Wewenang Qadli Mazhalim - Mazholim Hakim Mahkamah Syariah Islam Tindak Kezaliman Penguasa
I. Wewenang Qadli Mazhalim
Qadli Mazhalim mempunyai wewenang untuk memberhentikan siapapun di antara pejabat (hakim) dan pegawai negeri, sebagaimana dia juga memiliki wewenang untuk memberhentikan khalifah.
Karena itu, qadli Mazhalim itu memiliki wewenang untuk memberhentikan para pejabat (hukkam). Di mana pejabat itu telah diangkat dengan akad pengangkatan; atau yang disebut juga dengan sebutan akad penyerahan (akdut taqliid). Karena khalifah-lah yang memiliki wewenang untuk memimpin, yaitu wewenang untuk memerintah sekaligus wewenang untuk melakukan akad penyerahan (akdut taqliid) atau pengangkatan. Sedangkan akad taqliid (penyerahan) itu merupakan akad, yang tidak akan dianggap sah selain dengan kata-kata yang tegas. Sedangkan pemberhentian terhadap pejabat yang diangkat oleh khalifah itu merupakan pencabutan terhadap akad tersebut, di mana khalifahlah yang secara pasti memilikinya. Karena Rasulullah-lah yang mengangkat para wali dan memberhentikannya, juga karena para khulafaur rasyidin-lah yang telah mengangkat para wali dan memberhentikan mereka. Maka, khalifah juga diperbolehkan untuk menunjuk wakilnya yang diangkat dengan wewenang untuk melakukan pengangkatan dan pemberhentian.
Hanya bedanya, mahkamah Mazhalim itu tidak memiliki wewenang untuk memberhentikan para pejabat (hukkam), dalam kapasitasnya sebagai wakil khalifah. Sebab, mahkamah itu tidak mewakili khalifah dalam pengangkatan dan pemberhentian, melainkan mewakilinya dalam menjatuhkan keputusan (vonis) terhadap perkara kedzaliman saja. Karena itu, apabila ada pejabat yang melakukan kedzaliman di daerahnya, maka mahkamah tersebut berhak menghilangkan kedzaliman itu, dengan kata lain mahkamah tersebut baru boleh memberhentikan pejabat ini --karena melakukan kedzaliman, bukan karena yang lain. Sehingga wewenangnya untuk memberhentikan para pejabat itu, bukan karena menjadi wakil khalifah, melainkan karena bertugas untuk menghilangkan kedzaliman tersebut. Karena itu, maka orang yang telah dijatuhi vonis untuk diberhentikan, dia akan diberhentikan. Sekalipun khalifah tidak ridla, karena pemberhentian terhadap pejabat dalam keadaan seperti itu merupakan vonis untuk menghilangkan kedzaliman (bukan karena mewakili khalifah). Dan keputusan ini bisa berlaku bagi semuanya, baik bagi khalifah sendiri maupun yang lain. Sehingga keputusan qadli Mazhalim tersebut merupakan keputusan (vonis) yang berlaku bagi semuanya.
Begitu pula wewenang qadli Mazhalim untuk memberhentikan khalifah itu adalah wewenang menjatuhkan vonis untuk menghilangkan kedzaliman. Sebab, kalau salah satu kondisi yang bisa menjadikan seorang khalifah diberhentikan atau kondisi yang menjadikannya wajib diberhentikan itu ada, maka kalau kondisi itu tetap ada itu merupakan suatu kedzaliman. Karena mahkamah Mazhalim-lah yang bertugas menjatuhkan vonis untuk menghilangkan kedzaliman tersebut, maka dialah yang bertugas memberhentikannya (agar kedzaliman itu hilang). Karena itu, sesungguhnya vonis mahkamah Mazhalim untuk memberhentikan khalifah itu hanyalah vonis untuk menghilangkan kedzaliman.
Oleh karena itu, mahkamah Mazhalim memiliki wewenang untuk memutuskan apapun bentuk kedzaliman itu. Baik, yang menyangkut aparat negara ataupun yang menyangkut penyimpangan khalifah terhadap hukum-hukum syara', atau yang menyangkut makna salah satu teks perundang-undangan dalam UUD dan UU yang lain, atau hukum-hukum syara' yang lain, yang sesuai dengan tabanni (adopsi) khalifah, atau yang menyangkut keharusan membayar salah satu bentuk pajak (dharibah), maupun yang lainnya.
Hal itu karena Rasulullah Saw. telah menolak penetapan harga (oleh negara) untuk jenis barang niaga, ketika diminta untuk melakukan hal itu oleh para sahabat, saat harga barang melonjak. Bahkan, beliau menganggap pematokan harga itu merupakan kedzaliman. Sebagaimana ketika beliau berpendapat tentang penentuan pejabat untuk menggilir orang-orang agar bisa minum dengan cara yang tidak haq itu adalah suatu kedzaliman. Karena itu, hadits tersebut menunjukkan bahwa apabila tindakan penguasa itu menyimpang dari ketentuan yang haq atau menyimpang dari hukum-hukum syara' maka tindakan itu merupakan tindak kedzaliman. Di mana, Rasulullah Saw. statusnya ketika itu adalah sebagai penguasa kaum muslimin serta kepala negara mereka.
Demikian halnya dengan tugas-tugas instansi yang dilakukan oleh orang (aparat) tertentu. Apabila tindakan aparat itu menyimpang dari ketentuan yang haq ataupun bertentangan dengan hukum-hukum syara', maka tindakan aparat itu dinilai sebagai tindak kedzaliman (atau masuk dalam katagori perkara yang harus ditangani mahkamah Mazhalim). Karena aparat tersebut adalah wakil khalifah dalam melaksanakan tugas yang telah dibebankan oleh khalifah kepada instansi yang bersangkutan.
Dengan demikian, hadits tentang pematokan harga itu sebenarnya bisa dipergunakan sebagai dalil, bahwa penyimpangan (penyelewengan) yang dilakukan oleh khalifah itu merupakan perkara kedzaliman. Di mana mahkamah Mazhalim-lah yang berhak untuk menjatuhkan vonis (keputusan) terhadap kedzaliman-kedzaliman tersebut.
Sedangkan tentang wewenang untuk memberikan keputusan terhadap salah satu teks UUD dan UU itu adalah karena realitas UUD dan UU tersebut merupakan perintah penguasa, maka memberikan keputusan dalam perkara itu berarti memberikan keputusan terhadap perintah seorang penguasa. Sehingga memberikan keputusan dalam perkara itu termasuk makna yang ada dalam hadits pematokan harga di atas. Karena keputusan tersebut merupakan keputusan terhadap tindakan khalifah. Di samping itu, Allah SWT. juga menyatakan:
"Apabila kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah SWT. dan Rasul."
Artinya adalah, apabila kalian berselisih dalam suatu perkara dengan para penguasa.
Sedangkan berselisih dalam suatu perkara yang menyangkut salah satu pasal UUD dan UU itu semata-mata merupakan perselisihan antara rakyat dengan salah seorang penguasa, sehingga perkara itu harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan mengembalikan perkara itu kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mengembalikan perkara itu kepada mahkamah Mazhalim, atau keputusan Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan wewenang qadli Mazhalim dalam memberikan keputusan tentang kewajiban membayar salah satu bentuk pajak itu diambil dari sabda Rasulullah Saw.:
"Siapa saja yang hartanya pernah aku ambil, inilah hartaku. Silahkan ambil."
"Karena aku betul-betul ingin menghadap kepada Allah SWT. sementara tidak ada seorang pun yang menuntutku karena salah satu kedzaliman yang telah aku lakukan kepadanya, baik dalam masalah darah (pidana) maupun harta."
Sehingga, pungutan yang dilakukan oleh khalifah terhadap rakyat dengan cara yang tidak haq itu jelas merupakan tindak kedzaliman. Begitu pula pungutan harta yang tidak diwajibkan oleh syara' kepada rakyat itu juga merupakan tindak kedzaliman. Oleh karena itu, mahkamah Mazhalim memiliki wewenang untuk memberikan keputusan tentang pajak. Karena harta itu merupakan harta yang diambil dari rakyat.
Sedangkan penjatuhan vonis (keputusan) tentang pajak-pajak itu semata-mata hanyalah agar mahkamah Mazhalim itu tahu, apakah harta yang diambil itu merupakan harta yang telah diwajibkan oleh syara' bagi kaum muslimin, semisal harta yang dipungut untuk mencukupi makan fakir miskin, maka pungutan tersebut jelas bukan merupakan tindak kedzaliman. Atau yang tidak diwajibkan oleh syara' bagi mereka, semisal harta yang dipungut untuk membangun bendungan air yang tidak terlalu dibutuhkan, maka pungutan sejenis itu merupakan tindak kedzaliman, sehingga wajib dihilangkan. Karena itulah, maka mahkamah Mazhalim diperbolehkan untuk memutuskan perkara yang menyangkut masalah pajak.
Dalam menjatuhkan vonis terhadap tindak kedzaliman tersebut tidak membutuhkan ruang sidang pengadilan, termasuk dakwaan terhadap terdakwa beserta adanya seorang penuntut. Akan tetapi, mahkamah Mazhalim itu memiliki wewenang untuk menjatuhkan vonis sekalipun tanpa adanya seorang penuntut pun, yang menuntutnya.
Karena dalil tentang keharusan adanya ruang sidang pengadilan untuk memutuskan perkara itu tidak berlaku bagi mahkamah Mazhalim sebab tidak adanya penuntut, juga karena tidak membutuhkan seorang untuk menjadi penuntut. Sehingga mahkamah tersebut bisa menjatuhkan vonis dalam perkara kedzaliman sekalipun tanpa seorang penuntut pun. Atau karena memang tidak begitu urgen datang atau tidaknya terdakwa, sebab mahkamah ini bisa saja menjatuhkan vonis tanpa membutuhkan kehadiran terdakwa. Karena mahkamah ini senantiasa menangani perkara kedzaliman itu dengan teliti (sekalipun tanpa adanya penuntut), sehingga dalil keharusan adanya ruang sidang pengadilan itu tidak bisa diberlakukan bagi mahkamah ini. Yaitu sabda Rasulullah Saw.:
"Bahwa dua orang yang bersengketa itu harus didudukkan di hadapan hakim (ruang pengadilan)."
"...apabila di hadapanmu ada dua orang yang bersengketa."
Oleh karena itu, mahkamah Mazhalim bisa menjatuhkan vonis dalam perkara kedzaliman begitu perkara itu terjadi, tanpa membutuhkan syarat apapun, baik menyangkut tempat, waktu, ruang sidang pengadilan maupun syarat-syarat yang lain.
Hanya saja dengan melihat kedudukan mahkamah ini, dilihat dari aspek wewenang-wewenangnya, maka hal-hal yang bisa menciptakan kewibawaan dan kehormatan itu tetap harus dijaga. Ketika kesultanan (kekhalifahan) itu di Mesir dan Syam, maka majelis sultan yang bertugas menjatuhkan keputusan (vonis) dalam perkara kedzaliman ini disebut dengan sebutan Darul Adli. Di mana ada sejumlah wakil yang diangkat untuk mewakili sultan di dalam majelis itu, kemudian di sana juga dihadirkan para qadli dan ahli fikih. Al Muqrizi di dalam bukunya yang berjudul: As Suluk Ila Ma'rifatil Muluk itu menyatakan, bahwa sultan Al Malik As Shalih Ayub pernah mengangkat para wakilnya untuk duduk dalam majelis Darul Adli itu. Di mana para wakil itu bertugas untuk menghilangkan perkara kedzaliman. Dan bersama mereka terdapat para saksi, qadli dan ahli fikih. Jadi, hukum membuatkan gedung yang megah bagi mahkamah Mazhalim itu hukumnya mubah saja, karena itu merupakan tindakan yang dimubahkan. Lebih-lebih kalau gedung itu bisa menumbuhkan wibawa dan kehormatan bagi lembaga yang bersangkutan.
Wewenang Qadli Mazhalim - Wewenang Qadhi Madzalim - Mazhalim Hakim Mahkamah Syariah Islam Tindak Kezaliman Penguasa
Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm Islam - Hizb ut-Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar