Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 28 Mei 2011

Syarat-Syarat Kepala Negara Islam - Syarat In'iqad Khalifah

Syarat-Syarat Kepala Negara Islam - Syarat In'iqad Khalifah



A. Syarat-syarat Khalifah

    Seorang khalifah harus memenuhi tujuh syarat agar dia bisa memegang tampuk kekhilafahan, juga agar bai'at terhadap pengangkatan jabatan kekhilafahannya dapat diberikan. Tujuh syarat tersebut adalah syarat sahnya pengangkatan seorang khalifah (syurutul in'iqad). Apabila salah satu dari ketujuh syarat ini kurang, maka jabatan kekhilafahan ini tidak dapat diberikan.

a.1. Syarat In'iqad

    Pertama, muslim. Karena itu, khilafah secara mutlak tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan hukum mentaati orang kafir itu tidak wajib. Karena Allah SWT. berfirman:

"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin." (Terjemah Makna Qur’an Surat An Nisa': 141)

Pemerintahan (kekuasaan) adalah jalan yang paling kuat bagi seorang hakim (penguasa) untuk memaksa rakyatnya. Ditambah pernyataan Allah dengan menggunakan "Lan" yang biasa dipergunakan untuk menyatakan penafian selama-lamanya (nafyut ta'bid) itu bisa menjadi indikasi (qarinah) tentang adanya larangan terhadap orang kafir untuk memimpin pemerintahan kaum muslimin, baik untuk menjadi khalifah maupun yang lain, maka semuanya tadi merupakan larangan yang tegas dan pasti (nahyan jaziman). Dan selama Allah mengharamkan orang-orang kafir untuk memiliki jalan agar bisa menguasai kaum muslimin, maka hukumnya haram bagi kaum muslimin untuk menjadikan orang kafir menjadi penguasa mereka.

    Di samping itu, khalifah esensinya merupakan seorang waliyul amri, sedangkan Allah mensyaratkan agar waliyul amri kaum muslimin itu adalah seorang muslim. Allah berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri dari kamu sekalian." (Q.S. An Nisa': 59)

"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka." (Q.S. An Nisa': 83)

Kata ulil amri tidak pernah disebut di dalam Al Qur'an, kecuali selalu disertai indikasi agar mereka adalah kaum muslimin. Hal ini menunjukkan bahwa waliyul amri disyaratkan harus orang Islam. Kalau khalifah merupakan waliyul amri, di mana dia juga bisa mengangkat waliyul amri yang lain, seperti para mu'awin, wali dan para amil, maka orang yang diangkat oleh khalifah itu disyaratkan harus orang Islam.

    Kedua, laki-laki. Maka, wanita tidak bisa menjadi khalifah. Dengan kata lain, khalifah harus laki-laki. Dia tidak boleh seorang wanita. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah yang mengatakan: "Sungguh Allah SWT. telah memberiku manfaat --dari kata-kata yang pernah kudengar dari Rasulullah saw.-- pada saat perang Jamal,  setelah semula hampir saja aku mengikuti tentara Jamal (yang dipimpin oleh Aisyah yang mengendarai unta) dan berperang di pihak mereka". Lalu ia melanjutkan: "Ketika sampai berita kepada Rasulullah saw. bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai ratu, maka beliau bersabda:

"Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita."

Ikhbar (pemberitahuan) Rasulullah dengan menafikan keberuntungan pada orang yang menyerahkan kekuasaan mereka kepada seorang wanita adalah larangan terhadap kepemimpinan wanita. Sebab pernyataan tersebut merupakan shiyagut thalab (bentuk-bentuk perintah). Ditambah pemberitahuan tersebut merupakan pemberitahuan yang berisi celaan (adz dzam) kepada mereka yang menyerahkan kekuasaannya kepada seorang wanita, dengan cara menafikan keberuntungan pada mereka, maka hal itu dapat dijadikan indikasi (qarinah) bahwa celaan tersebut merupakan larangan yang pasti dan tegas. Sehingga larangan mengangkat seorang wanita untuk jabatan kekuasaan di sini disertai dengan indikasi yang menunjukkan tuntutan meninggalkan perbuatan tersebut secara pasti. Jadi, mengangkat seorang wanita sebagai penguasa adalah haram. Yang dimaksud dengan larangan mengangkat seorang wanita menjadi penguasa di sini adalah menduduki jabatan khilafah dan jabatan-jabatan kekuasaan di bawahnya. Sebab, yang dibicarakan di sini adalah pengangkatan putri Kisra sebagai ratu yang berkuasa. Jadi persoalannya adalah khusus persoalan pemerintahan, bukan khusus mengenai kejadian diangkatnya putri Kisra saja, tetapi bukan berarti umum mencakup segala hal. Oleh karena itu, larangan ini tidak mencakup hal-hal lain selain pemerintahan.

    Ketiga, baligh. Tidak boleh anak-anak diangkat menjadi khalifah. Sebab ada riwayat dari Ali Bin Abi Thalib ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) atas orang yang tidur hingga bangun, atas seorang anak kecil hingga baligh, dan orang gila sampai akalnya kembali."

Dan siapa saja yang diangkat pena dari dirinya, dengan sendirinya tidak sah untuk mengurusi perkaranya. Karena menurut syara', dia tidak dibebani hukum (ghairu mukallaf). Jadi, dia tidak sah menjadi khalifah, ataupun menjadi pejabat yang memiliki wewenang kekuasaan, karena dia tidak mampu mengatur kekuasaan. Dalil lainnya adalah bahwa Rasulullah Saw. pernah menolak seorang anak yang hendak membai'at beliau. Yaitu ketika Rasulullah Saw. menolak baiat Abdullah Bin Hisyam dan beliau memberikan alasan karena ia masih kecil. Sabda beliau kepada ibunya:

    "Dia masih kecil."

kemudian beliau mengelus-elus kepalanya dan mendo'akannya. Jika bai'at tidak boleh diberikan oleh anak kecil dan anak kecil itu tidak boleh membai'at orang lain sebagai khalifah, maka lebih tidak boleh lagi kalau dia dibai'at menjadi khalifah.

    Keempat, berakal. Tidak sah orang gila menjadi khalifah berdasarkan sabda Nabi Saw.:

"Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) atas orang yang tidur hingga bangun, atas seorang anak kecil hingga baligh, dan orang gila sampai akalnya kembali."

Siapa saja yang diangkat pena dari dirinya, maka dia tidak termasuk seorang mukallaf. Karena akal menjadi manath (tempat) pembebanan hukum dan menjadi syarat sahnya mengatur berbagai urusan. Sedangkan tugas seorang khalifah adalah mengatur urusan pemerintahan dan melaksanakan perintah-perintah syara', maka tidak sah kalau khalifah itu orang gila. Sebab orang gila tidak bisa untuk mengurusi urusan dirinya sendiri, apalagi mengurusi urusan orang lain. Karena itu, lebih tidak sah lagi apabila orang gila mengurusi urusan orang lain dengan menjadi khalifah.

    Kelima, adil, yaitu orang yang konsisten dalam menjalankan agamanya (bertakwa dan menjaga muru'ah). Jadi tidak sah orang fasik diangkat menjadi seorang khalifah. Adil adalah syarat yang harus dipenuhi untuk pengangkatan khilafah serta keberlangsungan akad pengangkatannya. Sebab, Allah SWT. telah mensyaratkan pada seorang saksi dengan syarat 'adalah (adil). Allah berfirman:

"Hendaknya menjadi saksi dua orang yang adil dari kamu sekalian." (Q.S. At Thalaq: 2)

Kedudukan seorang khalifah tentu saja lebih tinggi daripada seorang saksi. Karena itu, tentu lebih utama dia memiliki syarat adil. Sebab kalau kepada seorang saksi saja ditetapkan syarat adil, apalagi kalau syarat itu untuk seorang khalifah.

    Keenam, merdeka. Seorang hamba sahaya tidak sah menjadi khalifah, karena dia adalah milik tuannya sehingga dia tidak memiliki wewenang untuk mengatur, bahkan terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian, dia tidak layak untuk mengurusi orang lain, apalagi menjadi penguasa atas manusia.

    Ketujuh,  mampu melaksanakan amanat khilafah. Sebab hal ini termasuk syarat yang dituntut oleh bai'at. Jadi, tidak sah bai'at kepada seseorang yang tidak sanggup untuk mengemban urusan umat (amanat khilafah) berdasarkan kitab dan sunah. Karena berdasarkan kitab dan sunah inilah dia dibai'at.

Syarat-Syarat Kepala Negara Islam - Syarat In'iqad
Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm - Hizb ut-Tahrir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam