Demokrasi dalam Krisis
Bagaimana Sistem Politik Islam Memastikan Good Governance
Kesimpulan
Kegagalan menyadari Negara Khilafah sebagai pilihan, meski resonansinya dengan ratusan juta Muslim tidaklah mengagetkan. Para pemimpin politik Barat lebih nyaman membandingkan cara hidup mereka dengan patokan rendahan para diktator brutal di Timur Tengah (meski merekalah yang memunculkan para pemimpin itu bertahun-tahun) daripada benar-benar mendiskusikan perkara-perkara substantif tentang sistem politik yang lebih baik bagi dunia Muslim. Model politik Islam adalah teruji dan terpercaya, ia menyeimbangkan insting material individu dengan nilai-nilai spiritual yang kuat, ia menjadikan akuntabilitas sebagai dogma-dogma kunci sistem politiknya dan mewajibkan setiap warga negara untuk berpartisipasi secara aktif, ia mendorong jasa politik tanpa melupakan bahwa kekayaan masyarakat terbesar adalah nilai-nilai dan keyakinan-keyakinannya dan bahwa para politisi tanpa nilai-nilai adalah bagaikan kapal-kapal tanpa air. Aturan-aturan Syariah mengenai politik adalah tetap dan tidak bisa sebegitu mudah dimanipulasi. Syariah membangun budaya mengawasi dan meminta tanggung jawab penguasa oleh warga negara biasa, partai-partai politik, dewan-dewan terpilih dan oleh pengadilan itu sendiri. Ia menetapkan tidak ada orang yang di atas hukum dan tidak mengecualikan para politisi dari membayar kewajibannya atau dari penghukuman. Khalifah Bani Ummayah Umar bin Abdul Aziz (717-730) pernah mengatakan “Rulers usually appoint people to watch over their subjects. I appoint you a watcher over me and my behaviour. If you find me at fault in word or action guide me and stop me from doing it".
"Para penguasa biasanya menunjuk orang-orang untuk memelihara urusan mereka. Aku menunjuk kalian sebagai pemelihara atas diriku dan perilakuku. Jika kalian menemukanku bersalah dalam kata atau perbuatan tuntunlah diriku dan hentikan aku dari melakukannya". Ini adalah mekanisme akuntabilitas ter-institusionalisasi, tapi kesadaran akan Tuhan secara personal adalah yang memiliki kualitas hingga beliau akan mematikan lilin yang dibiayai dengan uang baitul mal bahkan ketika seseorang menyibukkannya dengan menanyakan tentang keadaan pribadinya. Kombinasi nilai-nilai dan aturan-aturan dalam Islam membuat suatu budaya politik di mana Khalifah pertama Sayidina Abu Bakar (ra) berkata: “after my death hand over to Umar (his successor) this milk-camel and dish which were given to me on account of my Khilafah (Caliphate).”
"setelah kematianku berikanlah pada Umar (penerusnya) unta-susu ini dan piring yang diberikan padaku atas nama Khilafah-ku." Itu tidak untuk diwariskan sebagai pemilikan pribadinya.
Ini bukanlah aspirasi dari banyak suporter dari para suporter demokrasi. Kebebasan dalam memilih pemimpin politik adalah keharusan, memiliki para pemimpin yang akuntabel adalah esensial, melindungi para minoritas berjalan tanpa disuruh, membuat para politisi melayani publik dan bukannya golongan elit adalah kritikal. Namun demokrasi sekular menurut sifat dasarnya bukanlah kendaraan yang cocok untuk mencapai tujuan-tujuan ini meski tangisan konstan untuk perubahan dari para politisi baru. Dalam prakteknya terdapat jurang yang lebar antara realitas negara-negara demokrasi dan retorikanya. Semakin dikendalikan oleh para elit kuat, terjangkiti oleh korupsi dan ditunggangi oleh para politisi yang kepentingannya hanyalah kepentingan pribadinya sendiri, demokrasi sekular telah menjadi suatu sistem yang didesain untuk melindungi kaum berpengaruh dan orang-orang kaya. Utang meningkat seiring negara-negara demokratis terus membuat mabuk populasi-populasi mereka untuk pertimbangan-pertimbangan elektoral jangka-pendek. Krisis keuangan 2008 didorong oleh trinitas najis demokrasi, kapitalisme dan liberalisme membawa dunia menuju jurang bencana. Kita harus belajar dari pelajaran-pelajaran sebelum terlambat. Sebagaimana seorang Profesor Skotlandia abad 18 Alexander Tytler telah mengatakan:
Demokrasi tidak bisa eksis sebagai bentuk permanen pemerintahan. Ia hanya bisa eksis hingga para pemilih menemukan bahwa mereka bisa voting bagi diri mereka sendiri uang cuma-cuma dari kas publik. Sejak momen itu, mayoritas selalu voting untuk para kandidat yang menjanjikan keuntungan terbesar dari kas publik dengan hasil bahwa demokrasi selalu runtuh karena kebijakan fiskal longgar, selalu diikuti dengan suatu kediktatoran. Umur rata-rata peradaban terbesar dunia adalah 200 tahun.
Apa yang kita butuhkan hari ini adalah pemikiran segar, bukan model lain demokrasi sekular atau satu set reformasi lembek. Itu adalah sistem yang sangat bangkrut sehingga dunia membutuhkan pilihan baru radikal, bersenyawa dengan nilai-nilai baru dan etos baru politik melayani publik bukannya suatu elit kaya.
Ini adalah esensi pilihan Islam.
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [Terjemah Makna Qur'an Surat (4) an-Nisa: 59]
Buku : Demokrasi dalam Krisis
Bagaimana Sistem Politik Islam Memastikan Good Governance
Satu Pamflet oleh Hizb ut-Tahrir Britain
Hizb ut-Tahrir
Britain
22 Jumada al Awwal 1431 / 6 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar