Apresiasi Estetika al-Qur'an – Bahasa Estetis al-Qur'an
Apresiasi Estetika al-Qur'an – Bahasa Estetis al-Qur'an
Orang Mesir Mustafa Sadiq al-Rafi'i menyatakan:
Siapapun yang mendengar al-Qur'an tidak punya pilihan kecuali menyerah pada al-Qur'an... setiap bagian pikirannya disentuh oleh suara murni musik bahasa, dan sebagian demi sebagian, notasi demi notasi, dia memeluk harmoninya, kesempurnaan pola-polanya, pemenuhan formalnya. Itu bukanlah berlebih seolah sesuatu dilagukan padanya dengan sesuatu seperti terbakar sendiri pada dirinya.”
Apresiasi estetis al-Qur'an bukanlah suatu alat tata bahasa seperti itu, tapi adalah manifestasi keindahan tata bahasa al-Qur'an terhadap psikis manusia. Elemen estetika ini mungkin tampak subjektif tapi menegaskan semua struktur tata bahasa objektifnya yang lain dan menempatkan mereka semua dalam konteks kehidupan, pengalaman dan kemanusiaan, sehingga membuat al-Qur'an menjadi nyata. Goethe meringkas elemen-elemen estetika ekspresi al-Qur'an:
“Seberapapun sering kita menuju padanya [al-Qur'an]... ia dengan segera menarik, membuat kagum, dan pada akhirnya memperkuat penghormatan kita... gaya al-Qur'an, kesesuaiannya dengan kandungan-kandungannya dan tujuannya adalah megah, sangat intens dan unik mulia sebenar-benarnya – maka buku ini (al-Qur'an) akan terus bekerja melampaui semua zaman sebagai pengaruh yang paling kuat.
Reaksi-reaksi dan pengalaman-pengalaman demikian ketika mendengarkan al-Qur'an telah nyata disaksikan di sepanjang sejarah, satu contoh awal dari itu adalah dideskripsikan oleh episode berikut ini yang diambil dari artikel Kermani 'Apresiasi Estetika al-Qur'an sebagaimana direfleksikan dalam Sejarah Muslim Awal' - 'The Aesthetic Reception of the Qur'an as reflected in Early Muslim History'.
“Abu Ubaid, salah seorang sahabat Sang Nabi menyebutkan bahwa seorang Badui mendengarkan seseorang membaca 'maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu'. Setelah itu dia menyungkurkan diri ke tanah menyembah dan mengatakan, 'Aku bersujud untuk kehebatan kata-kata ini'.”
Montet dalam terjemahan al-Qur'an-nya menjelaskan fitur unik al-Qur'an ini,
“Mereka semua yang familiar dengan al-Qur'an dalam Bahasa Arab setuju dalam memuji keindahan buku religius ini, kualitas megah bentuknya adalah sangat mulia sehingga tidak ada terjemahan ke dalam bahasa Eropa apapun yang bisa membuat kita menghargainya.”
Contoh lain sifat dasar estetika al-Qur'an didemonstrasikan oleh masuk Islamnya sahabat hebat Nabi Muhammad (Saw.), Umar, sebagaimana diberikan oleh para ahli sejarah Islam terkenal, Ibnu Hisyam dan Ibnu Katsir. Sejak hari pertama dia berniat membunuh Sang Nabi (Saw.) dia telah mendengar bahwa saudara perempuannya, Fatimah, dan suaminya telah pindah masuk ke dalam agama Islam, sangat berang dia masuk ke rumah mereka. “Omong kosong apa ini yang aku dengar?” Umar berteriak, “Kalian tidak pernah mendengarkan apapun.” Fatimah dan suaminya berusaha menenangkannya. Umar, meski begitu, telah menyesali perilakunya dan meminta untuk membaca “kitab” yang berusaha disembunyikan Fatimah. Umar mulai membaca surat Thaha dan hanya setelah beberapa ayat dia berhenti dan menangis “Sungguh sangat indah dan mulia perkataan ini!” Umar, Khalifah kedua Islam telah pindah masuk ke dalam agama Muhammad.
Guillaume memberikan alasan bagi kualitas-kualitas estetika al-Qur'an:
“al-Qur'an punya ritme keindahan spesial dan irama yang mempesonakan telinga. Banyak Kristen Arab membicarakan gaya al-Qur'an dengan pengaguman hangat, dan kebanyakan ahli ke-Arab-an mengakui keunggulannya. Ketika al-Qur'an dibaca keras atau dilagukan, ia punya efek mirip hipnotis...”
Efek al-Qur'an ini mengubah hati dan pikiran banyak orang Arab pada masa diwahyukannya. Para Arab non-Muslim di waktu itu telah menyadari kekuatan al-Qur'an dan beberapa telah mencoba untuk mengurangi efek al-Qur'an dengan berteriak, bertepuk tangan, bernyanyi dan berbincang keras ketika al-Qur'an sedang dilagukan. Abu-Zahra berkomentar mengenai realitas ini:
“Yang terhebat di antara para musuh Muhammad (Saw.) takut kalau al-Qur'an akan punya efek kuat pada mereka, sementara mereka memilih tak beriman daripada keimanan dan menyimpang dari petunjuk yang benar. Maka, mereka sepakat untuk tidak mendengarkan al-Qur'an ini. Mereka tahu bahwa setiap orang yang mendengarkan al-Qur'an digerakkan oleh kekuatan ekspresif tegas yang melampaui kekuatan manusia. Mereka melihat bahwa masyarakat – bahkan yang berkepribadian hebat, yang terpandang dan hebat – satu demi satu percaya pada al-Qur'an, bahwa Islam tumbuh lebih kuat, bahwa orang beriman menjadi lebih banyak jumlahnya, kemusyrikan menjadi semakin lemah, dan para pendukungnya menjadi semakin sedikit.”
Untuk sebenar-benarnya mengapresiasi poin ini, adalah krusial untuk memperhatikan konteks historis di mana al-Qur'an muncul. Para Arab di waktu itu menganggap diri mereka sendiri – dan masih dianggap oleh para ahli sejarah dan bahasa hingga hari ini – para master Bahasa Arab yang sangat bangga dengan keahlian mereka; status sosial seabrek diberikan pada mereka yang melakukannya. Khususnya, yaitu menciptakan formula puisi inovatif dan inspiratif adalah suatu rekreasi hebat dan satu sumber persaingan sosial ketat. Kutipan berikut ini dari Ibnu Rasyiq mengilustrasikan tingkat kepentingan yang melekat pada bahasa pada waktu itu. Dia menulis:
“Setiap kali satu ahli puisi muncul di suatu suku Arab, suku-suku yang lain akan datang memberi ucapan selamat, pesta-pesta akan disiapkan, para wanita akan ikut bersama dengan alat musik seperti yang mereka lakukan di saat pernikahan, dan pria tua dan muda akan bergabung dalam berita baik itu. Para Arab biasa menyelamati satu sama lain hanya atas kelahiran seorang anak dan ketika seorang ahli puisi muncul di antara mereka.” Ibnu Khaldun, seorang ulama terkenal abad 14, menegaskan kembali pentingnya puisi dalam kehidupan Arab:
“Haruslah diketahui bahwa para Arab menjunjung tinggi puisi sebagai bentuk perkataan. Selain itu, mereka membuatnya menjadi arsip sejarah mereka, bukti untuk apa yang mereka anggap benar dan salah, dan dasar prinsip referensi untuk hampir semua ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan mereka.”
Seorang ulama masa yang lebih awal Ibnu Faris membahas mengenai tema yang sama, tapi melangkah lebih jauh untuk berkomentar mengenai kualitas puisi yang dikarang selama era pra-Islam:
“Puisi adalah arsip para Arab; di dalamnya silsilah mereka telah terjaga; itu memberi sinar (penjelasan) pada hal-hal tergelap dan teraneh yang ditemukan di dalam Buku Tuhan dan dalam tradisi nabi Tuhan dan para sahabatnya. Mungkin satu puisi lebih beruntung daripada yang lain dan satu puisi lebih manis dan lebih elegan daripada yang lain, tapi tidak ada puisi zaman kuno yang kekurangan derajat keunggulannya.”
Kegagalan mereka yang ada di puncak perdagangannya – penguasaan Bahasa Arab – untuk menyaingi al-Qur'an yang menantang mereka harus membuat seorang menjadi berpikir. Harus juga berbagai reaksi yang diterima al-Qur'an dari mereka yang paling berkedudukan untuk menantang sumbernya. Gibb menyatakan:
“Baiklah kalau begitu, jika al-Qur'an adalah karangannya sendiri, lelaki lain bisa menyainginya. Biarkan mereka memproduksi 10 ayat seperti itu. Jika mereka tidak bisa (dan adalah jelas mereka tidak bisa) maka biarkan mereka menerima al-Qur'an sebagai keajaiban bukti yang hebat.”
Dengan mengapresiasi elemen-elemen estetika ekspresi al-Qur'an, adalah diharapkan bahwa pembaca akan menginvestigasi seabrek alat-alat yang digunakan untuk mengekspresikan kekuatan tata bahasa tak-terbantahkan al-Qur'an sebagaimana Paul Casanova menyatakan:
“Kapanpun Muhammad (Saw.) dimintai suatu keajaiban, sebagai bukti keotentikan misinya, dia mengutip komposisi al-Qur'an dan keunggulan tak-tertandinginya sebagai bukti sumber ketuhanan al-Qur'an. Dan, faktanya, bahkan bagi mereka yang non-Muslim, tidak ada yang lebih ampuh daripada bahasa al-Qur'an dengan kekayaan yang bisa dipahami dan kedalaman yang tersentuh... Kekayaan porsi kata-katanya (syllables) dengan irama megah dan dengan ritme unggul telah menciptakan banyak momen perpindahan ke Islam mereka yang paling bermusuhan dan yang paling skeptis.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar