Wewenang Kepala Negara Islam Menetapkan Undang-Undang dari Hukum Syara'
Hanya saja dalam menentukan hukum-hukum syara' ini memang banyak sahabat yang berbeda pendapat. Sebagian ada yang memahami suatu masalah berdasarkan nash syara' yang berbeda dengan pemahaman yang dimiliki oleh sebagian yang lain. Sehingga masing-masing melaksanakan hukum syara' sesuai dengan pemahamannya sendiri-sendiri, di mana pemahaman terhadap hukum tersebut juga merupakan hukum Allah, khususnya bagi orang yang bersangkutan. Namun ada hukum syara' yang mengharuskan bahwa pelayanan urusan-urusan umat harus dilakukan oleh seluruh kaum muslimin dengan berdasarkan satu pendapat. Sehingga masing-masing tidak akan melaksanakan urusan tersebut dengan ijtihadnya sendiri-sendiri.
Fakta tersebut secara nyata telah terjadi. Abu Bakar pernah berpendapat untuk membagi harta rampasan perang dengan pembagian secara sama dan merata, karena hak mereka semuanya sama. Sedangkan Umar tidak setuju kalau harta tersebut dibagikan dengan bagian yang sama antara orang yang telah lama berperang bersama Rasulullah dengan yang baru ikut berperang, serta dibagi rata antara yang kaya dengan yang miskin. Namun, karena Abu Bakar adalah khalifah sehingga beliau bisa memerintah melaksanakan aturan sesuai dengan pendapatnya, yaitu menetapkan pembagian harta rampasan tersebut dengan cara merata. Lalu kaum muslimin pun mengikutinya, demikian pula para qadli serta wali semuanya mengikuti keputusan tersebut. Sementara itu, Umar hanya diam dan tunduk kepada pendapat Abu Bakar. Umar pun pada akhirnya melaksanakan pendapat Abu Bakar.
Namun, ketika Umar menjadi khalifah, beliau mengadopsi pendapat yang berbeda dengan Abu Bakar, yaitu beliau memerintahkan agar membagi harta rampasan dengan memakai pendapat beliau, dengan cara melebihkan (antara yang senior dengan yunior; antara yang miskin dengan yang kaya) serta dibagikan sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Keputusan itu pun diikuti oleh kaum muslimin, demikian pula para wali dan qadli menetapkannya. Sehingga menjadi ijma' sahabat bahwa imam memiliki hak untuk mengadopsi (tabanni) hukum-hukum tertentu, serta memerintahkan agar melaksanakannya, lalu kaum muslimin wajib menta'atinya sekalipun berbeda dengan ijtihad mereka. Bahkan mereka akan meninggalkan pendapat dan ijtihad mereka. Maka, jadilah hukum-hukum yang telah diadopsi tersebut sebagai undang-undang. Karena itu, yang berhak membuat undang-undang adalah khalifah semata, sedangkan yang lain secara mutlak tidak boleh.
Sedangkan dalil tentang point (2) adalah perbuatan (af'al) Rasulullah Saw. bahwa Rasulullah Saw. sendirilah yang telah mengangkat para wali dan qadli serta beliaulah yang mengoreksi tindakan mereka. Beliau juga yang telah mengontrol jual beli, mencegah terjadinya penipuan. Beliau juga yang secara langsung membagi-bagikan harta kepada rakyat. Beliau juga yang secara langsung membantu mengusahakan pekerjaan orang yang tidak punya pekerjaan. Beliau juga yang telah melakukan pelayanan terhadap urusan-urusan umat di dalam negeri. Beliau sendiri yang menyerukan kepada para raja, termasuk beliau sendiri yang menemui para utusan serta menerima delegasi mereka. Juga beliau sendiri yang mengurusi urusan-urusan luar negeri. Bahkan beliau juga yang secara langsung memimpin pasukan, sehingga kadang-kadang beliau sendirilah yang langsung menjadi panglima perang di beberapa medan perang. Dan dalam mengutus detasmen, beliaulah yang langsung mengutusnya serta beliau yang mengangkat komandannya. Sehingga ketika beliau menentukan Usamah Bin Zaid sebagai komandan detasmen untuk dikirim ke Syam, banyak sahabat yang tidak setuju, karena dianggap terlalu muda. Namun, Rasulullah tetap memaksa mereka untuk menerima kepemimpinan Usamah. Inilah hal-hal yang menunjukkan, bahwa khalifahlah panglima tentara secara riil, bukan hanya panglima tertinggi semata.
Di samping itu, Rasulullahlah yang mengumumkan perang kepada orang-orang Quraisy. Beliau juga yang mengumumkan perang kepada Bani Quraidhah, Bani Nadhir, Bani Qainqa', Khaibar, Romawi serta setiap peperangan yang terjadi, mesti beliau yang mengumumkannya. Ini menunjukkan, bahwa pengumuman perang adalah semata-mata hak khalifah.
Begitu pula beliaulah yang mengadakan perjanjian-perjanjian dengan orang-orang Yahudi. Termasuk beliaulah yang membuat perjanjian dengan Bani Mudlij serta sekutu-sekutunya yaitu Bani Dhamrah, Yuhnah Bin Ru'bah, dan penduduk Ailah. Beliau juga yang mengadakan perjanjian Hudaibiyah, sampai-sampai orang-orang Islam sendiri pada awalnya tidak menerima isi perjanjian itu, namun beliau mengabaikan mereka dan justru beliau tolak pendapat-pendapat mereka dan tetap melanjutkan perjanjian tersebut. Semuanya ini menunjukkan bahwa hanya khalifahlah yang memiliki hak untuk membuat perjanjian, baik perjanjian damai maupun perjanjian-perjanjian yang lainnya.
Sedangkan dalil tentang point (3) adalah karena Rasulullahlah yang menemui dua utusan Musailamah. Termasuk beliaulah yang menemui Aba Rafi' salah seorang utusan dari Quraisy. Beliau sendiri yang mengutus utusan-utusan kepada raja Heraklius, Kisra, Mukaukis, Al Haris Al Ghisani raja Hairah, Al Haris Al Humairi raja Yaman, serta Najasyi raja Habasyah. Beliau juga yang telah mengutus Ustman Bin Affan kepada kaum Quraisy sebagai utusan beliau dalam perjanjian Hudaibiyah. Semuanya menunjukkan, bahwa khalifahlah yang berhak menerima dan menolak duta-duta serta yang berhak menentukan duta negara.
Sedangkan dalil tentang point (4) adalah karena Rasulullah yang telah menentukan para wali. Beliau yang mengangkat Mu'ad sebagai wali Yaman. Beliau juga yang telah memecat wali, sebagaimana beliau pernah memecat Ila' Bin Al Hadhrami dari jabatan wali di Bahrain karena ada suatu pengaduan tentang dirinya dari warga. Semuanya ini menunjukkan bahwa wali juga bertanggungjawab di hadapan penduduk setempat, sebagaimana dia juga bertanggungjawab kepada khalifah serta bertangungjawab di hadapan majelis umat. Karena majelis umat merupakan wakil umat di seluruh wilayah. Ini berkaitan dengan wali. Sedangkan tentang para mu'awin, Rasulullah memiliki dua mu'awin yaitu Abu Bakar dan Umar, di mana beliau tidak memberhentikannya dan tidak pernah mengangkat selain mereka berdua sepanjang hayat beliau. Beliaulah yang mengangkat mereka namun tidak pernah memberhentikannya. Hanya saja para mu'awin memiliki kekuasaan semata-mata karena mendapatkan kekuasaan tersebut dari khalifah. Sebab, dia merupakan wakil khalifah. Oleh karena itu, khalifah berhak untuk memberhentikannya dengan menganalogikannya sebagai seorang wakil. Di mana orang yang mewakilkan bisa saja melepas (memberhentikan) wakilnya.Sedangkan point (5) dalilnya adalah bahwa Rasulullah Saw. telah mengangkat Ali Bin Abi Thalib sebagai qadli di Yaman. Dari Uqbah Bin Amir yang berkata: "Ada dua orang yang bersengketa datang kepada Rasulullah Saw. kemudian beliau bersabda:
"Putuskanlah di antara mereka berdua." Aku berkata: "Engkaulah yang lebih layak untuk memutuskan hal itu." Dia (uqbah) bertanya: "Kalau begitu, bagaimana aku harus memutuskan?" Beliau menjawab: "Putuskanlah, kalau engkau benar maka engkau akan mendapatkan sepuluh pahala (kebaikan), namun kalau engkau salah maka engkau hanya mendapatkan satu pahala (kebaikan)."
Sa'id di dalam kitab Sunannya telah meriwayatkan dari Amru Bin Ash yang berkata: "Ada dua orang yang bersengketa datang kepada Rasulullah lalu beliau bersabda kepadaku:
"Putuskanlah sengketa di antara mereka berdua, wahai Amru." Aku berkata: "Engkaulah yang lebih utama untuk melakukan itu, wahai Rasulullah." Beliau lalu bersabda: "Kalau engkau benar dalam memutuskan sengketa di antara mereka berdua, maka engkau akan mendapatkan sepuluh kebaikan, kalau engkau salah maka engkau hanya mendapatkan satu kebaikan saja."
Khalifah Umar ra. pernah mengangkat dan memberhentikan qadli. Beliau pernah mengangkat Syuraih sebagai qadli di Kufah dan Abu Musa sebagai qadli di Bashrah. Beliau juga pernah memberhentikan Syurahbil Bin Husnah sebagai wali di Syam, lalu menunjuk Mu'awiyah sebagai penggantinya. Syurahbil pernah bertanya kepada beliau: "Apakah karena aku penakut, sehingga engkau memberhentikan aku ataukah karena aku berkhianat?" Beliau menjawab: "Tidak, tidak karena semuanya. Namun, aku menginginkan orang yang lebih kuat."
Imam Ali ra. juga pernah mengangkat Abu Al Aswad, kemudian memberhentikannya: "Mengapa engkau memberhentikanku? Padahal aku tidak berkhianat, juga tidak melakukan kesalahan apapun." Beliau menjawab: "Aku melihat, suaramu terlampau keras terhadap mereka yang bersengketa."
Baik Umar maupun Ali radliallahu anhuma, masing-masing melakukan hal yang sama, di mana hal itu dilihat serta didengarkan oleh para sahabat namun tidak ada satu pun yang mengingkarinya. Semuanya ini menjadi dalil, bahwa khalifah berhak untuk menentukan qadli secara umum. Begitu pula dia berhak mewakilkan kepada orang lain untuk menunjuk qadli tersebut, sebagai analogi terhadap hak wakalah. Sebab dia berhak mewakilkan semua yang menjadi wewenangnya, kepada orang lain, sebagaimana dia berhak mewakilkan tindakan-tindakan apa saja yang menjadi kewenangannya.
Sedangkan dalil mengenai hak mengangkat dirjen-dirjen departemen, adalah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. ketika beliau mengangkat para pencatat administrasi urusan negara. Dalam hal ini, mereka layaknya sebagai dirjen-dirjen departemen. Beliau mengangkat Harits Bin Auf Al Mariy untuk mengurusi cincin beliau yang menjadi stempel negara, lalu Mu'aiqib Bin Abi Fatimah sebagai pencatat harta rampasan perang (ghanimah). Beliau juga mengangkat Zubeir Bin Awwam sebagai pencatat harta zakat, lalu Mughirah Bin Syu'bah sebagai pencatat hutang dan mu'amalah. Begitulah praktek yang terjadi ketika itu.
Dalil tentang hak untuk mengangkat panglima perang (angkatan bersenjata) serta komandan yang membawa liwa' (bendera) pasukan, adalah karena Rasulullah pernah mengangkat Hamzah Bin Abdul Muthallib agar memimpin tiga puluh orang untuk menghadang orang-orang Quraisy di tepi pantai. Beliau juga pernah menunjuk Muhammad Bin Ubaidah Bin Harits untuk memimpin enam puluh orang lalu mengutusnya ke suatu perkampungan yang bernama Rabigh untuk menemui orang-orang Quraisy. Beliau juga menunjuk Sa'ad Bin Abi Waqqash untuk memimpin dua puluh orang, lalu mengutusnya ke Makkah. Begitulah, beliau senantiasa mengangkat para panglima dan komandan pasukan. Ini bisa menjadi dalil, bahwa khalifahlah yang berhak menentukan para panglima pasukan dan komandan yang membawa bendera pasukan.
Mereka semuanya bertanggungjawab kepada Rasulullah dan bukan kepada yang lain. Kenyataan itu cukup dijadikan argumentasi, bahwa para qadli, dirjen departemen, panglima perang (angkatan bersenjata), komandan serta para pegawai semuanya hanya bertanggungjawab kepada khalifah, dan bukan kepada majelis umat. Bahkan tidak ada satu orang pun yang bertanggungjawab di depan majelis umat selain para mu'awin, wali serta amil. Karena mereka merupakan hakim (penguasa), sedangkan selain mereka tidak ada satu pun yang bertanggungjawab kepada majelis umat, tetapi semuanya bertanggungjawab kepada khalifah.
Sedangkan dalil point (6) bahwa anggaran negara yang berkaitan dengan semua pendapatan dan pengeluarannya ditentukan berdasarkan hukum-hukum syara'. Sehingga tidak ada sepeser harta pun yang diperoleh kecuali sesuai dengan ketentuan hukum syara'. Begitu pula, tidak sepeser harta pun yang dibelanjakan kecuali berdasarkan hukum syara'. Hanya saja, penentuan pengeluaran secara rinci atau rincian anggaran belanja tersebut diserahkan kepada pendapat dan ijtihad khalifah. Begitu pula rincian pendapatannya, semisal khalifah menetapkan bahwa kharaj yang diambil dari tanah khirajiyah tersebut begini, lalu jizyah yang diambil dari ahli dzimah harus seperti ini. Hal ini ataupun hal-hal yang serupa inilah yang disebut rincian pendapatan. Sedangkan apa yang biasa dikatakan: "Ini harus dibelanjakan untuk proyek ini, sedangkan ini dibelanjakan untuk rumah sakit itu." Inilah yang biasanya disebut rincian belanja negara. Dalam hal ini harus dikembalikan kepada pendapat dan ijtihad khalifah. Jadi, khalifahlah yang menetapkannya berdasarkan pendapat dan ijtihadnya. Hal itu dikarenakan Rasulullah Saw. telah mengambil pendapatan dari para amil, dan beliaulah yang telah menentukan pengeluarannya. Bahkan beliau juga telah memberikan kewenangan kepada para wali agar menarik harta yang menjadi pendapatan negara serta membelanjakannya sebagaimana yang beliau lakukan kepada Mu'ad Bin Jabal ketika menjadi wali di Yaman.
Lalu para khulafa'ur rasyidin --dalam kapasitasnya sebagai khalifah-- masing-masing telah mengambil pendapatan negara serta membelanjakannya sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya. Di mana masalah tersebut tidak diingkari oleh seorang sahabat pun. Jadi, tidak seorang pun --selain khalifah-- boleh membelanjakan sepeser harta pun kecuali jika diizinkan oleh khalifah untuk melakukannya. Fakta ini seperti yang dilakukan oleh Umar terhadap Mu'awiyah ketika menjadi wali di Syam, di mana beliau memberikan otoritas kewaliannya secara umum yang mencakup wewenang untuk mengambil dan membelanjakan pendapatan negara. Semuanya ini menunjukkan bahwa yang berhak menentukan rincian anggaran belanja negara hanyalah khalifah atau orang yang diminta menggantikannya.
Inilah dalil-dalil yang rinci tentang wewenang khalifah, yang semuanya itu bisa dirangkum dalam satu hadits Rasulullah SAW.:
"Imam adalah pelayan, maka dia bertanggungjawab terhadap apa yang dilayaninya."
Kata "Huwa" di dalam hadits ini bermakna untuk pembatasan (lil hashri), yaitu segala hal yang berkaitan dengan pelayanan urusan rakyat hanya menjadi tugas khalifah, serta dibatasi hanya dia. Dia juga boleh untuk menggantikannya kepada siapa saja yang dia kehendaki, dan untuk menggantikan apa saja yang dia kehendaki, serta kapan saja dia mau. Ini sebagai analog terhadap akad wakalah (perwakilan).
Wewenang Kepala Negara Islam Menetapkan Undang-Undang dari Hukum Syara'
Wewenang Kepala Negara Islam Menetapkan Undang-Undang dari Hukum Syara'
Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm - Hizb ut-Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar