Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 22 Juni 2011

Wewenang Lembaga Perwakilan Rakyat Negara - Dalil Wewenang Majelis Umat


Wewenang Lembaga Perwakilan Rakyat Negara - Dalil Wewenang Majelis Umat


E. Wewenang Majelis Umat

Majelis umat memiliki empat wewenang sebagai berikut:

1.1. Semua yang termasuk dalam katagori kata masyurah, yaitu yang menyangkut semua urusan dalam negeri, maka pendapat majelis umat dalam urusan tersebut wajib diambil oleh khalifah. Semisal urusan pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sebagainya. Dalam hal ini, pendapat majelis umat bersifat mengikat. Sedangkan yang tidak termasuk dalam katagori masyurah tersebut, maka pendapat majelis umat itu tidak harus diambil. Sehingga pendapat majelis umat dalam masalah politik luar negeri, keuangan serta harta yang lain (maliyah) dan masalah militer itu tidak wajib diambil.

1.2. Majelis umat memiliki hak untuk mengoreksi semua tindakan yang dilakukan negara, baik urusan dalam dan luar negeri, maupun urusan maliyah dan militer. Dalam hal ini pendapat majelis umat bersifat mengikat, kalau suara (majelis) secara mayoritas bersifat mengikat dan begitu pula sebaliknya. Kalau suara secara mayoritas tidak bersifat mengikat, maka dalam hal ini pendapat majelis umat itu tidak bersifat mengikat. Kalau terjadi perbedaan sikap, antara majelis umat dengan penguasa terhadap suatu tindakan menurut kaca mata syara', maka dalam hal ini akan diserahkan kepada mahkamah madzalim.

2. Majelis umat berhak untuk menampakkan ketidaksukaannya kepada para wali (pimpinan daerah tingkat I) dan mu'awin. Dalam hal ini pendapat majelis umat bersifat mengikat. Dan bagi seorang khalifah seketika itu harus memberhentikan mereka.

3. Khalifah harus menyerahkan rancangan hukum yang ingin ditabanninya dalam undang-undang dasar atau perundang-undangan yang lain kepada majelis umat. Kaum muslimin yang menjadi anggota majelis umat itu berhak untuk membahasnya serta memberi masukan, hanya saja pendapat mereka dalam hal ini tidak bersifat mengikat.

Sebagaimana setiap anggota majelis umat itu berhak untuk mengusulkan tabanni terhadap suatu hukum, serta rancangan suatu undang-undang. Hanya saja, semuanya itu tidak bersifat mengikat bagi khalifah, sekalipun majelis umat telah menetapkan usulan tersebut.

4. Kaum muslimin yang menjadi anggota majelis umat, berhak untuk membatasi calon yang akan menjadi khalifah. Dalam hal ini, suara mereka bersifat mengikat, sehingga tidak bisa diterima calon yang lain, selain yang dicalonkan oleh majelis tersebut.

Wewenang majelis umat di atas, meliputi empat point. Sedangkan point pertama dari point-point tersebut meliputi dua pokok pikiran. Adapun dalil tentang point 1.1. di atas adalah firman Allah SWT.:

"Dan bermusyawarahlah kalian dengan mereka dalam suatu urusan." (Quran Surat Ali Imran: 159)

"Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka." (Quran Surat As Syura: 38)

Di mana Allah menjadikan perintah syura (musyawarah) dalam berbagai hal, dengan dalil firman-Nya: "Al Amri" yang merupakan isim jinis (kata yang menunjukkan arti semua jenis urusan) yang disertai dengan alif dan lam (al) dan firman-Nya: "Amruhum" juga merupakan isim jinis yang mudlaf (disambung, yaitu antara kata "amru" dengan kata "hum") maka dua-duanya merupakan alfadzul umum (kata yang maknanya umum).

Hanya saja, musyawarah ini semata-mata hanya dalam persoalan mubah. Maka, ini merupakan indikasi bahwa musyawarah itu hukumnya sunnah (mandub), bukan wajib. Sehingga khalifah tidak harus merujuk kepada majelis ummat dalam segala hal.

Akan tetapi, ketika pendapat yang disampaikan dalam musyawarah tersebut ada yang berupa pendapat yang bersifat mengikat dan tidak mengikat, maka khalifah wajib mengambil pendapat majelis umat yang bersifat mengikat. Dan sebaliknya, khalifah tidak harus mengambil pendapat majelis umat yang tidak bersifat mengikat. Di mana masing-masing persoalan itu sebenarnya semata-mata dikembalikan kepada pertama, fakta tentang majelis umat serta kedua, fakta pendapat-pendapat yang ada di muka bumi. Setelah memahami kedua fakta itu, maka kemudian merujuk kepada Al Kitab dan As Sunnah agar bisa mengaplikasikan dalil-dalil yang ada di dalamnya terhadap fakta-fakta tersebut.

Tentang fakta majelis umat, bahwa majelis umat itu esensinya adalah wakil semua orang dalam menyampaikan pendapat. Sehingga, dalam persoalan-persoalan yang di situ bisa mengambil pendapat orang, maka pendapat majelis umat itu bisa diambil. Sehingga fakta majelis umat bisa termasuk dalam katagori hukum wakalah, di mana di antara akad wakalah itu, ada akad wakalah dalam menyampaikan pendapat.

Sedangkan fakta tentang pendapat-pendapat yang ada di muka bumi itu bisa dipilah menjadi empat:
1. Pendapat tentang masalah tasyri' (penentuan  aturan hukum syara').
2. Pendapat tentang definisi-definisi, baik yang syar'i maupun tidak syar'i.
3. Pendapat tentang pemikiran yang membutuhkan penelitian dan kejelian, serta pemikiran yang bersifat empiris, yang membutuhkan keahlian tertentu.
4. Pendapat yang berhubungan dengan kegiatan operasional yang tidak membutuhkan penelitian dan kejelian.

Dengan merujuk kepada dalil-dalil syara' yang cocok untuk beberapa pendapat itu, maka kita akan menemukan bahwa Rasulullah Saw. betul-betul menolak suara mayoritas dalam masalah tasyri'. Di mana beliau semata-mata hanya terikat dengan wahyu yang diturunkan oleh Allah. Dengan kata lain, dalam hal ini beliau selalu terikat dengan hukum syara'. Kejadian ini terjadi pada saat perjanjian Hudaibiyah, ketika beliau menolak semua pendapat kaum muslimin dengan bersabda:

"Sesungguhnya aku ini hamba Allah dan Rasul-Nya, dan aku tidak akan menyimpang dari perintah-Nya."

Kita juga tahu, bahwa Rasulullah Saw. pernah hanya mengambil satu pendapat, bahkan beliau meninggalkan pendapatnya sendiri, termasuk pendapat seluruh kaum muslimin. Yaitu pada saat perang Badar, ketika beliau hendak menempati suatu tempat yang berada di bawah air atau danau di daerah Badar, kemudian Hubab Bin Mundir tidak setuju dengan tempat tersebut. Lalu dia bertanya kepada Rasul: "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang tempat ini, apakah ini merupakan tempat yang telah ditetapkan untukmu oleh Allah, sehingga kami tidak boleh maju dan mundur dari sini, ataukah ini hanya merupakan pendapat biasa, pendapat tentang perang dan strategi?" Beliau kemudian menjawab: "Tidak, ia hanya merupakan pendapat biasa, pendapat tentang perang dan strategi?" Hubab lalu menyampaikan pendapatnya: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini bukan tempat yang tepat." Kemudian dia menunjukkan suatu tempat, maka tidak lama kemudian Rasulullah beserta sahabat yang lain berdiri, lalu mengikuti pendapat Hubab tersebut.

Dalam dua kasus ini, pendapat orang-orang tidak memiliki nilai sedikitpun untuk menetapkannya. Ini menunjukkan, bahwa dalam persoalan tasyri' pendapat orang-orang itu tidak akan diambil, begitu pula tidak akan mengambil pendapat mereka dalam hukum syara' maupun yang sejenisnya, seperti definisi-definisi syar'i. Demikian pula yang termasuk dalam persoalan  "ar ra'yu, wal harb wal makidah", yaitu pemikiran yang membutuhkan penelitian dan kejelian serta masalah-masalah empiris yang membutuhkan keahlian, maka dalam persoalan tersebut pendapat orang-orang itu tidak akan diambil (dipakai). Termasuk dalam persoalan yang sejenis, yaitu definisi-definisi yang tidak syar'i. Karena itu dalam masalah pemungutan dan pendistribusian harta (amwal), pendapat orang-orang itu tidak akan diambil. Karena syara' telah menentukan jenis-jenis harta yang harus dipungut. Termasuk syara' juga telah menentukan kapan saatnya pajak diwajibkan. Syara' juga telah menentukan kepada siapa saja harta tersebut harus didistribusikan. Kesemuanya itu harus sesuai dengan hukum syara'.

Karena dalam masalah yang telah ditetapkan oleh syara', pendapat orang-orang itu tidak akan diambil, maka pendapat majelis umat dalam masalah maliyah (kekayaan) itu juga tidak wajib diambil. Begitu pula   dalam masalah militer. Sebab syara' telah menjadikan kesemuanya itu sebagai wewenang khalifah. Di samping karena syara' telah menentukan hukum-hukum jihad. Pendapat orang-orang itu juga tidak akan diambil dalam masalah yang telah ditetapkan oleh syara', termasuk pendapat mereka tentang hubungan negara Islam dengan negara-negara lain. Karena kesemuanya itu merupakan pemikiran yang membutuhkan penelitian dan kejelian. Sebab ia merupakan masalah yang termasuk dalam katagori  "ar ra'yu, wal harb wal makidah". Oleh karena itu, dalam masalah politik luar negeri, maliyah (harta) dan militer, pendapat majelis umat itu tidak akan diambil. Sebab pendapat majelis umat dalam hal ini tidak bersifat mengikat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sikap Rasulullah pada kasus Hudaibiyah dan Badar. Sehingga khalifah tidak harus merujuk kepada majelis umat dalam persoalan-persoalan tersebut.

Adapun dalil tentang wewenang majelis umat pada poin 1.1. di atas yang lain adalah bahwa Rasulullah Saw. telah mengambil suara mayoritas dalam perang Uhud, bahkan beliau meninggalkan pendapatnya sendiri serta pendapat para sahabat senior. Sehingga beliau keluar untuk menyongsong musuh di luar Madinah. Di mana pendapat tersebut merupakan pendapat mayoritas kaum muslimin. Dan pendapat beliau sendiri justru tidak keluar untuk menyongsong mereka di luar Madinah. Sikap beliau itu menunjukkan bahwa dalam kasus seperti perang Uhud beliau merujuk kepada suara kaum muslimin, serta terikat dengan pendapat mereka. Hal ini berkaitan dengan kegiatan operasional yang tidak membutuhkan penelitian dan kejelian.

Hanya saja, bahwa pendapat-pendapat tersebut semata-mata mencakup empat persoalan, sedangkan dalam tiga persoalan di antaranya tidak mengambil pendapat kaum muslimin, maka ini menjadi dalil bahwa tidak ada persoalan yang tersisa --dari keempat persoalan itu-- selain satu persoalan. Yaitu persoalan yang telah diambil Rasulullah dengan suara mayoritas. Dan inilah yang dijelaskan oleh sabda beliau kepada Abu Bakar dan Umar:

"Kalau kalian berdua telah sepakat dalam persoalan "masyu-ra", maka janganlah persoalan itu menyebabkan kalian berbeda."

Hadits ini menunjukkan masalah selain hukum-hukum syara', definisi dan pemikiran yang membutuhkan penelitian dan kejelian, serta masalah empiris. Maksudnya, janganlah kalian berbeda dalam pendapat-pendapat yang menunjukkan kegiatan operasional. Oleh karena itu, khalifah harus merujuk kepada majelis umat dalam semua pendapat yang menunjukkan pelaksanaan suatu kegiatan.

Sehingga dalam masalah pemerintahan, pendidikan, serta masalah-masalah mubah yang belum ditetapkan oleh syara' seperti masalah politik dalam negeri, maka khalifah harus merujuk kepada pendapat majelis umat. Sementara dalam masalah yang tidak termasuk dalam katagori "ar ra'yu wal harbu wal makidah" serta bukan termasuk masalah yang telah ditetapkan dan dijelaskan oleh hukum syara', maka khalifah harus menyampaikannya dan merujuk kepada majelis umat serta melaksanakannya berdasarkan suara mayoritas.

Adapun dalil point 1.2. di atas adalah berdasarkan keumuman makna nash yang menjelaskan tentang tindakan muhasabah lil hukkam (mengoreksi para penguasa). Hadits At Tabrani dari Ubadah, yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

"Akan ada setelah masaku, orang-orang (yang akan memimpin) urusan kalian, di mana mereka mengakui perbuatan munkar kalian dan menolak kema'rufan kalian. Maka, tidak ada ketaatan sedikit pun kepada siapa saja yang berbuat maksiat."

Dari Abi Syiibah, dari hadits Ubadah:

"Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang memerintahkan kepada kalian sesuatu yang tidak baik serta melaksanakan sesuatu yang munkar. Maka, kalian tidak boleh taat kepada mereka."

Ada riwayat lain dari beliau, yang menyatakan:

"Sebaik-baik jihad menurut Allah adalah (menyampaikan) kata-kata yang haq di hadapan penguasa yang dzalim."

"Penghulu para syuhada' (orang yang mati syahid) adalah Hamzah, termasuk orang yang berdiri di hadapan penguasa yang dzolim, kemudian menasihatinya."

"Ingatlah, siapa saja yang diperintah oleh seorang pemimpin, lalu melihatnya melakukan suatu kemaksiatan, maka hendaknya dia membenci kemaksiatanya kepada Allah saja. Dan hendaknya dia tidak mencabut tangan dari keta'atan."

Dari Ummi Salamah, yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

"Akan ada para pemimpin, lalu kalian mengetahui kema'rufan dan kemunkarannya. Maka, siapa saja yang mengikuti suatu kema'rufan, dia akan bebas. Dan siapa saja yang menolak yang munkar, dia akan selamat. Namun siapa yang rela dan mengikutinya, (maka akan celaka)."

Nash-nash hadits di atas secara umum menunjukkan, bahwa mengoreksi penguasa (pejabat) berlaku dalam segala tindakan. Baik tindakan yang menyangkut politik dalam negeri maupun politik luar negeri. Rasulullah Saw. ketika dikoreksi oleh para sahabat pada saat perjanjian Hudaibiyah, ketika mereka semua menolak perjanjian itu, maka Rasulullah tidak melarang mereka untuk melakukan koreksi, hanya kemudian beliau menolak pendapat mereka. Dan penolakan beliau terhadap mereka --karena mereka tidak mentaati beliau dalam masalah perjanjian itu-- karena ia adalah wahyu. Karena itulah, maka beliau menolaknya. Sebab yang telah beliau lakukan adalah bersumber dari wahyu.

Nabi tidak pernah menolak terhadap koreksi yang mereka lakukan kepada beliau. Hubab Bin Mundir pernah mengoreksi beliau, ketika beliau memilih tempat di bawah danau pada saat perang Badar, sembari berkata: "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang tempat ini, apakah ini merupakan tempat yang telah ditetapkan untukmu oleh Allah, sehingga kami tidak boleh maju dan mundur dari sini, ataukah ini hanya merupakan pendapat biasa, pendapat tentang perang dan strategi?" Beliau kemudian menjawab: "Tidak, ia hanya merupakan pendapat biasa, pendapat tentang perang dan strategi?" Hubab lalu menyampaikan pendapat: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini bukan tempat yang tepat." Kemudian dia menunjukkan suatu tempat. Beliau pun tidak menolaknya, justru malah mengikuti pendapatnya.

Ini menunjukkan, bahwa muhasabah itu bisa dilakukan terhadap tindakan secara umum, yang bisa menyangkut semua tindakan. Baik tindakan yang berhubungan dengan masalah politik dalam negeri, ataupun yang berhubungan dengan tindakan-tindakan lain, seperti masalah harta, militer, politik luar negeri dan hal-hal yang serupa.

Dalam hal ini ada perbedaan antara mengambil pendapat dengan mengoreksi (muhasabah). Khalifah tidak harus mengambil pendapat, selain pendapat-pendapat yang bersifat mengikat, yaitu kalau suara mayoritas bersifat mengikat. Sedangkan muhasabah, bisa dilakukan terhadap semua tindakan. Hanya bedanya, sekalipun muhasabah itu bersifat umum, khalifah tidak harus mengikuti pendapat orang yang mengoreksinya, selain kalau suara mayoritas bersifat mengikat. Karena kalau suara mayoritas bersifat tidak mengikat, maka khalifah juga tidak harus mengikuti suara mayoritas. Oleh karena itu, beliau tidak mengikuti suara kaum muslimin pada saat perjanjian Hudaibiyah. Sementara beliau mengikuti pendapat Hubab pada saat perang Badar. Masing-masing pendapat ini merupakan pendapat yang bersifat tidak mengikat, sehingga khalifah boleh untuk mengikuti suara mayoritas ketika dikoreksi dan boleh juga tidak mengikutinya.

Dan tidak boleh dikatakan; kalau begitu apa gunanya melakukan muhasabah, jika kemudian muhasabah tidak bisa memaksa untuk melakukan tindakan tertentu. Tidak bisa dinyatakan demikian, sebab muhasabah itu sendiri merupakan hukum syara' yang harus dilaksanakan, dan hukumnya adalah fardhu kifayah. Di samping itu, fakta muhasabah itu adalah untuk menyampaikan dan menjelaskan suatu pendapat serta untuk membentuk opini umum. Bahkan kalau sudah terbentuk opini umum, ia lebih kuat daripada pasukan apapun dan umumnya lebih ditakuti oleh para penguasa (pejabat). Karena itu, inilah sebenarnya fungsi yang paling besar.

Kadang-kadang para pengoreksi itu bisa saja berbeda sikap dengan para penguasa dalam suatu hal dari kacamata syara', maka dalam keadaan seperti itu, harus dikembalikan kepada pengadilan madzalim. Berdasarkan firman Allah SWT.:

"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, serta ulil amri (para pemimpin) di antara kalian. Bila kalian bersengketa dalam suatu urusan, maka kembalikanlah urusan itu kepada Allah dan Rasul-Nya." (Quran Surat An Nisa': 59)

Kalau kalian, wahai umat Islam, bersengketa dengan para pemimpin tersebut dalam suatu urusan, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, maksudnya berhukumlah kalian kepada syara'. Makna berhukum kepada syara', adalah menyerahkan kepada pengadilan. Karena itu, akan diserahkan kepada mahkamah madhalim.

Adapun dalil tentang point 2 di atas adalah, bahwa Rasulullah Saw. pernah memberhentikan Ila' Al Hadhrami, amil beliau di Bahrain. Karena ada delegasi Abdu Qais mengadukannya kepada beliau. Begitu pula Umar pernah memberhentikan Sa'ad Bin Abi Waqqas dari jabatannya sebagai wali padahal hanya karena beliau mendapat pengaduan. Beliau berkata: "Aku tidak memberhentikannya karena dia lemah, juga bukan karena dia khianat." Di mana ketika itu tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Padahal tindakan tersebut seharusnya diingkari. Sehingga, karena tidak ada yang mengingkarinya, maka ia telah menjadi ijma' sukuti bahwa penduduk suatu daerah itu boleh untuk menunjukkan kebenciannya kepada pimpinan daerah mereka. Dan pada saat itu, khalifah harus segera memberhentikannya. Begitu pula majelis umat --sebab dia merupakan wakil dari semua daerah-- boleh juga menunjukkan ketidaksukaannya terhadap para wali. Dan ketika itu, khalifah harus mengoreksinya.

Adapun dalil point 3 di atas adalah, bahwa sekalipun hal-hal di atas bersifat tidak mengikat bagi khalifah untuk merujuk kepada majelis umat, karena pendapat tersebut tidak bersifat mengikat. Namun, apa yang telah dilakukan oleh Umar Bin Khattab dengan cara merujuk kepada kaum muslimin dalam masalah hukum-hukum syara', lalu para sahabat tidak ada yang mengingkarinya, maka ini telah menjadi dalil bahwa dalam pembuatan undang-undang, seorang khalifah harus menyampaikannya kepada majelis umat.

Telah diriwayatkan, bahwa Umar Bin Khattab ra. pernah meminta pendapat orang-orang tentang status tanah Sawad, ketika tanah tersebut telah berhasil ditaklukkan. Mayoritas di antara mereka berpendapat agar tanah tersebut dibagi. Beliau juga meminta pendapat kaum Muhajirin yang senior dan mereka berpendapat beda. Lalu beliau mengumpulkan 10 orang Muhajirin, 5 orang Aus dan 5 lagi dari Khazraj. Setelah beradu argumentasi, mereka semuanya berpendapat seperti pendapatnya Umar, yaitu tidak membagi tanah tersebut.

Begitu pula, ada riwayat bahwa Umar pernah merujuk kepada kaum muslimin untuk menanyakan tentang hukum suatu masalah. Dalam kesempatan lain, beliau pernah mengumpulkan kaum muslimin untuk menanyakan kepada mereka tentang hukum Allah dalam masalah-masalah tertentu. Dan para sahabat pada saat itu ikut menyaksikan kejadian ini, bahkan mereka berbondong-bondong mendatangi masjid untuk memberikan pendapat mereka. Padahal mereka semuanya tahu, bahwa Umar itu adalah seorang mujtahid. Sedangkan seorang mujtahid untuk mengetahui hukum-hukum syara' hanya akan merujuk kepada dalil-dalil syara', bukan merujuk kepada pendapat kaum muslimin. Kalau seandainya upaya beliau untuk merujuk kepada kaum muslimin bukan merupakan sesuatu yang diperintahkan, niscaya mereka akan mengingkarinya. Bahkan, keikutsertaan mereka itu juga menunjukkan adanya ijma' (kesepakatan) bahwa khalifah memiliki wewenang untuk merujuk kepada kaum muslimin dalam rangka menanyakan hukum Allah. Maka, salah satu wewenang anggota majelis umat yang muslim itu adalah memberikan pendapat dalam masalah perundang-undangan. Hanya saja, pendapat mereka itu tidak bersifat mengikat. Sebab, hukum syara' hanya dikembalikan kepada dalil yang paling kuat.

Sedangkan anggota majelis umat yang non muslim itu, tidak berhak sama sekali untuk menyampaikan pendapat dalam pembuatan undang-undang, karena mereka tidak beriman kepada Islam. Di samping itu karena hak mereka hanya menyampaikan pendapat, bukan bermusyawarah. Sebab bermusyawarah itu semata-mata hanya hak bagi kaum muslimin, berdasarkan firman Allah SWT.:  "Dan bermusyawarahlah kalian dengan mereka." (Quran Surat Ali Imran: 159) yaitu dengan kaum kaum muslimin.

Adapun dalil point 4 di atas adalah, bahwa kaum muslimin telah meminta kepada Umar ketika beliau terluka akibat tikaman, karena tidak ada lagi harapan untuk terus hidup. Agar beliau menunjuk pengganti, namun beliau tidak menghiraukannya. Lalu mereka mengulanginya lagi, hingga akhirnya beliau menunjuk penggantinya 6 orang. Maka, kasus ini telah menjadi ijma' sukuti di mana ia merupakan suatu dalil, bahwa kaum muslimin yang menjadi anggota majelis umat berhak untuk membatasi para calon yang akan menduduki kekhilafahan. Dalam hal ini pendapat mereka bersifat mengikat. Sebagai bukti adalah apa yang dilakukan Umar, di mana beliau telah mewakilkan kepada 50 orang untuk mengawal keenam orang tersebut. Bahkan, beliau memerintah agar membunuh di antara mereka yang tidak sependapat. Beliau juga memberi batas toleransi waktu selama 3 hari. Hal ini bisa difahami, sebagai sesuatu yang bersifat mengikat. Sedangkan tentang orang non muslim itu, maka jelas mereka itu tidak berhak untuk membatasi para calon. Karena bai'at hanya khusus bagi kaum muslimin.

Wewenang Lembaga Perwakilan Rakyat Negara - Dalil Wewenang Majelis Umat
 Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm Islam - Hizb ut-Tahrir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam