Cara Kepala Negara Islam Melayani Urusan Rakyat - Khalifah Khilafah Rasyidah
O. Cara Khalifah Melayani Urusan Rakyat
Khalifah memiliki hak secara mutlak untuk melayani urusan rakyat sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya. Hanya saja dia tidak diperbolehkan menyimpang dari hukum syara' karena alasan kemaslahatan tertentu. Sehingga dia tidak boleh melarang impor barang-barang dengan alasan menjaga produk barang dalam negeri, misalnya. Dia juga tidak bisa menetapkan tarif harga pada rakyat (semacam upah minimum regional dalam kasus semen, pent.) dengan alasan mencegah timbulnya monopoli harga, misalnya. Juga tidak dibenarkan, misalnya khalifah memaksa pemilik barang menjual barang milikinya dengan alasan mempermudah penduduk. Dan hal-hal yang bertentangan dengan hukum-hukum syara' lainnya. Jadi, khalifah tidak boleh mengharamkan sesuatu yang mubah atau membolehkan sesuatu yang haram. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw.:
"Imam adalah pelayan, dan hanya dialah satu-satunya yang bertanggung terhadap urusan rakyatnya."
Di samping itu, dasarnya adalah hukum-hukum yang diberikan oleh syara' kepada khalifah, seperti pengaturan harta baitul mal yang diserahkan pada pendapat dan ijtihad khalifah. Juga seperti kebolehan memaksa orang-orang dengan pendapat tertentu dalam satu masalah, dan sebagainya.
Hadits ini telah memberikan hak kepada khalifah untuk mengurusi pelayanan urusan rakyat secara mutlak, yang tidak disertai batasan tertentu. Hukum-hukum tentang baitul mal (harta kas negara) dan tabanni (pengadopsian hukum), menyiapkan pasukan, mengangkat wali dan amil serta hal-hal lain, yang merupakan hak yang diberikan kepada khalifah semuanya itu telah diberikan kepadanya secara mutlak, tanpa ada batasan tertentu.
Hal ini bisa menjadi dalil, bahwa khalifah wajib melaksanakan tugas mengurusi pelayanan urusan rakyat sesuai dengan pendapatnya tanpa ada batasan apapun. Sedangkan menta'ati khalifah dalam hal ini hukumnya adalah wajib serta menentang (menolak) perintahnya merupakan tindakan dosa. Hanya saja untuk melaksanakan pelayanan urusan rakyat tersebut wajib dilaksanakan berdasarkan hukum-hukum syara', yaitu sesuai dengan nash-nash syara'.
Sekalipun dia diberi wewenang secara mutlak, namun kemutlakan wewenang tersebut haruslah diikat dengan syara', yaitu harus berdasarkan hukum-hukum syara'. Misalnya, khalifah diberi wewenang untuk menunjuk seorang wali siapa saja yang dia kehendaki, namun dia tidak boleh menunjuk orang kafir atau, anak kecil, atau wanita untuk menjadi wali. Karena syara' telah melarang hal tersebut. Contoh lain adalah khalifah berhak untuk memberikan izin pembukaan kedutaan negara-negara kafir (kafir mu'ahid) di negeri yang menjadi kekuasaannya, dan hak untuk itu juga telah diberikan secara mutlak. Namun, dia tidak boleh memberi izin pembukaan kedutaan negara kafir yang ingin menjadikan kedutaannya sebagai sarana untuk menguasai (melenmahkan) negeri Islam, sebab syara' telah melarang hal itu. Contoh lain adalah khalifah berhak untuk membuat rincian anggaran dan jumlah finansial yang dibutuhkan bagi masing-masing rincian. Namun, dia tidak berhak membuat rincian anggaran untuk membangun bandungan air, padahal harta yang ada di dalam baitul mal tidak cukup, dengan alasan untuk membangun proyek dia bisa menarik pajak. Karena proyek seperti ini, apabila tidak dibutuhkan, maka secara syar'i tidak boleh menarik pajak dalam rangka membangun proyek tersebut.
Demikianlah, bahwa kemutlakan wewenang dalam mengurusi pelayanan urusan yang diberikan kepadanya itu hanyalah berdasarkan apa yang telah diberikan oleh syara'. Bahkan kemutlakan tersebut dilaksanakan hanya berdasarkan hukum-hukum syara' semata. Kemudian, makna kemutlakan hak yang dimilikinya dalam mengurusi pelayanan urusan rakyat itu bukan berarti dia boleh membuat undang-undang yang merupakan pendapatnya sendiri untuk mengurusi pelayanan urusan negara. Akan tetapi, maknanya adalah kemutlakan untuk mengatur hal-hal yang mubah saja yang boleh dilaksanakan berdasarkan pendapat dan ijtihadnya, dengan ketentuan yang dia berikan. Ketika dia membuat undang-undang dalam masalah yang memang mubah untuk dilaksanakan dengan mempergunakan pendapatnya, maka ketika itu pula kita wajib menta'atinya. Sebab syara' telah menjadikan hal itu sebagai hak khalifah. Di mana hal itu boleh dilaksanakan dengan berdasarkan pendapatnya, kemudian dia memerintahkan kita agar menta'atinya. Jadi, khalifah telah diberi hak untuk menjadikan pendapatnya sebagai undang-undang yang mengharuskan seluruh rakyat terikat dengan pendapatnya.
Sebagai contoh, dia diberi hak untuk mengatur urusan baitul mal dengan pendapat dan ijtihadnya, lalu diberi hak memerintah seluruh rakyat untuk menta'atinya. Karena itu, dia boleh membuat undang-undang tentang harta baitul mal, dan pada saat itu hukum menta'atinya menjadi wajib. Contoh lain, khalifah berhak untuk memimpin pasukan dan mengatur urusan pasukan tersebut dengan pendapat dan ijtihadnya, lalu memerintahkan seluruh rakyat untuk menta'atinya. Dia juga berhak membuat undang-undang yang mengatur tentang manajemen dan penataan pasukan tersebut. Sehingga ketika itu, hukum menta'atinya adalah wajib.
Cara Kepala Negara Islam Melayani Urusan Rakyat - Khalifah Khilafah Rasyidah
Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm - Hizb ut-Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar