Wajib
Memerangi Khalifah Yang Jelas Terbukti Kafir
Sebagaimana perintah
ketaatan di atas telah dikecualikan dari satu hal, yaitu dari perintah untuk
melakukan kemaksiatan, maka demikian halnya keharaman untuk memisahkan diri
dari kekuasaan seorang khalifah, serta mengangkat senjata dalam rangka
menentangnya juga dikecualikan dari satu hal, yaitu adanya kekufuran yang
nyata. Kalau kekufuran yang nyata itu nampak, maka wajib diperangi. Karena
adanya nash-nash yang menjelaskan tentang keadaan semacam ini. Sehingga
pengecualinya berdasarkan nash.
Auf Bin Asyja'i
berkata: "Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
"Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai, dan merekapun mencintai
kalian; mereka mendo'akan kalian dan kalianpun mendo'akan mereka. Seburuk-buruk
pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan merekapun membenci kalian;
kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian." Ditanyakan kepada
Rasulullah: "Wahai Rasulullah, tidakkah kita perangi saja mereka
itu?" Beliau menjawab: "Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat
(hukum Islam) di tengah-tengah kamu sekalian."
Yang dimaksud dengan
"menegakkan shalat" di atas adalah "memerintah dengan
Islam", yaitu menerapkan hukum-hukum syara'. Jadi pemakaian ungkapan
"menegakkan shalat" adalah termasuk dalam katagori "Itlaqul juz'i wa iradatul kulli"
(menyebut bagian tertentu dengan maksud keseluruhan). Seperti firman Allah:
"Maka, merdekakanlah budak." (TQS.
Al Mujadalah: 3)
Yang dimaksud adalah
memerdekakan budak secara keseluruhan, bukan hanya raqabah (budak mukatab)
saja.
Dalam hadist itu,
Rasulullah menyatakan: "Ma Aqaama Fiikum
As Shalat" (selagi mereka masih menegakkan shalat), yang dimaksud
oleh pernyataan Beliau itu adalah menegakkan seluruh hukum syara', bukan hanya
menegakkan shalat saja. Hal ini merupakan pembahasan Majaz (figurative language;
bahasa kias) yaitu "Itlaqul juz'i wa
iradatul kulli" (menyebut bagian tertentu dengan maksud
keseluruhan).
Diriwayatkan dari Umi
Salamah; bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
"Akan
ada para pemimpin, lalu kalian akan mengetahui kema'rufannya dan kemunkarannya,
maka siapa saja yang membencinya dia akan bebas, dan siapa saja yang
mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi siapa saja yang rela dan mengikutinya
(dia akan celaka). Mereka bertanya: "Tidakkah kita akan memerangi
mereka?" Beliau bersabda: "Tidak, selama mereka masih menegakkan
shalat (hukum Islam)."
Yang dimaksud dengan
pernyataan di atas adalah selagi mereka masih menegakkan hukum-hukum syara',
yang antara lain adalah hukum shalat. Di mana pembahasan itu merupakan
pembahasan "Itlaqul juz'i wa iradatul
kulli" (menyebut bagian tertentu dengan maksud keseluruhan).
Diriwayatkan pula dari
Ubadah Bin Shamit yang menyatakan:
"Kami
diseru oleh Nabi Saw. lalu kami membai'at Beliau." Dia melanjutkan:
"Beliau mengambil janji dari kami, agar kami membai'atnya dengan
mendengarkan dan mentaati (semua perintahnya), baik dalam keadaan lapang maupun
terpaksa; baik ketika sedih maupun gembira, serta dalam keadaan yang tidak
menyenangkan kami; juga agar kami tidak merebut urusan (pemerintahan) dari yang
berhak (khalifah yang sah), kecuali kalau (kata Beliau): “Kalian menemukan
kekufuran yang nyata, dan kalian sanggup membuktikannya di hadapan
Allah.'"
Tiga hadits di atas,
yaitu hadits dari Auf Bin Malik, hadits Umi Salamah, hadits Ubadah Bin Shamit
itu tema sentralnya adalah memisahkan diri dari kekuasaan khalifah, di mana
hadits-hadits tersebut semuanya berupa larangan memisahkan diri dari kekuasaan khalifah,
dengan larangan yang tegas:
"Tidakkah
kita perangi saja mereka dengan pedang." Beliau menjawab:
"Jangan."
"Tidakkah
kita perangi saja mereka itu?" Beliau menjawab: "Jangan."
"Dan
hendaknya kami tidak merebut urusan (kekuasaan) tersebut dari yang
berhak."
Semuanya itu melarang
memisahkan diri dari kekuasaan seorang khalifah, dengan larangan yang tegas.
Sebab, kalau ada suatu larangan kemudian larangan tersebut disertai dengan
kecaman bagi yang memisahkan diri, seperti dalam hadits:
"Siapa
saja yang memisahkan diri dari suatu ketaatan, serta memisahkan diri dari
jama'ah, (lalu mati) maka matinya adalah seperti mati jahiliyah."
Maka, larangan itu
berarti larangan yang tegas atau bermakna haram. Sebab mengklaim matinya orang
yang memisahkan diri dari kekuasaan seorang khalifah, dengan klaim mati
jahiliyah itu menjadi indikasi yang menunjukkan adanya larangan dengan tegas.
Karena itu, hadits-hadits ini menjadi dalil atas keharaman memisahkan diri dari
seorang khalifah.
Akan tetapi larangan
di atas dikecualikan dari satu keadaan, yang dinyatakan oleh dua hadits yang
pertama, yaitu tidak mendirikan shalat dan tidak melaksanakan shalat. Kemudian
hal itu dipertegas dengan pernyataan hadits ketiga dengan adanya kekufuran yang
nyata.
Tidak menegakkan
shalat dan tidak melaksanakan shalat, maksudnya adalah tidak memerintah dengan
hukum yang diturunkan oleh Allah, atau memerintah dengan hukum-hukum kufur,
sehingga penampakan kekufuran tersebut tidak meragukan lagi.
Kufrul bawwah (kekufuran yang nyata) adalah
kata yang maknanya umum, karena kata itu merupakan kata yang menunjukkan jenis
yang masih bersifat umum, sehingga kata tersebut merupakan kata yang bermakna
umum. Jadi, maksudnya adalah apabila kekufuran yang nyata tersebut benar-benar
nampak, maka hukum memisahkan diri dari kekuasaannya adalah wajib. Baik dia
memerintah dengan hukum-hukum kufur, seperti kalau dia memerintah dengan selain
hukum yang diturunkan oleh Allah, atau tidak memerintah dengan hukum-hukum
Islam, seperti membiarkan orang-orang murtad dari Islam, padahal orang-orang
murtad itu menunjukkan kekufurannya secara terang-terangan, ataupun yang lain.
Fakta-fakta ini semua
merupakan fakta kekufuran yang nyata, yaitu umum mencakup semua kekufuran.
Inilah keadaan yang mengecualikan, yaitu nampaknya kekufuran yang nyata,
sehingga ketika kekufuran yang nyata itu benar-benar nampak, maka wajib
memisahkan diri.
Ketentuan makna di
dalam hadits-hadits yang mewajibkan memisahkan diri dari kekuasaan seorang
khalifah di atas dengan satu keadaan itu adalah karena Rasulullah Saw. mencegah
agar tidak menentang mereka, memerangi dan merebut kekuasaan dari tangan
mereka, kemudian Beliau mengecualikan semuanya itu dari satu keadaan.
Pengecualian memisahkan diri yang sebelumnya merupakan larangan itu berarti
diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang dikecualikan.
Sehingga mafhum
hadits-hadits tersebut menunjukkan adanya perintah untuk menentang seorang
khalifah, memerangi dan merebut kekuasaan dari tangannya, apabila keadaan
(kekufuran yang nyata) itu terjadi. Karena makna mafhum
sama seperti makna mantuq, dilihat dari
segi hujjah. Sehingga makna mafhum itu juga bisa menjadi dalil yang
menunjukkan, bahwa Allah memerintah menentang para khalifah serta memerangi dan
merebut kekuasaan dari tangan mereka, apabila kekufuran yang nyata tersebut
telah terlihat.
Sedangkan qarinah yang menunjukkan bahwa perintah itu
bermakna wajib, adalah tema sentral perintah itu sendiri yang disertai ta'kid (penegasan) terhadap perintah itu.
Sehingga memerintah dengan hukum-hukum Islam itu jelas telah diwajibkan oleh
Allah, dan bukannya disunahkan. Sedangkan nampaknya kekufuran yang nyata,
sebaliknya, telah diharamkan oleh syara', dan bukannya dimakruhkan. Maka, tema
sentral perintah tersebut menjadi qarinah
yang menunjukkan bahwa perintah tersebut merupakan perintah yang tegas.
Sehingga memisahkan diri dari kekuasaan seorang khalifah dalam keadaan yang
dikecualikan itu, tidak bisa dinilai hanya mubah, tetapi jelas fardhu bagi kaum
muslimin.
Akan tetapi harus
difahami, bahwa yang dimaksud dengan nampaknya kekufuran yang nyata itu adalah
kekufuran yang bisa dibuktikan dengan dalil yang pasti, bahwa ia jelas-jelas
kufur. Karena Rasulullah Saw. tidak hanya menyatakan sampai di situ; "Kufran Bawwahan" melainkan Beliau
melanjutkan dengan sabda Beliau berikutnya: "Di
mana kalian memiliki bukti di hadapan Allah (tentang kekufuran tersebut)."
Dan kata Burhan, tidak biasa
dipergunakan selain untuk menunjukkan dalil yang tegas (qath'i).
Oleh karena itu,
adanya dalil yang qath'i menjadi salah
satu syarat memisahkan diri. Apabila masih ada bukti yang masih kabur; apakah
kufur atau tidak, atau hanya dengan bukti yang bersifat dugaan (dzanni) bahwa ia telah kafir, sekalipun bukti
tersebut benar, maka tetap tidak diperbolehkan untuk memisahkan diri. Karena
memisahkan diri tidak diperbolehkan, selain apabila ada bukti yang pasti bahwa
ia telah benar-benar kafir.
Oleh karena itu, yang
dimaksud dengan kekufuran yang nyata, adalah orang yang tidak lagi diragukan
kekafirannya, serta orang yang bisa dibuktikan dengan bukti yang pasti (qath'i) bahwa dia benar-benar kafir. Apabila
seorang khalifah memerintah melakukan suatu perbuatan atau tindakan, yang
diliputi kesamaran bahwa dia tidak kafir, maka tidak boleh memisahkan diri dari
kekuasaannya, dengan alasan kekufuran yang nyata, karena adanya kesamaran tadi.
Semisal, kalau seorang
khalifah memerintah mempelajari teori dialektika di perguruan tinggi, atau
mempelajari akidah-akidah kufur, padahal anda yakin bahwa mempelajari akidah
kufur bisa menyebabkan kekufuran, maka anda tetap haram memeranginya. Anda juga
tidak boleh berlepas diri dari pemerintahannya dengan alasan terlihatnya
kekufuran yang nyata. Karena diapun memiliki alasan yang membolehkan untuk
mempelajari akidah-akidah kufur, sebagaimana yang ada di dalam Al Qur'an. Di
mana Allah paparkan semuanya kemudian semuanya ditentang.
Dengan demikian,
setiap sesuatu yang mempunyai dalil, atau syubhat
ud-dalil (dalil yang masih diperselisihkan) yang menyatakan bukan
termasuk kufur, sedangkan di sisi lain ada dalil atau syubhat ud-dalil yang menyatakan termasuk Islam, maka perintah
seorang khalifah untuk melakukannya, atau dia melakukannya sendiri, tetap tidak
bisa diklaim dengan hukum-hukum kufur, juga tidak boleh diklaim dengan status
menampakkan kekufuran yang nyata, sehingga tidak termasuk dalam pengecualian.
Oleh karena itu, tidak boleh memisahkan diri dengan alasan tersebut. Malah
tetap wajib memegang bai’at taat.
"Tentang sesuatu
apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (TQS.
Asy-Syuura: 10)
"Hai orang-orang
yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu
benar-benar mengimani Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (TQS. An-nisa [4]: 59)
Diriwayatkan dari Adi
bin Hatim: Saya mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak
di leherku. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Adi, lemparkanlah patung itu dari
lehermu.” Kemudian saya melemparkannya. Usai saya lakukan, Beliau membaca ayat
ini: Ittakhadzû ahbârahum wa ruhbânahum min
dûni Allâh, hingga selesai [QS. (9) at-Taubah: 31]. Saya berkata,
“Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.” Beliau bertanya, “Bukankah para
pendeta dan rahib itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian
mengharamkannya; menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu kalian
menghalalkannya.” Aku menjawab, “Memang begitulah.” Beliau bersabda, “Itulah
ibadah (penyembahan) mereka kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka.”
(HR. ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim).
“Kalian akan dipimpin
oleh para pemimpin yang memerintah kalian dengan hukum yang tidak kalian
ketahui (imani). Sebaliknya, mereka melakukan apa yang kalian ingkari. Sehingga
terhadap mereka ini tidak ada kewajiban bagi kalian untuk menaatinya.” (HR. Ibnu
Abi Syaibah).
“Wahai manusia,
bertakwalah kepada Allah. Jika diangkat amir (yang sah menurut hukum Islam)
atas kalian seorang hamba sahaya Habasyi yang hitam legam maka dengar dan
taatilah dia selama dia menegakkan di tengah kalian Kitabullah.” (HR.
at-Tirmidzi)
"Apakah kamu
tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa
yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka
hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari
thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya." (TQS. An-Nisaa': 60)
”Tidak boleh ada
ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR.
Ahmad dari Ali ra.)
“Sesungguhnya ketaatan
itu hanyalah dalam hal yang makruf.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud
dan an-Nasa’i)
"Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
(Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka
perselisihkan,..." (TQS. An-Nisaa': 65)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar