahnya beliau ke Madinah. Semua itu adalah bukti bahwa Rasulullah Saw. telah menjalani sebab-sebab terwujudnya suatu tujuan. Tatkala kita melaksanakan aktivitas untuk menegakkan Daulah Islamiyyah setelah bertawakkal kepada Allah, maka tidak boleh ada lagi satu keraguanpun dalam diri kita, bagaimanapun sulitnya kemungkinan dan kesempatan untuk mencapai tujuan tersebut. Kita tetap mengingat dan gembira dengan pertolongan Allah SAW.
Sesungguhnya Kami akan menolong Rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan pada hari berdirinya saksi-saksi (pada hari kiamat). (QS al-Mu’min [40]: 51)
˜ Alhamdulillah “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar