Peran
para wakil rakyat terpilih dalam Khilafah
Syari’ah telah memberikan izin untuk memilih para wakil untuk
mengurus berbagai urusan Kaum Muslim. RasulAllah Saw. bersabda di Bay’ah Aqabah
Kedua,
“Bawalah
kepadaku 12 pemimpin sehingga mereka bisa bertanggung jawab atas urusan-urusan
rakyatnya”
Dalam Khilafah, para wakil di Majelis Umat dipilih, tidak
ditunjuk oleh Khalifah. Seperti Khalifah, Majelis Umat tidak bisa menentukan
apa yang benar dan salah, karena Kedaulatan adalah untuk Syariah. Namun Majelis
Umat dengan tegas meminta pertanggungjawaban Khalifah dan menyediakan
konsultasi dalam mengurus berbagai urusan rakyat. Khalifah pergi ke Majelis
Umat untuk konsultasi mengenai berbagai urusan rakyat. Tetapi, konsultasi ini
tidak pernah bisa membuat yang halal menjadi haram atau yang haram menjadi
halal. Maka di dalam Khilafah, konsultasi tidak bisa dibuat untuk menerapkan
Pajak Penjualan atau memprivatisasi aset-aset energi, karena itu semua haram
dalam Islam. Demikian juga, tidak akan ada konsultasi mengenai perkara-perkara
yang diwajibkan dalam Islam, seperti mengirim kekuatan bersenjata untuk
membebaskan tanah-tanah Muslim terjajah atau membuat Aqidah Islam menjadi dasar
pendidikan atau menyatukan semua negeri Muslim sebagai satu negara Khilafah.
Para warga negara non-Muslim bisa menjadi angota Majelis Umat
dalam rangka mengadukan tentang kesalahan penerapan Islam atau opresi atas
mereka. Namun demikian, non-Muslim tidak akan punya hak untuk memberikan opini
mereka mengenai hukum-hukum Syari’ah. Memang, non-Muslim tidak percaya terhadap
pandangan Islam serta syahadat yang melahirkan hukum-hukum Syariah yang menjadi
solusi-solusi untuk berbagai masalah manusia.
Islam tidak hanya menjelaskan prinsip-prinsip mengenai bermacam
sistem tapi juga memberikan peraturan mendetail. Sebagai contoh dalam sistem
ekonomi, terdapat pengaturan mengenai pertanian, tanah, Riba (bunga), mata
uang, kepemilikan umum dan pemasukan negara. Dalam kebijakan luar negeri,
terdapat pengaturan mengenai jihad, perjanjian internasional dan hubungan
diplomatik. Demikian pula, dalam sistem pemerintahan, ada pengaturan tentang
pemilihan, Bay’ah, penunjukan para Gubernur dan aturan-aturan tentang
pencopotan para pemimpin. Khalifah terikat untuk menerapkan aturan-aturan itu
sebagaimana adanya. Khalifah tidak bisa bertindak pribadi berdasarkan suka dan
tidak suka dalam perkara-perkara itu dan tidak juga Khalifah butuh mayoritas
para wakil rakyat untuk menerapkan hukum-hukum itu.
Mengenai berbagai pengaturan yang dibolehkan ada perbedaan
pendapat, Syariah telah memberikan hak kepada Khalifah untuk mengadopsi
pendapat yang dia pikir paling kuat didasarkan pada dalil-dalil Syar’i dan
menerapkannya sebagai hukum negara. Abu Bakar r.a. di permulaan Khilafah-nya menolak
opini mayoritas Sahabat r.a. mengenai mereka yang menolak Zakat dan dia
mengirim pasukan untuk mengatasi mereka. Umar r.a. menerapkan ijtihad-nya
mengenai tanah-tanah Irak, meski Bilal r.a. dan para Sahabat Besar lainnya
berbeda pendapat dengannya. Khalifah tidak akan mengadopsi opini apapun
mengenai ibadah individual atau cabang-cabang aqidah, dan rakyat dalam
perkara-perkara itu akan dibolehkan mengadopsi menurut ijtihad.
Dalam perkara-perkara di mana publik punya pengetahuan dan
yang bersifat teknis, Khalifah akan terikat untuk bertindak atas dasar opini
mayoritas rakyat. Sebagai contoh: jika Khalifah menanyai rakyat di area
tertentu apakah jalanan harus diperbaiki atau universitas harus didirikan di
area itu, maka dalam situasi ini Khalifah akan terikat untuk bertindak atas
dasar opini mayoritas rakyat (yaitu mayoritas para wakil mereka). Sebelum
Perang Uhud, RasulAllah Saw. dan para Sahabat Besar r.a. memandang bahwa Kaum
Muslim harus bertarung melawan Quraysh dari dalam dinding Madinah. Namun mayoritas
para Sahabat Muda r.a. berpandangan bahwa mereka harus menemui Qurays dalam
perang di luar Madinah. Opini mayoritaslah yang diterapkan, meski itu berkebalikan
dengan opini RasulAllah Saw. dan para Sahabat Besar r.a. dan perang itu terjadi
di luar Madinah, di Uhud.
Dalam perkara-perkara yang hanya para ahli yang tahu,
Khalifah akan berkonsultasi dengan para ahli bukannya publik umum. Setelah
berkonsultasi dengan mereka, Khalifah akan mengadopsi opini berdasarkan
bukti-bukti paling kuat. Dalam hal ini pandangan mayoritas ahli bukanlah yang
menjadi pertimbangan, karena opini terkuat bisa jadi merupakan pandangan
mayoritas dan bisa jadi tidak. Jadi, jika terdapat kekurangan listrik, maka
setelah berkonsultasi dengan para ahli, Khalifah akan punya hak untuk memberi
keputusan final apakah menghasilkan listrik dari energi nuklir, energi matahari
atau konversi batubara ke minyak, menggunakan teknologi batubara ke cair. Dalil
Syara’-nya adalah bahwa selama Perang Badar, RasulAllah Saw. merelokasi pasukan
berdasarkan konsultasi dengan hanya satu orang ahli militer, Habab al-Mundhir
r.a.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar