Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 28 Mei 2011

Pihak-Pihak yang Berhak Mengangkat Kepala Negara Islam - Khalifah Khilafah

Pihak-Pihak yang Berhak Mengangkat Kepala Negara Islam - Khalifah Khilafah



E. Yang Berhak Mengangkat Khalifah

   Allah SWT. telah menjadikan kekuasaan (sulthan) menjadi milik umat dan menjadikan pengangkatan khalifah menjadi hak bagi seluruh kaum muslimin, bukan hanya segelintir orang atau kelompok-kelompok tertentu. Jadi, bai'at hukumnya adalah fardlu bagi seluruh kaum muslimin:

"Siapa saja yang mati sedangkan di atas pundaknya belum ada bai'at, maka matinya (seperti) mati jahiliyah."

   Ini merupakan seruan umum, bagi setiap orang Islam. Oleh karena itu, yang berhak mengangkat khalifah bukan monopoli ahlil halli wal aqdi saja, sedangkan yang lain tidak. Begitu pula, bukan orang-orang tertentu saja yang memonopoli hak tersebut. Melainkan hak ini dimiliki oleh semua kaum muslimin tanpa kecuali, sampaipun orang-orang fasik dan munafik, selama mereka masih muslim dan baligh. Karena ketentuan nash-nash yang ada berlaku bagi semua kaum muslimin secara umum dan tidak ada satu nash pun yang mengkhususkannya selain penolakan terhadap bai'atnya anak kecil yang belum menginjak baligh, dan selebihnya tetap berlaku umum.

   Hanya saja tidak disyaratkan semua kaum muslimin harus mengambil haknya karena itu merupakan hak mereka, sekalipun hal itu merupakan sesuatu yang difardlukan bagi mereka. Sebab bai'at hukumnya adalah fardlu. Namun, kefardluan bai'at tersebut hanyalah fardlu kifayah, bukan fardlu 'ain. Jadi, kalau fardlu kifayah tersebut telah ditegakkan oleh sebagian orang, maka kewajiban sebagian yang lain telah gugur. Namun, hukumnya tetap wajib menjadikan semua kaum muslimin mampu untuk secara langsung melaksanakan hak mereka dalam pengangkatan khalifah, tanpa melihat apakah mereka telah mempergunakan haknya atau belum. Dengan kata lain, hukumnya wajib untuk mewujudkan kekuatan secara prima di dalam diri setiap muslim agar sanggup melakukan pengangkatan khalifah. Masalahnya adalah bagaimana kaum muslimin sanggup untuk melaksanakan pengangkatan khalifah yang telah difardlukan oleh Allah, dengan demikian kefardluan tersebut akan gugur dari pundak mereka. Jadi persoalannya bukan bagaimana agar seluruh kaum muslimin melaksanakan fardlu ini secara langsung. Karena fardlu yang difardlukan oleh Allah kepada setiap muslim adalah terjadinya pengangkatan khalifah oleh kaum muslimin dengan keridlaan mereka, bukan agar seluruh kaum muslimin, melakukan pengangkatan khalifah, semuanya. Tidak.

   Dalam hal ini, ada dua hal yang harus dibedakan: pertama,  terealisirnya ridla seluruh kaum muslimin terhadap pengangkatan seorang khalifah; kedua, tidak terealisirnya ridla seluruh kaum muslimin terhadap pengangkatan tersebut, padahal pada masing-masing keadaan ini mereka memiliki kesanggupan untuk melakukannya.

   Berkaitan dengan persoalan pertama; dalam hal ini tidak disyaratkan adanya jumlah tertentu bagi mereka yang akan mengangkat khalifah bahkan berapapun jumlah mereka,  mereka bisa membai'at khalifah. Dalam hal ini kaum muslimin bisa dianggap ridla karena sikap diam mereka, atau dengan sikap menerima untuk mentaati khalifah di samping membai'atnya, atau dengan cara apapun yang bisa membuktikan adanya keridlaannya. Oleh karena itu khalifah yang diangkat itu statusnya telah menjadi khalifah seluruh kaum muslimin dan secara syar'i menjadi khalifah yang sah. Sekalipun ketika pengangkatannya hanya dilakukan oleh lima orang, karena ada sekelompok orang --yang sudah bisa disebut kelompok-- telah berupaya untuk mengangkat khalifah. Sementara keridlaan kaum muslimin akan nampak pada sikap diam mereka dan sikap langsung mentaatinya, atau sikap-sikap yang serupa lainnya. Dengan catatan, bahwa pengangkatan (sekelompok orang) tersebut dianggap sempurna, kalau disertai hak memilih dan dengan kemampuan penuh untuk menyampaikan aspirasinya.

   Sedangkan kalau seandainya ridla seluruh kaum muslimin tersebut tidak terealisir, maka pengangkatan khalifah tersebut dinyatakan belum sempurna. Kecuali kalau yang mengangkat khalifah tersebut adalah suatu jama'ah yang pengangkatan mereka itu bisa dianggap mewakili kelompok kaum muslimin, atau mayoritas mereka; berapapun jumlah orang yang ada di dalam jama'ah tersebut. Karena itu, ada pernyataan sebagian fuqaha' yang mengatakan: Pengangkatan khalifah tetap bisa dilaksanakan (sekalipun) yang membai'at hanya ahlil halli wal aqdi. Karena ahlil halli wal aqdi tersebut dianggap sebagai kelompok yang mencerminkan ridla kaum muslimin terhadap bai'at yang dilakukan oleh kelompok tersebut kepada siapapun yang mampu memenuhi syarat-syarat pengangkatan khilafah. Oleh karena itu, bukannya pembai'atan ahlil halli wal aqdi itu saja yang bisa berlaku untuk mengangkat khalifah, juga bukannya pembai'atan mereka itulah yang menjadi syarat agar pengangkatan khalifah tersebut menjadi sah secara syar'i. Tidak. Pembai'atan ahlil halli wal aqdi tersebut hanya merupakan salah satu amarah (tanda) yang menunjukkan bahwa ridla kaum muslimin telah terealisir melalui bai'at ini. Sebab, ahlil halli wal aqdi tersebut biasanya dianggap sebagai orang-orang yang mencerminkan aspirasi kaum muslimin. Jadi, setiap tanda yang dapat menunjukkan terealisirnya keridlaan kaum muslimin terhadap pembai'atan khalifah, maka pengangkatan khalifah tersebut telah sempurna. Dan pengangkatan khalifah dengan bai'atnya ahlil halli wal aqdi tersebut telah menjadikan pengangkatannya sah secara syar'i.

   Oleh karena itu, yang menjadi hukum syara' adalah terjadinya pengangkatan khalifah oleh sekelompok orang yang pengangkatannya telah mencerminkan ridla kaum muslimin, dengan adanya tanda apapun yang menunjukkan terealisirnya keridlaan mereka. Baik dengan adanya orang yang membai'at tersebut merupakan mayoritas ahlil halli wal aqdi, atau mereka merupakan cerminan kehendak kaum muslimin, atau dengan diamnya kaum muslimin terhadap pembai'atan orang yang lain kepada khalifah itu, atau dengan segeranya mereka untuk mentaati khalifah karena adanya bai'at ini, maupun dengan cara-cara lain. Selama kesanggupan secara penuh untuk menyatakan pendapatnya itu bisa mereka penuhi, maka pengangkatan khalifah mereka tetap sah. Jadi hukum syara' tidak menentukan apakah mereka (yang mengangkat) harus ahlil halli wal aqdi, atau harus lima orang, atau lima ratus orang, atau lebih banyak atau lebih sedikit, atau mereka harus penduduk ibu kota, ataukah penduduk dari daerah-daerah. Tidak. Tetapi, hukum syara' hanya menentukan bahwa apakah bai'at mereka itu mendapat ridla atau tidak dari sekelompok kaum muslimin, dengan tanda apapun yang disertai dengan kesanggupan mereka secara penuh untuk menyampaikan pendapat mereka.

   Sedangkan yang dimaksud semua kaum muslimin adalah kaum muslimin yang hidup dalam negeri-negeri yang tunduk kepada negara Islam. Yaitu mereka yang menjadi rakyat khalifah sebelumnya, jika sebelumnya khilafah telah berdiri. Atau mereka yang bisa menyempurnakan tegakkannya negara Islam sehingga khilafah bisa ditegakkan dengan adanya mereka, ini kalau negara Islam sebelumnya belum berdiri dan mereka berupaya untuk mewujudkannya. Dengan adanya negara tersebut dapat melangsungkan kehidupan Islam kembali. Adapun terhadap kaum muslimin yang lain, selain mereka yang menjadi warga negara serta orang-orang yang berupaya menegakkan negara Islam, maka tidak disyaratkan agar mengambil bai'at mereka, begitu pula tidak diharuskan menunggu ridla mereka. Sebab, bisa jadi mereka termasuk orang yang keluar dari kekuasaan Islam, atau hidup di dalam darul kufur dan tidak mungkin untuk bergabung dengan darul Islam. Karena itu, mereka masing-masing tidak berhak untuk melakukan bai'at in'iqad, namun mereka tetap wajib untuk melakukan bai'at ketaatan pada perintah khalifah. Karena orang yang keluar dari kekuasaan Islam hukumnya sama dengan bughat. Sementara mereka yang tinggal di dalam darul kufur tidak bisa dianggap merealisasikan tegaknya kekuasaan Islam, hingga mereka benar-benar menegakkannya secara nyata, atau mereka masuk di dalam darul Islam tersebut.

   Oleh karena itu, yang memiliki hak untuk melakukan pengangkatan khalifah, serta disyaratkan dalam pengangkatan tersebut harus mendapatkan ridla mereka sehingga pengangkatan khalifah menjadi sah secara syar'i, adalah mereka yang memiliki (melaksanakan) kekuasaan Islam secara nyata.

   Statemen ini tidak bisa dianggap sebagai pembahasan logika, yang tidak bersumber pada dalil syara'. Tidak. Tidak bisa diklaim demikian, karena pembahasan tersebut merupakan pembahasan terhadap fakta hukum (manathul hukmi), bukan membahas hukum itu sendiri. Karena itu, tidak perlu ditunjukkan dalil syara' yang berkaitan dengan hal itu, sebab yang dibutuhkan hanyalah penjelasan tentang hakikat faktanya. Sebagai contoh, makan bangkai itu hukumnya haram merupakan hukum syara'. Sedangkan untuk membuktikan, apakah ini bangkai atau bukan itu merupakan manatul hukmi. Sebagaimana kaum muslimin wajib mengangkat seorang khalifah itu merupakan hukum syara'. Begitu pula pengangkatan tersebut harus berdasarkan ridla dan hak memilih juga merupakan hukum syara'. Inilah yang membutuhkan dalil. Sedangkan, kaum muslimin mana yang bisa dianggap sempurna pengangkatannya. Kemudian bagaimana hal-hal yang bisa dianggap mencerminkan sikap ridla dan bebas memilih, itu semuanya merupakan manatul hukmi yaitu fakta yang harus diselesaikan oleh suatu hukum yang ada. Sedangkan berlakunya hukum syara' terhadap fakta tersebut itulah yang menjadikan terealisirnya hukum syara'. Oleh karena itu, sesuatu yang menjadi objek hukum syara' tersebut dikaji dengan cara menjelaskan hakikat objek tersebut.

   Dan tidak bisa dikatakan bahwa manathul hukmi itu merupakan illatul hukmi, sehingga harus ada dalil syara'nya. Tidak bisa dikatakan demikian, karena antara manathul hukmi dengan illatul hukmi itu berbeda. Bahkan dalam hal ini ada perbedaan yang sangat besar antara manath dengan illat tersebut. Illat adalah pembangkit hukum, yaitu  sesuatu yang menjelaskan maksud As Syari' (Allah) terhadap suatu hukum dan ini mengharuskan adanya dalil syara' yang menjelaskannya, sehingga bisa difahami bahwa ia merupakan maksud As Syari' terhadap hukum tersebut. Sedangkan manatul hukmi adalah objek yang menjadi sasaran diterapkannya suatu hukum, yaitu fakta yang sesuai dengan hukum yang hendak diterapkan. Jadi, bukan merupakan dalil atau illat suatu hukum. Makna bahwa sesuatu itu sebagai sesuatu yang digantungkan padanya hukum, atau hukum telah diikat padanya adalah bahwa hukum didatangkan untuk mengatasi masalah dan bukan hukum itu datang karenanya.

   Dalam hukum syara', manath hukum tidak termasuk pembahasan naqliyah (sesuatu yang tertulis dalam nash). Karena itu untuk menetapkannya, berbeda dengan menetapkan illat. Karena untuk menetapkan illat harus merujuk kepada pemahaman nash yang membawa illat itu. Ini tentulah membutuhkan pemahaman terhadap dalil-dalil naqli, dan tidak demikian halnya dengan penetapan manath. Karena manath adalah selain  dalil-dalil naqli, atau berupa fakta yang diterapkan hukum syara'.

Pihak-Pihak yang Berhak Mengangkat Kepala Negara Islam - Khalifah Khilafah
    Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm - Hizb ut-Tahrir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam