Penetapan Undang-Undang Oleh Kepala Negara Islam Wajib Terikat Dengan Hukum Syara' - Khalifah Daulah Islamiyah
P. Tabanni Khalifah Wajib Terikat Dengan Hukum Syara'
Di dalam mengadopsi (tabanni) hukum seorang khalifah harus terikat dengan hukum-hukum syara', sehingga haram baginya untuk mengadopsi suatu hukum yang tidak digali dengan cara yang benar, berdasarkan dalil-dalil syara'. Begitu juga seorang khalifah harus terikat dengan hukum-hukum yang telah diadopsinya, termasuk dengan metode istinbat (penggalian hukum)-nya. Jadi, tidak boleh seorang khalifah mengadopsi hukum yang digali dengan metode penggalian hukum yang berbeda dengan metode yang dia adopsi. Begitu juga dia tidak boleh memberikan keputusan yang bertentangan dengan hukum-hukum yang telah dia adopsi.
Dalam hal ini ada dua persoalan: Pertama, keterikatan khalifah terhadap hukum-hukum syara' di dalam mengadopsi hukum, yaitu keterikatannya terhadap syari'at Islam dalam membuat undang-undang, itu tidak memperbolehkannya untuk mengadosi hal-hal yang menyimpang dari hukum syara'. Sebab kalau menyimpang dari hukum itu, maka hukumnya adalah kafir. Karena esensinya dia telah mengadopsi hukum-hukum yang lain, dan dia tahu bahwa dia telah mengadopsi selain syari'at Islam, sehingga dia terkena firman Allah SWT.:
"Barang siapa yang tidak memberlakukan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir." (Quran Surat Al Maidah: 44)
Dengan catatan, kalau dia meyakini hukum yang telah dia adopsi tersebut --sebagai hukum yang benar-- maka dia telah kafir dan murtad dari Islam. Kalau dia tidak meyakininya, namun tetap mengambilnya dengan asumsi bahwa hukum tersebut tidak bertentangan dengan Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh para khalifah Utsmaniyah di akhir masa kejayaannya, maka hal itu haram dan tidak sampai menjadikannya kufur.
Sedangkan kalau hukum tersebut lahir dari syubhatud dalil (dalil yang dipersengketakan) seperti kalau ada orang yang membuat aturan hukum yang tidak bersumber pada dalil, selain maslahat yang menjadi pandangannya, kemudian dia bersandar kepada kaidah mashalih mursalah, atau kaidah saddudz dzaraai', atau ma'alatul af'al, atau yang lain, maka kalau dia berpendapat bahwa semuanya ini merupakan kaidah syara' dan dalil-dalil syara', maka dia tidak haram melakukannya begitu juga dia tidak kufur, namun dia tetap dinilai salah. Sedangkan apa yang telah dia gali tetap dianggap sebagai hukum syara' bagi kaum muslimin, dan wajib menta'atinya, kalau hal itulah yang diadopsi oleh khalifah. Karena itu merupakan hukum syara', yang mempunyai syubhatud dalil, sekalipun dalilnya salah. Sebab hal itu seperti kesalahan memahami dalil dalam istinbat. Jadi, dalam kondisi apapun wajib bagi seorang khalifah untuk terikat dengan syari'at Islam. Serta dalam melakukan adopsi hukum, dia harus terikat dengan hukum-hukum syara' yang digali melalui istimbat yang benar berdasarkan dalil-dalil syara'. Dalil-dalil syara' berkaitan dengan hal-hal di atas adalah:
Pertama: apa yang diwajibkan oleh Allah SWT. kepada tiap muslim, baik sebagai khalifah ataupun bukan agar melaksanakan semua perbuatannya sesuai dengan hukum-hukum syara'. Allah berfirman:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan." (Quran Surat An Nisa': 65)
Melakukan perbuatan sesuai dengan hukum syara' mengharuskan seseorang untuk mengadopsi hukum tertentu, ketika pemahaman terhadap seruan Allah SWT. beragam, yaitu ketika hukum syara' bermacam-macam bentuknya --bukan hanya satu, padahal untuk melaksanakannya tidak mungkin mencampur adukkan hukum-hukum tersebut-- maka mengadopsi satu hukum tertentu di antara banyak pemahaman terhadap hukum itu adalah wajib bagi tiap muslim, ketika ia ingin melaksanakan perbuatan, yakni ketika ia ingin menerapkan hukum. Karena itu adopsi tersebut hukumnya wajib bagi khalifah ketika ia ingin melaksanakan perbuatannya yaitu mengambil dan menerapkan hukum tertentu.
Kedua: dalilnya adalah nash bai'at yang dipergunakan untuk membai'at khalifah, yang mengharuskan khalifah untuk terikat dengan syari'at Islam. Karena, bai'at itu esensinya merupakan bai'at berdasarkan kitabullah dan sunnah Nabi-Nya. Maka, tidak halal bagi seorang khalifah keluar dari keduanya, bahkan bisa jadi hukumnya kafir kalau ia keluar dari kitab dan sunah dengan sengaja. Namun, hanya dihukumi maksiat; dhalim dan fasik saja kalau ia keluar dari keduanya tanpa suatu kesengajaan untuk melakukannya.
Ketiga: dalilnya adalah bahwa khalifah diangkat untuk menerapkan hukum syara', karena itu tidak halal baginya untuk mengambil selain hukum syara' agar ia bisa menerapkannya kepada kaum muslimin. Sebab hukum syara' mencegah hal itu dengan tegas, hingga sampai pada penafian iman bagi yang menerapkan hukum selain Islam. Hal itu merupakan indikasi (qarinah) yang tegas. Maka, pengertian bahwa seorang khalifah di dalam tabanni-nya harus terikat dengan hukum-hukum, yaitu keterikatan khalifah hanya dengan hukum-hukum syara' saja ketika dia membuat undang-undang. Kalau dia membuat undang-undang dengan bersumber kepada selain hukum-hukum syara', maka dia telah kufur dengan catatan kalau dia yakin dengan apa yang dia lakukan. Dan hanya dihukumi maksiat; dhalim dan fasik, kalau dia tidak yakin dengan apa yang dia lakukan.
Ketiga dalil di atas adalah dalil-dalil persoalan pertama, sedangkan persoalan kedua bahwa khalifah terikat dengan hukum-hukum yang diadopsinya serta terikat dengan metode istinbat-nya, dalilnya adalah bahwa hukum syara' yang diterapkan oleh khalifah merupakan hukum syara' baginya, bukan bagi yang lain. Maksudnya adalah hukum syara' yang dia adopsi untuk menjalankan semua tindakannya agar sesuai dengan hukum tersebut, dan bukan terikat dengan sembarang hukum syara'. Karena itu, kalau seorang khalifah berijtihad atau taqlid dalam hukum tertentu maka hukum --baik yang merupakan hasil ijtihadnya maupun yang dia taqlidi-- itulah yang merupakan hukum Allah baginya, sehingga ketika mengadopsinya untuk kaum muslimin dia harus terikat dengan hukum syara' tadi. Jadi, dia tidak boleh mengadopsi yang berbeda --dengan yang menjadi hasil ijtihadnya maupun hasil taqlidnya-- karena dengan begitu, hukum tersebut tidak dinilai sebagai hukum Allah baginya, sehingga tidak dianggap hukum syara' bagi yang bersangkutan, termasuk ia bukan merupakan hukum syara' bagi kaum muslimin.
Oleh karena itu, dia harus terikat dengan hukum syara' yang dia adopsi di dalam semua perintah yang dia keluarkan untuk rakyatnya. Dia juga tidak boleh mengeluarkan suatu perintah apapun yang bertentangan dengan hukum-hukum yang telah dia adopsi. Sebab dengan begitu, perintah yang dia keluarkan tidak akan dianggap sebagai hukum Allah baginya, sehingga tentu perintah itu bukan merupakan hukum syara' bagi dirinya, begitu pula bagi kaum muslimin yang lainnya. Sebagaimana ketika dia mengeluarkan perintah yang ternyata bertentangan dengan hukum syara'. Jadi, tidak boleh bagi seorang khalifah mengeluarkan perintah apapun yang bertentangan dengan hukum-hukum yang dia adopsi sendiri.
Di samping itu, pemahaman terhadap hukum syara' senantiasa berubah mengikuti metode ijtihadnya, maka kalau seorang khalifah berpendapat bahwa illat hukum yang bisa dipergunakan adalah illat syara', kalau dia mengambilnya berdasarkan nash syara'. Dia bahkan tidak berpendapat, bahwa maslahat merupakan illat syara', juga tidak berpendapat bahwa mashalih mursalah merupakan dalil syara'. Maka kalau dia berpendapat demikian, dia telah menentukan metode ijtihad bagi dirinya, dan ketika itu ia wajib terikat dengan metode ijitihad tersebut. Jadi, tidak sah kalau dia mengadopsi suatu hukum yang dalilnya adalah mashalih mursalah, atau mengambil analogi (qiyas) berdasarkan illat yang tidak diambil dari nash syara'. Sebab hukum ini berarti tidak dianggap sebagai hukum syara' bagi dirinya, karena dia berpendapat bahwa dalil yang dia pergunakan bukan merupakan dalil syara'. Dengan begitu, hukum itu menurut pendapatnya sendiri adalah bukan hukum syara'. Maka, selama tidak dianggap sebagai hukum syara' bagi khalifah, tentu juga bukan hukum syara' bagi kaum muslimin yang lainnya.
Kalau khalifah adalah seorang muqallid atau mujtahid masalah (mujtahid dalam masalah tertentu, sedang dalam masalah lain tidak) yang tidak memiliki metode ijitihad tertentu dalam menggali hukum, maka boleh baginya untuk mengadopsi hukum manapun, dan dengan dalil apapun --baik yang diperselisihkan maupun yang tidak diperselisihkan-- selama masih ada syubhatud dalil. Dan dia tidak harus terikat dengan salah satu, ketika ingin mengadopsi hukum, melainkan harus terikat dengan perintah-perintah yang dia keluarkan saja, di mana dia tidak akan mengeluarkan perintah-perintah tersebut kecuali sesuai dengan hukum-hukum yang dia adopsi.
Penetapan Undang-Undang Oleh Kepala Negara Islam Wajib Terikat Dengan Hukum Syara' - Khalifah Daulah Islamiyah
Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm - Hizb ut-Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar