Sistem
Pakistan saat ini mengamankan para penguasa dari pertanggungjawaban, hanya
dalam Khilafah meminta pertanggungjawaban tegas bisa dilakukan
Menurut artikel 248 konstitusi 1973, Presiden, Gubernur, para
Menteri dll diabaikan dari pertanyaan apapun tentang pertanggungjawaban mereka
di hadapan pengadilan. Selain itu, para anggota parlemen bebas untuk membuat
aturan apapun berdasarkan opini mayoritas, sehingga mereka bisa membuat
legislasi untuk mencegah akuntabilitas mereka. Contoh saat ini adalah National
Reconciliation Ordinance (NRO), di mana berbagai kasus dari pembunuhan hingga
mengkorupsi milyaran rupee diabaikan dari sidang di pengadilan. Dengan begitu,
akuntabilitas dalam sistem saat ini hanyalah lelucon sirkus. Dalam Khilafah,
Khalifah bukanlah seorang raja juga bukan seorang diktator. Tidak juga dia
punya hak untuk mengubah hukum Islam menurut kemauannya sendiri. Dalam
Khilafah, bukanlah sekadar hak rakyat untuk meminta pertanggungjawaban atas
tindakan-tindakan Khalifah, tetapi merupakan kewajiban untuk meminta
pertanggungjawaban para pemimpin mereka. Sungguh, menyuruh dan mengikuti yang
Ma’ruf dan mencegah yang Munkar adalah kewajiban. RasulAllah Saw. bersabda:
“Demi
Yang jiwaku berada di Tangannya, kalian menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang
munkar, atau Allah akan mengirimkan hukuman, kemudian kalian berdoa pada-Nya
dan kalian tidak akan dikabulkan” (Hadits Riwayat Tirmidzi)
Maka dalam Khilafah, siapapun individu, partai, Majelis Umat
atau Mahkamah Tindak Kezaliman bisa meminta pertanggungjawaban Khalifah. Islam
telah memerintahkan bahwa Khalifah harus disingkirkan ketika dia tidak
memerintah menurut apa yang Allah Swt. wahyukan atau ketika dia menindas
rakyat. Pencopotannya adalah keharusan untuk menghilangkan penindasan. Dalam
situasi demikian, publik bisa menyampaikan kasus kepada Mahkamah Madzalim dan
jika kejahatan terbukti, Mahkamah Madzalim akan punya hak untuk menyingkirkan
Khalifah.
Khilafah
akan membasmi korupsi politis
Korupsi politis hadir di setiap peradaban demokratis dan
Pakistan bukanlah pengecualian. Secara serampangan korupsi disalahkan
sepenuhnya pada individu-individu, ketika faktanya adalah sistemnya yang
memproduksi individu-individu semacam itu dan memberi tangan terbuka bagi para
individu itu untuk melakukan korupsi. Dalam sistem ini, manusia mendefinisikan
apa yang benar dan salah, jadi para individu korup menyadari bahwa mereka bisa
membuat korupsi di atas hukum. Jadi, membelanjakan jutaan rupee untuk menjadi
seorang wakil terpilih dipandang sebagai investasi menguntungkan. Dengan cara
ini, kebanyakan orang rusak dalam masyarakat dijaring masuk ke dalam dewan,
yang sekarang menjadi suatu forum untuk mengamankan berbagai kepentingan mereka
yang korup, bukannya mengurus sebaik-baiknya berbagai urusan rakyat. Selain
itu, untuk menghindari voting tidak-percaya, para penguasa berusaha menjaga
para wakil selalu setuju dengan suap dana berbagai kementerian dan pembangunan,
memperparah korupsi.
Tapi dalam Khilafah, karena Islam sendiri memutuskan apa yang
benar dan salah, tidak ada insentif bagi individu-individu korup untuk menjadi
anggota Majelis Umat. Dan dalam Khilafah, para wakil rakyat tidak bisa
mengancam pemimpin melalui ancaman voting tidak-percaya berdasar nafsu atau
keinginan, karena Khalifah disingkirkan hanya ketika dia menyalahi Islam. maka,
dengan jalan ini Khilafah akan mengakhiri korupsi, tidak seperti demokrasi di
mana korupsi subur berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar