Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 12 Juni 2011

Klasifikasi Pasukan Tentara - Pembagian Angkatan Bersenjata


 Klasifikasi Pasukan Tentara - Pembagian Angkatan Bersenjata

 

A. Klasifikasi Pasukan

Pasukan bisa diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Pertama, pasukan reguler, yaitu setiap orang Islam yang mampu mengangkat senjata untuk berperang. Kedua, pasukan tetap, yaitu para prajurit yang telah ditetapkan gajinya dalam anggaran belanja negara sebagaimana pegawai negeri yang lain.

Klasifikasi di atas lahir dari kewajiban berjihad. Di mana setiap muslim wajib berjihad serta wajib untuk berlatih dalam rangka menghadapi jihad. Oleh karena itu, setiap muslim sesungguhnya merupakan pasukan reguler, sebab jihad hukumnya adalah wajib bagi mereka. Sedangkan adanya pasukan tetap tersebut merupakan klasifikasi yang didasarkan pada sebuah dalil, yaitu kaidah syara':

"Apabila suatu kewajiban tidak terlaksana, kecuali dengan suatu perbuatan, maka perbuatan itu hukumnya menjadi wajib."

Karena tidak akan mungkin bisa melaksanakan kefardluan jihad serta menjaga kecemerlangan Islam dan kehormatan kaum muslimin dari kaum kafir, secara terus-menerus kecuali dengan adanya pasukan tetap. Oleh karena itu, hukumnya fardlu bagi seorang imam (khalifah) untuk membentuk pasukan tetap.

Sedangkan masalah gaji yang telah ditetapkan untuk para prajurit (dalam suatu pasukan) yang berkaitan dengan orang-orang non muslim statusnya sama seperti gaji para pegawai negeri, adalah masalah yang jelas sekali. Sebab,  orang kafir tidak diperintah berjihad namun kalau sendainya mereka melaksanakan perintah jihad itu, maka mereka tetap diterima. Dalam kondisi seperti itulah mereka boleh digaji atau diberi upah dari bagian orang-orang mu'allaf (yang imannya masih lemah). Hal ini berdasarkan riwayat Az Zuhri:

"Bahwa Rasulullah Saw. pernah meminta bantuan kepada orang-orang Yahudi di dalam salah satu peperangan beliau. Beliau kemudian memberi mereka bagian (dari rampasan perang)."

"Bahwa Shofyan Bin Umayyah keluar bersama Nabi Saw. saat perang Khaibar, padahal dia ketika itu masih kafir (musyrik), beliau lalu memberinya bagian dari orang yang mu'allafati qulubuhum (imannya lemah)."

"Bahwa Qusman pernah keluar bersama para sahabat Rasulullah Saw. dalam perang Uhud, padahal ketika itu dia masih kafir (musyrik). Dia lalu berhasil membunuh tiga orang dari Bani Abdi Dar yang membawa panji kaum musyrikin, sampai Nabi bersabda: "Allah benar-benar telah memenangkan agama-Nya ini dengan orang-orang yang fajir (kafir)."

Dalil-dalil ini menunjukkan kebolehan adanya orang-orang kafir dalam pasukan Islam, termasuk mereka harus diberi upah, sebab mereka berada di dalam pasukan tersebut. Di samping itu, definisi ijarah (kontrak kerja) bisa berlaku untuk semua jenis manfaat (tenaga atau jasa) yang diberikan oleh pemberi manfaat (ajir) kepada pemanfaat tenaga atau jasa (musta'jir) tersebut. Oleh karena itu, akad ijarah juga bisa diberlakukan pada akad untuk menjadi prajurit serta akad untuk berperang, karena baik untuk menjadi prajurit maupun ikut berperang itu, merupakan tenaga atau jasa. Sehingga keumuman dalil ijarah yang meliputi semua jenis jasa atau kerja itu merupakan dalil tentang kebolehan mengontrak tenaga atau jasa orang-orang kafir untuk menjadi prajurit atau untuk berperang.

Inilah hukum yang menyangkut orang-orang non Islam (yang menjadi prajurit dalam pasukan Islam). Sedangkan hukum yang berhubungan dengan mengontrak orang-orang Islam, baik untuk menjadi prajurit maupun untuk berperang, sekalipun kenyataannya jihad merupakan salah satu ibadah bagi mereka maka hukumnya adalah mubah. Karena mengadakan akad ijarah untuk melaksanakan ibadah --sekalipun manfaat yang diberikan berupa hal-hal yang bisa menyakiti pelakunya, seperti berperang-- hukumnya adalah jaiz (mubah). Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:

"Sesungguhnya manfaat yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah (mengajarkan) kitabullah (Al Qur'an)."

Mengajarkan Al Qur'an statusnya adalah ibadah. Maka, sebagaimana statusnya mengontrak jasa atau tenaga orang Islam baik untuk mengajarkan Al Qur'an atau menjadi imam, ataupun menjadi mu'adzin adalah ibadah --padahal diperbolehkan mengontrak tenaga atau jasa orang Islam untuk melaksanakan ibadah tersebut. Karena itu, hukumnya juga mubah mengontrak jasa atau tenaga orang Islam untuk berjihad dan menjadi prajurit.

Bahkan, diperbolehkan mengontrak tenaga atau jasa kaum muslimin untuk malaksanakan jihad, sehingga orang-orang yang melakukan jihad itu menjadi jelas. Dalilnya adalah sebuah hadits yang menyatakan dengan gamblang; Abu Dawud meriwayatkan dari Abdullah Bin Umar yang mengatakan bahwa Nabi Saw. bersabda:

"Bagi Al Ghazi akan memperoleh pahalanya, dan bagi Al Ja'il akan memperoleh upahnya."

Al Ghazi adalah orang yang berperang karena motivasi dari dirinya sendiri (bukan karena ingin memperoleh upah). Sedangkan Al Ja'il adalah orang yang berperang karena digaji oleh orang lain. Di dalam kamus Al Muhith dinyatakan: "Al Ju'aalah (upah) bisa dibagi menjadi tiga, yaitu upah yang diberikan karena kerjanya, atau sesuatu yang saling mereka bagi di antara mereka dan upah yang diberikan kepada Al Ghazi, kalau dia berperang karena upah dari dirimu."

Kata al ajru kadang dipergunakan untuk al ujrah (upah) dan al ajri (pahala). Sedangkan apa yang sudah populer, bahwa al ajru adalah pahala yang telah diberikan oleh Allah SWT. kepada manusia karena amal shalihnya; dan al ujrah adalah upah yang diberikan oleh pemanfaat tenaga dan jasa karena kerja seseorang sehingga dia disebut al ajiir, itu merupakan sesuatu yang sangat masyhur dan tidak perlu dalil lagi, tetapi cukup berdasarkan apa yang telah jelaskan oleh makna bahasa saja. Di mana kata al ajru itu maknanya adalah imbalan yang diberikan karena amal (kerja) seseorang. Dalam kamus Al Muhith dinyatakan: "Al Ajru adalah imbalan yang diberikan karena amal seseorang, sebagaimana ijarah (upah) bisa dipilah menjadi tiga. Bentuk jama' dari kata tersebut adalah Ujur dan Aajar."

Pengertian hadits bahwa: "Lil ghazi ajruhu" di atas adalah orang yang berperang karena dirinya sendiri, maka dia berhak memperoleh pahalanya (tsawabuhu) sedangkan: "Lil ja'il ajruhu" adalah, bahwa  orang yang berperang karena digaji oleh orang lain, maka dia berhak memperoleh gajinya (ujratuhu). Karena yang menentukan makna lafadz musytarak (kata yang bermakna lebih dari satu) itu adalah indikasi (qarinah)-nya. Dan di dalam hadits tersebut terdapat kata ghazi (orang yang berperang karena dirinya sendiri) yang menentukan bahwa makna al ajru di dalam hadits tersebut adalah al tsawab (pahala). Dan kata  ja'il itulah yang menentukan maksud al ajru berikutnya adalah al ujrah (gaji). Sebab, masing-masing kata --baik  aj ja'il maupun al ghazi-- tadi bisa menjadi indikasi yang menentukan makna yang dimaksud oleh hadits tersebut.

Diriwayatkan dari Said Bin Manshur dari Jubeir Bin Nufeir yang mengatakan: Nabi Saw. telah bersabda:

"Perumpamaan umatku yang berperang dan memperoleh upah serta berusaha melindungi (dirinya) dari musuh mereka, adalah ibarat ibu Nabi Musa yang menyusui anaknya (Musa), kemudian memperoleh upah (karena telah menyusuinya) --dari keluarga raja Fir'aun."

Al Ajru di dalam hadits ini maknanya adalah al ujrah (upah). Di samping itu, fakta lain menunjukkan bahwa orang yang melakukan jihad tidak hanya khusus untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. (min ahlil qurbah), sehingga melakukan akad ijarah terhadap orang tersebut hukumnya boleh. Inilah yang melahirkan kebolehan untuk menetapkan anggaran gaji bagi para prajurit sebagaimana layaknya para pegawai yang lain.

Angkatan bersenjata itu merupakan satu kesatuan, yaitu pasukan (tentara) atau yang disebut dengan jaisy. Dari unsur angkatan bersenjata tersebut kemudian dipilih kesatuan khusus yang diatur dengan peraturan tersendiri dan dibekali dengan tsaqofah (pengetahuan) tertentu. Dialah yang disebut polisi (syurthah).

Rasulullah Saw. mempunyai angkatan bersenjata, yaitu jaisy (tentara atau pasukan). Beliaulah yang menyiapkan pasukan (tentara) tersebut. Dan beliaulah yang juga telah memimpinnya, bahkan beliau juga yang telah mengangkat para panglima dan komandan (amir) untuk memimpin pasukan (tentara) tersebut. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Anas yang mengatakan:

"Bahwa Qais Bin Sa'ad, ketika itu sedang berada di dekat Nabi Saw. dalam posisinya sebagai anggota satuan polisi."

Yang dimasud Qais di dalam hadits ini adalah Qais Bin Sa'ad Bin Ubadah Al Anshari Al Khazraji. Imam At Tirmidzi menambahkan riwayat tersebut dengan satu kalimat:

"Untuk mengurusi urusan-urusan beliau."

Ibnu Hayyan menterjemahkan maksud hadits ini dengan mengatakan: "(Bahwa) Al Musthafa (Nabi Muhammad Saw.) menjaga keamanan majelis (ta'lim) beliau dari orang-orang kafir musyrik, apabila mereka akan masuk." Kalangan Isma'ily telah meriwayatkan: "Bahwa Sa'ad pernah bertanya kepada Nabi Saw. tentang Qais agar dimutasi  dari jabatan yang telah beliau berikan, karena khawatir dia akan mengalami "sesuatu", lalu beliau memutasinya dari jabatan tersebut."

Di samping itu, --kenyataan pada masa itu-- polisi adalah kesatuan yang lebih menonjol ketimbang tentara (jaisy). Az Zuhri mengatakan: "Polisi adalah setiap kesatuan yang merupakan kesatuan terbaik. Dan di antara kesatuan pilihan tersebut adalah polisi, karena mereka merupakan prajurit pilihan. Bahkan ada yang mengatakan, mereka adalah kesatuan yang lebih menonjol ketimbang tentara. Juga ada yang mengatakan, bahwa mereka disebut polisi karena mereka memiliki ciri-ciri yang telah dikenal, baik dari pakaian maupun geraknya." Dan dia merupakan kesatuan pilihan yang terbaik.

Semuanya ini adalah dalil, bahwa polisi merupakan satu kesatuan dari angkatan bersenjata. Di mana khalifahlah yang mengangkat anggota kesatuan polisi tersebut, sebagaimana dia juga diperbolehkan mengangkat panglima tentara (amirul jaisy). Polisi itu sebenarnya merupakan kesatuan dari tentara (jaisy). Hanya saja, apakah kemudian polisi tersebut dijadikan menjadi satu kesatuan dengan tentara atau terpisah adalah masalah yang akan dikembalikan kepada ijtihad khalifah.

Akan tetapi dari hadits di atas, bisa difahami bahwa anggota kesatuan polisi itu diangkat untuk melindungi khalifah serta pejabat (hakim) yang lain dari ancaman yang akan mengancamnya; juga agar kesatuan itu bisa menjadi angkatan bersenjata yang siap setiap saat untuk melaksanakan perintah khalifah atau perintah pejabat yang harus dilaksanakan dan melindungi mereka dari ancaman yang dikhawatirkan akan ditujukan kepada mereka.

Secara etimologis (lughatan), juga bisa difahami bahwa kata syurthah (polisi) itu merupakan kesatuan dari tentara (jaisy), di mana kesatuan polisi yang lebih menonjol ketimbang tentara itu adalah tetap merupakan satu kesatuan dari tentara. Memang, tidak ada dalil yang menunjukan bahwa polisi yang menjadi "pengawal" khalifah atau para pejabat --untuk melaksanakan instruksi mereka setiap saat-- merupakan satu kesatuan dari tentara. Karena tugasnya adalah untuk senantiasa "mengawal" pejabat. Tetapi, ada dalil yang menunjukkan bahwa polisi tersebut merupakan satu kesatuan dari angkatan bersenjata yang dimiliki oleh negara. Sehingga khalifah boleh menjadikannya sebagai satu kesatuan dari tentara, atau memisahkannya menjadi kesatuan tersendiri.

Hanya saja, ketika angkatan bersenjata itu merupakan satu kesatuan dari segi pengangkatan, hubungan serta jalur instruksinya dari khalifah, maka dengan adanya pembagian angkatan bersenjata menjadi beberapa kesatuan tentara dan polisi tersebut, justru akan melemahkan kesatuan persenjataan di tubuh angkatan bersenjata itu sendiri. Lebih-lebih dengan adanya rutinitas tugas polisi dalam melaksanakan tugas-tugas "mengawal" khalifah. Oleh karena itu, justru lebih baik kalau angkatan tersebut menjadi satu kesatuan, sehingga dengan adanya kesatuan persenjataan tersebut angkatan bersenjata itu senantiasa akan menjadi kuat. Lebih-lebih kalau angkatan bersenjata itu tadi disertai  dengan sistem yang terpadu dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan persiapan jihad.

Karena itu, angkatan bersenjata sesungguhnya adalah tentara, yang kemudian dari mereka dipilih satu kesatuan untuk melakukan tugas-tugas kepolisian, sehingga tetap menjadi satu kesatuan dengan tentara. Maka, setelah melewati masa tertentu, kesatuan itu kemudian diganti lalu mereka --yang masuk dalam kesatuan itu-- dikembalikan menjadi tentara biasa. Baru kemudian dipilih kembali, kesatuan yang lain --untuk menjadi polisi-- sehingga kekuatan tentara tadi tetap utuh dan siap setiap saat untuk terjun menghadapi jihad.

Kesatuan polisi diberi tugas untuk menjaga sistem --yang sedang dijalankan-- dan mengatur keamanan di dalam negeri, serta melaksanakan semua kegiatan yang bersifat operasional. Hal ini berdasarkan hadits dari Anas di atas, bahwa Nabi Saw. telah mengangkat Qaisy Bin Sa'ad untuk senantiasa "mengawal" beliau dalam posisinya sebagai anggota polisi. Ini menunjukkan, bahwa kesatuan polisi itu senantiasa menjadi "pengawal" pejabat (hakim). Di mana mereka senantiasa "mengawal" pejabat serta setiap saat siap melaksanakan apa yang dibutuhkan oleh pejabat, untuk menjadi kekuatan yang berfungsi menerapkan kebijakan-kebijakan mereka, dalam rangka melaksanakan hukum syara', menjaga sistem, melindungi keamanan dan melakukan patroli. Kesatuan inilah yang berkeliling setiap malam untuk mengawasi pencuri, orang-orang jahat, serta orang-orang yang dicurigai melakukan tindak kejahatan.

Abdullah Bin Mas'ud adalah ketua patroli pada masa Abu Bakar. Bahkan, Umar Bin Khattab ra. melakukan patroli sendiri dan kadang-kadang beliau minta ditemani oleh pembantunya. Beliau kadang-kadang minta Abdurrahman Bin Auf untuk menemaninya. Oleh karena itu, apa yang dipraktekkan di sebagian negeri Islam saat ini yaitu dengan cara mengangkat satpam untuk menjaga supermarket-supermarket di malam hari, atau agar mereka menjaga rumah-rumah mereka, atau negara mengangkat penjaga untuk mengawal pemilik supermarker-supermarket itu, adalah tindakan yang salah. Karena itu merupakan kegiatan patroli (ronda) yang merupakan kewajiban negara, di mana kegiatan itu merupakan tugas-tugas polisi. Sehingga tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, begitu pula mereka tidak boleh dibebani untuk menggajinya.

Tentara Islam (jaisy Islam) tersebut dijadikan menjadi satu kesatuan, yang terdiri dari berbagai tentara (pasukan). Lalu masing-masing pasukan tersebut diberi nomor, sehingga bisa disebut dengan sebutan "pasukan 1", "pasukan 3", misalnya. Bisa juga dipanggil dengan memakai sandi wilayah atau daerah, sehingga bisa dipanggil dengan panggilan "pasukan Syam", "pasukan Mesir", "pasukan Shun'a", dan sebagainya.

Pasukan-pasukan tersebut akan ditempatkan di distrik-distrik tertentu. Di masing-masing distrik akan ditempatkan kesatuan prajurit, yang bisa berupa satu pasukan atau satu kesatuan dari pasukan atau beberapa pasukan. Hanya saja, distrik tersebut harus diletakkan di wilayah-wilayah yang berbeda. Sebagian ada yang ditempatkan di daerah kantong-kantong militer, sedangkan sebagian yang lain bisa di tempatkan di distrik-distrik yang setiap saat bisa bergerak untuk menjadi front terdepan. Masing-masing distrik tersebut dipanggil dengan panggilan tertentu, misalnya "distrik Habani" dan sebagainya. Dan di masing-masing distrik tersebut diberi bendera khusus.

Susunan-susunan tadi, adakalanya berupa hal-hal yang bersifat mubah, seperti pemanggilan pasukan dengan nama sandi wilayahnya atau nomer-nomer tertentu. Di mana semuanya diserahkan kepada pendapat dan ijtihad khalifah. Dan ada kalanya hal-hal yang harus ada, karena untuk melindungi negara serta memperkuat pasukan, semisal penempatan pasukan di distrik-distrik, penempatan distrik-distrik di wilayah yang berbeda-beda serta penempatan distrik-distrik tersebut di tempat-tempat strategis dalam rangka melindungi negara.

Umar Bin Khattab telah membagi distrik-distrik pasukannya berdasarkan wilayah. Beliau menempatkan prajurit di Palestina dan Maushil. Beliau juga menempatkan prajurit-prajuritnya di ibu kota, lalu beliau sendiri mempunyai satu kesatuan pasukan pengawal, yang setiap saat siap berperang, ketika ada komando pertama kali dari beliau.

 Klasifikasi Pasukan Tentara - Pembagian Angkatan Bersenjata
     Sistem Pemerintahan Islam - Nidzam Hukm - Hizb ut-Tahrir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam