Bentuk-Bentuk Pengadilan Negara - Macam Jenis Pengadilan Negara Islam Khilafah
A. Bentuk-bentuk Pengadilan
Qadhi bisa dibagi menjadi tiga, pertama adalah qadhi biasa, yaitu qadhi yang mengurusi penyelesaian perkara sengketa di tengah masyarakat dalam hal mu'amalah (transaksi yang dilakukan antara satu orang dengan orang yang lainnya) dan uqubat (sanksi hukum). Kedua, qadhi muhtasib yaitu qadhi yang mengurusi penyelesaian perkara penyimpangan yang bisa membahayakan hak jama'ah. Ketiga, qadhi madhalim yaitu qadhi yang mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan negara.
Inilah penjelasan tentang bentuk-bentuk pengadilan. Sedangkan dalil bahwa pengadilan biasa adalah lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia adalah af'al Rasulullah, termasuk pengangkatan beliau terhadap Mu'ad Bin Jabal di Yaman. Adapun dalil bahwa pengadilan itu adalah lembaga yang menyelesaikan penyimpangan-penyimpangan yang bisa membahayakan hak jama'ah, yang sering disebut muhtasib adalah perbuatan dan sabda Rasulullah Saw. Di antaranya Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"Siapa saja yang menipu, bukan termasuk umatku."
Rasulullah juga pernah menemukan penipu, kemudian beliau mencegahnya. Qais Bin Abi Ghurrah Al Kinani berkata, bahwa kami pernah membeli beberapa wasq (1 wasq = 130,560 kg gandum) di Madinah. Kami merupakan samasirah (agen penjual), maka keluarlah Rasulullah Saw. mendatangi kami lalu menyebut kami dengan panggilan yang lebih bagus daripada sebutan kami sebelumnya. Beliau bersabda:
"Wahai para saudagar, bahwa (dalam) jual beli ini sebenarnya bisa menyebabkan permainan dan sumpah (palsu), maka kalian harus melandasi jual beli tersebut dengan kejujuran."
Al Barra' Bin Azib dan Zaid Bin Arqam pernah melakukan kerjasama, lalu keduanya membeli perak dengan cara tunai dan kredit. Hal itu kemudian didengar oleh Rasulullah Saw. lalu beliau memerintahkan keduanya:
"Yang dibeli dengan cara kontan, boleh. Sedangkan yang dibeli dengan cara kredit, harus ditolak."
Semuanya itu merupakan pengadilan hisbah. Sebutan pengadilan yang menyelesaikan perkara sengketa dan bisa membahayakan hak jama'ah itu dengan menggunakan sebutan hisbah adalah karena ia merupakan suatu istilah aktivitas tertentu dalam negara Islam. Yaitu mengawasi para pelaku bisnis, tukang dan pekerja, untuk mencegah mereka dari tindak penipuan dalam perdagangan mereka, pekerjaan dan hasil-hasil karya mereka. Di mana dia yang bertugas menyiduk mereka karena mempergunakan takaran dan timbangan atau yang lainnya, yang bisa membahayakan kepentingan kelompok masyarakat. Kegiatan itulah yang telah dijelaskan oleh Nabi Saw. Di mana beliau memerintahkannya serta menyelesaikan sengketa yang terjadi, sebagaimana yang nampak di dalam hadits Al Barra' Bin Azib, ketika beliau melarang dua pihak yang bekerjasama dengan cara yang satu kredit sedangkan yang lain dengan tunai. Karena itu, dalil tentang hisbah tersebut adalah dalil As Sunnah.
Hanya saja, Rasulullah Saw. belum pernah mengangkat qadli tertentu dalam masalah hisbah tersebut. Begitu pula, para khulafaur rasyidin belum pernah ada yang mengangkat qadli tertentu dalam masalah hisbah, kecuali Umar Bin Khattab. Di mana beliau mengangkat As Syifa' seorang wanita dari kaumnya untuk menjadi qadli di pasar, yaitu qadli hisbah. Dan kadang beliau sendirilah yang melakukan tugas sebagai qadli hisbah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.. Hanya bedanya, Umar selalu keliling di pasar.
Jadi, khalifah senantiasa melakukan hisbah sendiri hingga berakhir pada masa khalifah Harun Ar Rasyid. Sebab, beliaulah yang mula-mula mengangkat muhtasib (qadli yang bertugas melakukan hisbah) yang berkeliling di pasar, dan bertugas memeriksa penipuan timbangan dan takaran serta mengawasi transaksi-transaksi yang dilakukan para pelaku bisnis. Setelah masa Al Mahdi, beliau membuat struktur khusus untuk menyelesaikan masalah hisbah itu, sehingga terbentuklah struktur lembaga peradilan. Adapun dalil tentang pengadilan yang kemudian disebut qadli madzalim adalah firman Allah SWT.:
"Apabila kalian berselisih dalam satu hal, maka kembalikanlah masalah tersebut kepada Allah dan Rasulullah." (Quran Surat An Nisa': 59)
Ayat di atas, dinyatakan setelah firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian." (Quran Surat An Nisa': 59)
Karena perselisihan antara rakyat dengan ulil amri (penguasa) itu harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu hukum Allah. Sedangkan untuk mengembalikan kepada hukum Allah itu mengharuskan adanya qadhi yang memutuskan perkara persengketaan, maka dialah qadli madzalim. Dalil yang lain adalah perbuatan Rasulullah Saw. ketika beliau mengangkat Rasyid Bin Abdillah sebagai qadli madhalim. Di samping itu, adalah sabda Rasulullah Saw. yang menyatakan:
"Siapa saja yang pernah hartanya aku ambil, maka inilah harta milikku silahkan ambil (hak yang pernah aku ambil) darinya. Siapa saja yang pernah aku cambuk tubuhnya, maka inilah tubuhku, maka balaslah (mana saja yang disuka) darinya."
Bukankah ini merupakan qadla' (pengadilan) madhalim. Karena hal-hal yang termasuk dalam definisi pengadilan madzalim adalah memberikan vonis terhadap perkara sengketa yang terjadi antara rakyat dengan khalifah.
Dalil tentang peradilan madlalim itu adalah perbuatan dan perkataan Rasulullah. Hanya saja, Rasulullah tidak mengangkat qadli secara khusus untuk mengurusi perkara madhalim tersebut di seluruh negeri. Begitu pula para khalifah setelah beliau. Mereka biasanya menyelesaikan sendiri perkara madhalim itu, seperti yang biasa dilakukan pada masa Ali Bin Abi Thalib ra. Hanya saja, beliau tidak menyediakan waktu-waktu khusus serta cara-cara tertentu. Tetapi, ketika terjadi kedzaliman maka fungsinya sebagai qadhi madhalim tersebut nampak. Sehingga dalam prakteknya terjadi secara menyeluruh dalam tindakan-tindakan beliau --yang tidak dapat dipisahkan secara mandiri.
Keadaan seperti itu terus berlanjut hingga masa kekhalifahan khalifah Malik Bin Marwan. Sebab, dialah khalifah yang pertama kali menyediakan waktu khusus serta cara-cara tertentu untuk menyelesaiakan perkara madhalim tersebut. Dia biasanya menyediakan hari-hari tertentu untuk menyelesaikan perkara tersebut, di mana beliau selalu mengontrol terjadinya perkara madhalim. Apabila memang telah terjadi, maka dia segera melaporkannya kepada qadhi untuk diadili. Khalifah Malik kemudian menyusun wakil-wakil yang bertugas mengawasi perkara madhalim di tengah masyarakat. Lalu disusunlah struktur pengadilan madhalim itu, dengan struktur tertentu, yang disebut dengan Darul Adli.
Praktek seperti ini diperbolehkan, dilihat dari segi pengangkatan qadli itu bertugas untuk menyelesaikan perkara madhalim. Sebab, dalam melaksanakan seluruh wewenang yang dimiliki khalifah dia boleh mengangkat orang tertentu untuk menggantikannya serta dari segi penyediaan waktu dan cara-cara khusus itu merupakan sesuatu yang diperbolehkan, karena semuanya itu merupakan kemubahan.
Bentuk-Bentuk Pengadilan Negara - Macam Jenis Pengadilan Negara Islam Khilafah
Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm Islam - Hizb ut-Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar